Meja Makan Kayu Jati

On Minggu, 04 Desember 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 4 Comments
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki-laki lebih gelap. Setelah seharian bermain sejak pulang sekolah tadi, akhirnya keduanya kelelahan juga. Mereka melepas sepatu mereka yang berlumpur (tadi habis main bola sepak) dan menaruhnya dengan rapi di teras rumah. Lalu yang lebih kecil, yang laki-laki, berseru, "Ma..! Kami pulang!"

Terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki, lalu seorang ibu muda muncul di ambang pintu. Rambutnya yang keriting dipotong sangat pendek menyerupai laki-laki, tapi ia tetap terlihat cantik. Ia tersenyum melihat kedua anaknya yang berlumpur (sementara ia sendiri mengenakan gaun rumahan berwarna putih bersih, yang bahannya terlihat nyaman sekali). "Habis ngapain aja tadi?" tanyanya.

"Main bola," jawab yang perempuan. Rambutnya juga sependek ibunya, tapi lurus seperti ayahnya.

"Kami menang!" seru yang laki-laki.

"Oh ya?" ibu muda itu tersenyum lembut. "Siapa yang mencetak gol?"

"Aku!" kata yang laki-laki sambil melompat, nyaris dua kali tinggi badannya. "Jenny juga!"

Yang perempuan tersenyum malu-malu. "Sebenarnya nyaris tidak masuk," katanya rendah hati. "Cuma kiper lawan lagi kelilipan..."

"Hebat, aku sangat bangga pada kalian!" kata ibu muda itu sambil mengacak-acak rambut anak laki-lakinya. "Juara seperti kalian harus diberi hadiah!"

Kedua anaknya nyengir senang.

"Tapi sebelumnya, bersihkan dulu semua lumpur itu, oke, Jenny? Gary?"

"Oke."

"Oke!"

Mereka membersihkan diri. Kira-kira empat puluh menit kemudian, Jenny sudah memakai kemeja putihnya dan sweater berwarna kuning cerah (pemberian neneknya). Gary memakai baju yang mirip, tapi sweaternya warna merah. Rambutnya yang acak-acakan sudah disisir rapi, walaupun masih basah.

"Aku membelikan kue favorit kalian," kata ibu mereka di depan meja makan. Meja makan itu besar dan terbuat dari kayu jati. Ibunya mengalasi meja itu dengan taplak yang tahan air, karena Gary tidak selalu makan dengan rapi.

Suara jernih air teh yang tertuang ke cangkir terdengar familiar di telinga Jenny dan Gary. Keduanya segera duduk di depan meja. Piring-piring dan cangkir-cangkir kuning tersusun rapi di atas meja. Seperti biasa, Jenny dan Gary menyantap kue kering mereka dengan susu yang ditaruh di piring. Tidak lupa teh hangat dan gula--yang selalu ditambahkan oleh ibu mereka dengan porsi yang pas.

"Papa dimana?"

"Sebentar lagi pulang. Katanya dia bawa oleh-oleh, lo."

"Hore!"

Itu adalah sore yang cerah...

***

"Halo?"

"...iya, oke. Saya mau yang merah itu ya, Mbak..."

"...Halo? Ma?"

"...bukan, bukan. Yang merah marun, bukan yang norak gitu..."

"Maaaa...!"

"Eh...! Sori, sori. Halo, Jeri? Halo?"

"Iya, iya. Halo..."

"Jer, itu Mama beli makanan beku kemar--marun, Mbak, marun! Itu mah cokelat...!"

Tuut... tuut... tuut...

"Ma--?"

Jerry menghela napas dengan tidak percaya. Setelah menutup telepon dengan lesu, ia berjalan ke kulkas besar di pojok dapur. Diambilnya makanan beku dari kulkas untuk dipanaskan dengan microwave.

Sambil menunggu makanannya menghangat, Jerry duduk di meja makan kayu jati yang besar dan sepi. Meja itu dialasi kain biru polos, dan di atasnya hanya ada sekaleng besar biskuit Khong Guan. Jerry memandangnya. Ia mulai berimajinasi tentang meja kayu jati besar di sebuah rumah lain. Di dunia yang lain, mungkin...

Min, Temanku

On Jumat, 11 November 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 3 Comments
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang emas itu.

"Pemberhentian berikutnya: Monumen nasional."

"Kita turun di sini ya, Cik?"

"Iya, Min."

Min itu temanku, yang sedang berjalan di depanku, di pagi hari yang cerah ini. Ada beberapa keluarga muda sedang jalan-jalan pagi di sekitar kami.

Tidak sampai hati aku, mengatakan kepadanya.

Maka kami berjalan terus. Seakan tidak terjadi apa-apa. Seakan aku tidak melihat apa-apa. Kami berjalan terus.

Pagi ini sama seperti pagi lainnya. Beberapa orang sinis akan berkata, Ini hari bosan biasa, tapi orang-orang seperti Min akan berkata,

"Hari yang cerah!"

"Iya," aku menimpali seadanya. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku tidak bisa turut menikmati. Tapi aku juga tidak sampai hati.

"Foto, yuk!"

"Oke."

Cklek.

Beberapa menit berlalu dan matahari sedikit lebih frontal memamerkan jati dirinya. Min mengidekan untuk duduk sebentar dan minum. Aku manggut-manggut saja.

Kami duduk di atas rumput, mengunyah dan meneguk dalam diam.

"Min?"

"Ya?"

Ia terlihat ceria.

"Ng..."

Ada belek besar di ujung mata kirimu.

"...Tidak apa-apa."

Hati-Hati, Pelan-Pelan

On Sabtu, 22 Oktober 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Hati-hati...

Pelan-pelan...

Kubuka laci dengan hati-hati, dan kuambil sebungkus biskuit Selamat. Lalu kumakan dengan pelan-pelan.

Hati-hati...

Pelan-pelan...

Kubuka laptopku dengan hati-hati dan mulai mengetik laporanku dengan pelan-pelan.

Hati-hati...

Pelan-pelan...

Aku membuka jendela dengan hati-hati,

dan menaruh buku dengan pelan-pelan.

Hati-hati...

Pelan-pelan...

Segalanya berjalan lancar, sampai ponselku berbunyi dan aku mengangkatnya dengan tidak pelan-pelan dan memegangnya dengan kurang hati-hati.

"Ah," kataku pada yang menelepon. "Lu sih. Rusak deh kuteks gue."