Archive for 05/01/2011 - 06/01/2011

Sinetron

On Selasa, 31 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
“Ari.”

“Mia.”

Tangannya kasar.

“Kuliah dimana?”

“Oh. Nggak...”

Diam.

“Eh—kerja?”

Lo. Malah ketawa dia.

“Nggak juga. Saya baru lulus SMA dan sekarang masih nyari kerjaan.”

“Oh.”

Jadi nggak enak. Diam dulu.

“Loe? Kuliah?”

“Oh—iya, gue.”

“Di...?”

“Bandung.”

Masih melihat kepadaku. Seperti menunggu kelanjutan informasi.

Duh, kok jadi nggak enak ngomongnya? Tapi,

“Perminyakan ITB.”

kataku akhirnya.

Jawabnya klise:

“Wah! Hebat, pintar dong, ya.”

Balasku tidak mau kalah klise:

“Ah, nggak juga. Biasa saja.”

“Dulu SMA dimana?”

“Oh. Di—“

NGEEENG. Motor lewat.

“Oh, swasta, toh. Deket rumah dong, ya.”

“Iya, lumayan. Loe?”

“Gue—“

BRRRRM.

“Oh. Lebih deket lagi!”

Ketawa ringan.

“Iya.”

Selanjutnya bicara tentang Teknik Perminyakan ITB, sebentar. Budaya SMA, sebentar. Buku, sebentar. Film, agak lama.

“Eh—Pak, saya turun di sini saja.”

Lo? Padahal lagi ngobrolin Pintu Terlarang.

“Eh, gue duluan, ya!”

“Oh, oke—kok turun di sini? Katanya rumahnya di...?”

“Ini, mau ngelamar kerja.”

“Oh—! Good luck!”

Senyum.

“Makasih!”

Lambai.

Pergi.

Cih.

***

“Aduh, anak Bandung! Akhirnya pulang juga!”

“Halo, Ma.”

“Nyasar kemana, sih? Lama amat nggak pulang-pulang!”

Dipeluk. Rambut diacak-acak.

“Punya pacar, ya...!?”

“Nggak, Ma.”

“Yah, payah, ah.”

Sebal.

“Ya, udah. Itu kalau makan langsung ambil aja, ya. Mama mau pergi dulu.”

Lo? Katanya kangen. Sekarang ditinggal.

“Ye. Kemana?”

“Ah, kepo. Mau tau aja.”

A—

“Belajar dari mana itu kata?”

Mengedip gaul.

“Maa! Mau kemana?”

“Mau ketemu calon pegawai baru, buat jagain butik!”

“Hah?”

“Mau ngewawancara kerja. Kan si Emi keluar tuh, hamil.”

Suaranya mengecil.

“Semuanya aja hamil. Untung dapet orang baru...”

Dan mengecil.

“...Mia apa siapa...”

Hah. Mia apa siapa.

“Daaah!”

“...Dah.”

Kecil

amat

dunia.

Eyang

On Sabtu, 28 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments

Aku selalu bilang, eyangku itu orang paling bijaksana di seluruh dunia.

“Jangan pernah mencoba menilai orang lain, Nduk,” katanya suatu hari, sambil duduk di kursi goyang di teras rumahnya. “Karena kita, manusia, tidak pernah benar-benar tahu tentang orang lain. Kita cuma tahu apa yang bisa dilihat, yang bisa didengar. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang ia lakukan kalau tidak ada orang lain, apa yang ia pikirkan dalam hatinya.”

Aku memang tidak pernah mencatat kata-kata Eyang, tapi aku ragu ada yang terlupakan olehku.

Pernah, aku mengalami hari yang buruk—waktu itu aku baru kelas lima SD. Di sekolahku diadakan lomba matematika dan setiap kelas mengirim perwakilannya. Aku termasuk anak yang pintar di sekolah, jadi aku yakin sekali aku yang dipilih. Tapi ternyata mereka malah memilih Yanti. Aku kecewa sekali. Sore itu, aku langsung berlari ke rumah Eyang—yang berada di dekat sekolah—dan menceritakan semua kepadanya. Ia mendengarkanku dengan mimik serius dan memberiku nasehat dengan mimik serius juga.

“Kalau kau kecewa, Nduk,” katanya padaku. “Katakan pada dirimu, Ya, jadi ini namanya kecewa, sudah, ya. Dengan begitu, kau melihat situasi kecewa ini dari luar. Secara tidak sadar kau sudah berada di luar kekecewaan itu. Mengerti, Nduk?”

Lalu ia memandangku lurus, memastikan aku mengerti. Aku mengangguk.

Itu yang aku sukai dari Eyang. Ia tidak pernah menganggap masalahku sepele. Kalau aku menceritakan masalahku ke Ayah, Ibu, atau kakak-kakakku, mereka akan memberiku nasehat dengan ‘mimik orang dewasa’. Begitu aku menyebutnya. Artinya, mimik yang mengatakan bahwa aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa, sedangkan mereka sudah dewasa dan mengerti banyak hal. Eyang tidak pernah begitu. Ia selalu berusaha mendengarkan ceritaku dengan seksama. Padahal pendengarannya tidak sebaik Ayah, Ibu, atau kakak-kakakku.

Eyang itu pahlawan masa kecilku.

***

Hari ini, aku tiba-tiba mendapati diriku sudah dewasa. Padahal rasanya baru kemarin aku duduk di pangkuan Eyang, mendengarkan ceritanya.

Hari ini, aku memakai kemeja hitam terbaikku dan mengantar Eyang ke gerbang Surga.

“Kalau kita hidup, Nduk, itu hanya untuk menjadi berkat bagi orang lain.”

“Kalau mati, Eyang?”

Eyang tersenyum dan menatapku lurus, “Mati, Nduk, adalah keuntungan.”

***

Meski belum semua pesannya yang dapat aku mengerti sepenuhnya, aku selalu bilang, eyangku itu orang paling bijaksana di seluruh dunia.

Padahal dia tidak lulus SMA.

Percakapan (2)

On Kamis, 26 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Eh, Bu, permisi..."

Pria itu perlu mengulangi kalimatnya karena si nenek tua masih juga bergeming seakan ada sumbat di telinganya dan lem di pantatnya. Dengan sedih pria tersebut menghela napasnya. Karena ia tidak mungkin menyingkirkan nenek ini dengan paksa, ia mulai memikirkan dimana ia bisa bekerja selanjutnya bila ia dipecat dari perpustakaan kota ini.

"Kenapa kamu dipecat dulu?" begitu bos barunya akan bertanya.

"Eh--karena saya tidak menutup jendela, Pak," begitu ia akan menjawab dengan pelan.

"Hmm..." dan bos barunya tidak akan tahu tentang nenek menyebalkan yang menghalanginya menutup jendela.

"Nak."

Suara si nenek membuyarkan lamunannya. Tidak seperti yang ia duga, suaranya lancar dan nyaring. Lebih seperti penyiar radio daripada seorang nenek yang tidak lagi punya rambut hitam.

"Eh--iya, Bu?" si pria muda salah tingkah.

"Kamu pernah jatuh cinta, Nak?"

Makin salah tingkah--ditambah bingung, ditambah frustasi--si pria muda hanya megap-megap seperti ikan dikeluarkan dari akuarium. Si nenek, sementara itu, manggut-manggut paham, seakan pria muda itu menjawab dengan sesuatu yang panjang dan pantas didengarkan.

"Baiklah," kata si nenek setelah beberapa detik hening yang ganjil. "Ceritakan padaku bagaimana."

--bersambung

Ktktn

On Rabu, 25 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sepanjang hari aku duduk di sampingnya dan aku memikirkan dia. Betapa jeleknya dia, betapa salah semua ucapannya, betapa menyebalkan raut wajahnya--betapa banyak waktu yang kuhabiskan bersamanya.

Di akhir hari, dia menatapku dengan raut yang tak tertebak.

Sungguh hati, tiba-tiba aku benar-benar takut dia bisa membaca pikiranku. Kumanipulasi pikiranku, berusaha memikirkan yang lain. Lemon, Mighty Morfin Power Rangers, Afgan... Apapun.

Tepuk Tangan, Sebelah Tangan: "Ck."

On Selasa, 24 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Duluan, ya!"
"Yo, dadah!"

Mereka berpisah. Yang satu ke kiri, yang satu tetap lurus. Yang satu tidak bisa menahan senyumnya, yang satu biasa saja.

"Ck," adalah suara decak kasihan seorang malaikat yang mengawasi dari atas untuk yang pertama--yang mengira dirinya sedang cinta-cintaan, padahal cuma cinta sendirian.

"Halo, Ma."

On Kamis, 19 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 1 Comment
Matanya terpaku pada televisi.

"Halo, Ma."

Matanya, tetap, terpaku pada televisi.

Dari Mana Ratu Drama Datang? Dari Kebutuhan akan Suasana Dramatis

On Senin, 16 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sore itu Dina berada di tengah-tengah taman--sendirian, duduk di bawah sebuah saung kecil. Saat itu hujan tik-tik-tik dan hanya ada tiga-empat orang di sekitarnya.

Seperti massa ramai tetes air hujan jatuh ke genangan-genangan dan Dina terpaksa mengamatinya. Rumput hijau pasrah tersiram--tapi sepertinya mereka senang. Pohon-pohon tinggi juga, mereka seperti menyambut kedatangan teman-teman. Langit warnanya tidak jelas mau abu-abu atau ungu.

Tiga-empat orang di sekitar cuma termangu. Ikut menonton tarian jutaan tetes.

Dina merasa suasana ini pas sekali untuk mendukungnya bersedih. Sayang, sungguh sayang, saat ini dia sedang gembira.

Maka, pada satu saat yang langka dalam hidupnya yang nyari dua puluh tahun, Dina berharap dia sedang merasa sedih.

Nada Hanya Ada (di Masa Lalu)

On Sabtu, 14 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sebuah gitar bersandar di dindingku.

Aku memandangnya--ia balas memandangku.

Kami saling pandang dan tak satu nada pun berbunyi.

Percakapan (1)

On Kamis, 12 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Seorang nenek tua duduk di depan jendela.

Seorang pria berusia dua puluh satu tahun berjalan ke arahnya, dengan canggung mengucap, "Maaf, Bu, permisi, saya mau nutup jendela."

Saat itu jam setengah empat sore di perpustakaan umum kota. Pria muda tersebut bertugas menutup jendela supaya tidak banyak nyamuk yang masuk.

Nenek tua menengok dengan lambat sampai-sampai pria muda itu khawatir malam keburu datang dan ia belum sempat menutup jendela terakhir itu. Bisa-bisa Bu Nining menganggapnya teledor lalu memecatnya.

-bersambung

Siapa

On Selasa, 10 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Tami sedang mondar-mandir di Gramedia si toko buku raksasa seperti biasa--ketika ia mendengar namanya dipanggil kencang-kencang sampai semua orang di sekitarnya ikut menoleh.

"Tami!"

"Eh, Kak...!"

Seorang wanita muda berkulit putih, kurus, dan berambut pendek segar menghampiri Tami. Raut wajahnya ceria dan terlihat seperti orang yang selalu tertawa.

"Apa kabar, Tam? Masih kuliah?"

"Masih, Kak. Udah tingkat akhir, sih, lagi TA sekarang."

"Ooo..."

Mereka mengobrolkan banyak hal: kuliah, pekerjaan, pelamaran kerja, pacar, pernikahan, dan S2, bahkan S3. Rupanya dia sudah bertunangan dan sudah bekerja. Tami bercanda minta diundang saat ia menikah.

Setelah cukup lama mereka mengobrol, lawan bicara Tami menengok jamnya dan memasang raut wajah sedih, "Yah, aku harus pergi, Tam!"

"Oh, oke, Kak! Hati-hati, ya!"

Lalu Tami ditinggal sendirian. Ia bertanya-tanya siapa nama kenalan lamanya tadi tuh--ia lupa. Untung di timur sini ada istilah "Kak".

catatantambahan: kredit kepada Raisa Silfia Sahertian untuk ide intinya.

Puas?

On Minggu, 08 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Anna menyalakan televisi tanpa niat. Lalu duduk di hadapannya, mengunyah semprong tanpa selera dan menonton dengan tidak antusias. Entah kenapa yang dipertontonkan adalah sebuah pertandingan tinju.

Buk!
Bak!
Das!

Anna tidak mengernyit, tidak meringis. Ia hanya diam dan mengamati tanpa ekspresi yang berarti.

Buk!
Buk!

Ia menonton tinju melayang dan orang terpojok. Ia membayangkan itu dia yang meninju dan itu kakaknya yang terpojok.

Das!

Ia memukul kakaknya dengan tidak memberi jeda. Tidak ada kesempatan bagi kakaknya. Kanan, kiri, kanan. Kakaknya hanya sebisa mungkin melindungi wajahnya dan Anna terus meninju. Sarung tinjunya yang biru menghantam tiap bagian tubuh kakaknya. Ia terpojok. Anna terus menyerang.

Buak!

Kakaknya terjatuh dengan bunyi yang keras. Wasit menghampiri. Habis sudah. Kakaknya tidak sanggup bangun lagi. Wasit mengangkat tangan Anna yang capai dan menyatakan kemenangannya. Tepuk tangan memenuhi tempat itu dan teman-temannya melompati ring untuk memberinya selamat.

"Anna! Kita mau pergi nih, kunciin pintu depan, Na!"

"Ya, ya."

Anna mematikan televisi dan menghabiskan gigitan terakhirnya. Lalu ia keluar.

Ia tidak tahu ini perasaan apa--mungkin ini rasa puas.

Hilang

On Kamis, 05 Mei 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Ada rasa haru seperti seorang anak yang baru lulus SMA. Ada bunyi gemuruh seperti awan hitam yang masih jauh.

Ini adalah momen simbolik yang tiba-tiba menjadi penting baginya--mungkin ia akan segera lupa, tidak ada yang tahu. Mungkin hanya kalau malam tidak riang meraba rasanya yang lemah, momen seperti ini menjadi penting. Mungkin cuma di teras lembap berhiaskan koor merdu jangkrik, imajinasinya menggambarkan dengan jelas: tiap kata yang dirangkai dengan hati-hati...

Yang jelas, saat ini jemarinya sudah siap.

Delete.

Are you sure?

Yes.

Pip.