On Senin, 24 Januari 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
Reply
Tolong aku.
Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar suara itu. Awalnya hanya samar-samar saja; saking samarnya aku tidak yakin dan kuabaikan saja. Tapi lalu suara itu datang lagi:
Tolong aku.
begitu katanya. Aku diam saja. Ragu untuk bergerak dan mulai tidak percaya pada telinga sendiri. Apa benar ada yang minta tolong tadi? Ah, masa sih? Tapi pelan saja suaranya--tidak keras dan tidak panik--jadi mungkin bukan masalah besar.
Dan aku pun melanjutkan hari-hari seperti biasa. Frasa kecil itu kadang-kadang datang lagi, menggangguku. Tapi aku pura-pura tidak dengar. Rasa-rasanya aku tidak mau tahu. Aku cukup terlalu sibuk untuk duduk diam dan mendengarkan curahan hati orang lain. Masa aku berhenti mengurusi masalahku untuk menyelesaikan masalahnya? Ah, sudahlah. Biar dia menolong dirinya sendiri, seperti yang semua orang di dunia lakukan, pikirku.
Tapi, suara itu datang lagi:
Tolong aku.
Sedikit lebih keras sekarang, sehingga aku bisa mendengar getar takut dalam suaranya. Sekarang dia mulai mengusikku lebih parah.
Tolong aku.
Tolong aku.
Kumohon,
tolong.
Bertubi-tubi. Sekarang aku sudah gila kalau masih pura-pura tidak mendengar. Suara itu sudah nyaris seperti jeritan sekarang. Bukan satu orang, tapi berjuta. Berjuta suara yang seperti koor besar mengerikan; suara dari mereka yang sudah kehabisan air mata dan kelebihan beban. Yang sekujur tubuhnya penuh luka iris, seperti oleh pisau, yang mereka tutup-tutupi dengan baju bagus.
Dan mereka minta tolong.
.
.
.
Anak bodoh, kami sudah tidak bisa lagi berjalan tegak seperti yang dulu kami lakukan. Kami lelah. Lihat, kami berdarah-darah! Anak baik, kenapa kamu tega? Tolong ingat sedikit ceritamu; waktu itu kamu yang minta tolong. Dan kami rasa waktu itu ada yang menolongmu. Kami rasa--walaupun ini hanya serasa kami saja, kami tidak pernah begitu mengerti--sampai sekarang pun, kamu masih terus ditolongnya. Kan?
...
Mereka pun tahu, sepertinya, bahwa aku tidak tuli.
catatantambahan: Lupa. Kasih. Judul. (dibuat tanggal 24, ditaruh di sini enam hari kemudian)
Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar suara itu. Awalnya hanya samar-samar saja; saking samarnya aku tidak yakin dan kuabaikan saja. Tapi lalu suara itu datang lagi:
Tolong aku.
begitu katanya. Aku diam saja. Ragu untuk bergerak dan mulai tidak percaya pada telinga sendiri. Apa benar ada yang minta tolong tadi? Ah, masa sih? Tapi pelan saja suaranya--tidak keras dan tidak panik--jadi mungkin bukan masalah besar.
Dan aku pun melanjutkan hari-hari seperti biasa. Frasa kecil itu kadang-kadang datang lagi, menggangguku. Tapi aku pura-pura tidak dengar. Rasa-rasanya aku tidak mau tahu. Aku cukup terlalu sibuk untuk duduk diam dan mendengarkan curahan hati orang lain. Masa aku berhenti mengurusi masalahku untuk menyelesaikan masalahnya? Ah, sudahlah. Biar dia menolong dirinya sendiri, seperti yang semua orang di dunia lakukan, pikirku.
Tapi, suara itu datang lagi:
Tolong aku.
Sedikit lebih keras sekarang, sehingga aku bisa mendengar getar takut dalam suaranya. Sekarang dia mulai mengusikku lebih parah.
Tolong aku.
Tolong aku.
Kumohon,
tolong.
Bertubi-tubi. Sekarang aku sudah gila kalau masih pura-pura tidak mendengar. Suara itu sudah nyaris seperti jeritan sekarang. Bukan satu orang, tapi berjuta. Berjuta suara yang seperti koor besar mengerikan; suara dari mereka yang sudah kehabisan air mata dan kelebihan beban. Yang sekujur tubuhnya penuh luka iris, seperti oleh pisau, yang mereka tutup-tutupi dengan baju bagus.
Dan mereka minta tolong.
.
.
.
Anak bodoh, kami sudah tidak bisa lagi berjalan tegak seperti yang dulu kami lakukan. Kami lelah. Lihat, kami berdarah-darah! Anak baik, kenapa kamu tega? Tolong ingat sedikit ceritamu; waktu itu kamu yang minta tolong. Dan kami rasa waktu itu ada yang menolongmu. Kami rasa--walaupun ini hanya serasa kami saja, kami tidak pernah begitu mengerti--sampai sekarang pun, kamu masih terus ditolongnya. Kan?
...
Mereka pun tahu, sepertinya, bahwa aku tidak tuli.
catatantambahan: Lupa. Kasih. Judul. (dibuat tanggal 24, ditaruh di sini enam hari kemudian)
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia
Kintaka
-
▼
2011
(139)
-
▼
Januari
(29)
- Dua tahun yang lalu, Rima membeli sebuah kacamata ...
- Dona berdiri di tengah-tengah jalanan yang ramai; ...
- Presisi
- (saya lupa)
- Tenang: Kisah Dadi Suhardja dan Tigapuluh Dua Anak...
- Putih
- Keluar ke Luar
- Tolong aku.Kadang, kalau aku sedang duduk sendiria...
- Sok Saja Sih
- Gemas
- Seandainya
- Kenapa Dia Senang Sekali Mendapat Anak Perempuan
- Dari Atas Pohon di Samping Danau
- laripagi
- BRUK! PRAK! BYAR!
- Merah
- Tante Lori
- Malik Bikin Lirik
- Khayal
- Abang
- Benar-Benar Sunyi Senyap
- BALI
- Penyesalan
- Cerita Malaikat Kaca
- dia diam
- Ujian Sudah Selesai
- Ibu dan/and Dad
- Telepon
- Emi Bercermin
-
▼
Januari
(29)