Tante Lori

On Sabtu, 15 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
"Selamat ulang tahun, Anya...!"

Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku--menunggu responnya.

"Ya... ampun...!" senyumnya merekah. Seakan baru mendapat izin untuk bergerak, belasan orang ceria mulai bertepuk tangan dan bersorak. Dengan tidak percaya Anya mulai menamai wajah-wajah yang sedang berdiri di ruang tamunya itu: kedua orang tuanya, kedua kakaknya, beberapa sepupu dan beberapa teman sekolahnya. "Nggak nyangka...!"

Seseorang jelas sudah merencanakan pesta kejutan ini dengan baik; bermacam makanan melimpah di rumah Anya malam itu, seakan tidak bakal habis. Teman-teman dan sepupu-sepupunya saling mengobrol dan para orang tua diam-diam memberikan amplop kepada Anya.

"Anya, samperin Tante Lori tuh," bisik ibu Anya kepadanya. "Kan udah lama nggak ketemu."

Tante Lori adalah adik dari ayahnya Anya. Tante Lori tidak bekerja di perusahaan mana-mana, tapi dia memiliki restoran sendiri. Restorannya tidak terlalu besar dan bukan macam restoran mahal yang ada di pusat kota, hanya rumah makan Manado kecil yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Namun rumah makan itu cukup berhasil karena, walaupun dia bukan koki terbaik, Tante Lori sangat baik pada setiap pelanggannya. Ia ramah dan suka mengajak mereka mengobrol. Dan bukan demi bisnis ia bersikap begitu; memang seperti itulah Tante Lori.

***

Sejak Anya kecil, kedua orang tua Anya selalu sibuk bekerja. Usia Anya dan kedua kakak laki-lakinya berbeda cukup jauh, mereka sudah SMA waktu Anya masih SD. Jadi, di masa kecil Anya sering merasa kekurangan teman bermain. Di saat-saat seperti itu, selalu ada Tante Lori yang menemaninya. Apalagi waktu itu Tante Lori masih menumpang di rumah Anya. Walaupun menumpang, ia lebih banyak membantu daripada merepotkan. Ia selalu mengurus urusan dapur dan lain-lain, sehingga ibu Anya yang sibuk dan waktu itu belum punya pembantu merasa sangat tertolong. Sampai Anya kelas 2 SMP, Tante Lori masih menumpang di rumahnya.

Meski Tante Lori baik dan ramah, ketika Anya beranjak dewasa Anya mulai kesal kepadanya. Ia juga tidak tahu kenapa tepatnya--Tante Lori tidak pernah jahat kepadanya atau melakukan kesalahan apa-apa. Paling tidak bukan kesalahan besar.

"Aku lagi nonton, tapi Tante Lori terus-terusan kasih tau terusannya gimana! Ngomong terus gitu!" adu Anya yang masih SMP ke ibunya. "Kan kesel, Ma, jadi nggak seru!"

"Ya udahlah, Nya," kata ibunya cuek. "Tante Lori kan emang suka ngomong orangnya. Nggak boleh gitu, ah. Dia kan banyak banget ngebantuin kamu."

Itu memang benar. Tante Lori selalu menemani Anya kapanpun ia perlu ditemani, berhubung anggota keluarganya yang lain sibuk semua. Anya menghela napas. Memang tidak sebanding untuk kesal pada Tante Lori hanya karena hal kecil, dan melupakan segala kebaikannya.

Tapi tetap; ketika Tante Lori akhirnya mengontrak rumah sendiri saat Anya kelas 2 SMP, Anya tidak bisa menahan rasa leganya.

***

"Tante," Anya menghampiri tantenya. "Apa kabar? Makasih ya, udah dateng."

Tante Lori tersenyum cerah seperti biasanya. Hari ini ia memakai kemeja jingga berbunga kuning dan celana putih, serta kalung, gelang, dan anting; ini juga seperti biasanya. "Iya, Sayang. Datenglah, ini kan ulang tahun kamu yang ketujuh belas! Selamat, ya!"

Anya tersenyum, "Makasih, Tante..."

"Udah punya pacar belum?" Tante Lori mengedipkan mata. "Udah, ya...?"

"Eh. Iya... ada, sih, Tante."

Tante Lori berseru girang, "Kapan-kapan kenalin, ya! Ganteng, nggak?"

Anya menjelaskan seadanya. Tante Lori mendengarkan; ia bukan pendengar yang baik, tapi ia selalu berusaha. Di akhir cerita, Tante Lori memegang pundak Anya dan dan memberikan nasihat-nasihat berpacaran, yang ditanggapi Anya dengan anggukan dan senyuman.

"Nah, Sayang," katanya setelah berwejang ria. "Sekarang ini."

Tante Lori mengeluarkan sebuah bingkisan dari dalam tas tangannya. Sebuah hadiah untuk Anya, dibungkus dengan kertas kado berwarna merah muda bergaris biru. "Nih, buat kamu!"

"Wah, terima kasih, Tante!" Anya tersenyum dan mencium pipi tantenya, kanan dan kiri.

"Nanti aja bukanya," kata Tante Lori, tersenyum. "Kamu pasti suka."

***

"Eh, lupa," kata ibunya ketika pesta sudah selesai dan para tamu sudah pulang. "Kamu harus bilang terima kasih tuh sama Tante Lori, Nya."

"Hm?"

"Dari kemarin dia tuh yang sibuk-sibuk ngurusin ulang tahun kamu," kata ibunya. "Mama sama Papa kan kerja, jadi dia yang ngurusin makanan, ngundang temen-temen kamu sama saudara-saudara, sampai ngerencanain gimana ngasih kejutannya. Katanya, Yang ketujuh belas, harus spesial."

Anya hanya mengangguk, tapi dalam hati ia merasa aneh. Rasa bersalah, mungkin. Tante Lori selama ini sangat baik padanya, tapi Anya tidak pernah begitu menghargainya. Anya bergegas mengambil telepon genggamnya untuk menelepon Tante Lori, tapi lalu ia ingat ia belum membuka hadiahnya. Anya pun mendatangi bingkisan merah muda bergaris biru itu dan membukanya.

Anya mengernyit.

Ternyata baju. Bukan baju yang mahal, hanya semacam baju pesta terusan. Tanpa lengan dan roknya sampai lutut. Warnanya ungu tua, dan ada semacam beludru merah terang di bagian leher, bahu, dan pinggang.

Itu adalah baju terusan terjelek yang pernah Anya lihat, tapi Anya tersenyum melihatnya. Tante Lori ini mengingatkannya pada sebuah kalimat yang pernah dia lihat di Tumblr temannya: "She's like my sister; though I don't really like her, I love her very much."

Anya menghela napas. Ia melipat baju itu dan menyimpannya di lemari. Baju itu tidak perlu dicuci; Anya tidak akan pernah memakainya.

Reply