Merah

On Minggu, 16 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Kerah kemeja yang terangkat itu sudah kehilangan jati diri warna putihnya. Semua kancing tak terpasang, memperlihatkan tubuh yang kurus dan hitam. Mata kanannya lebam. Bibirnya bengkak. Darah mengucur dari pelipis kirinya seperti air mata seorang bunda yang baru saja kehilangan anak.

"Mampus loe!" Si Gendut berkaus hijau terang memaki. "Biar lain kali nggak banyak bacot lagi, loe!"

Kalimat itu diakhiri dengan ludah; mendarat tepat di pipi dia yang sedang terbaring di jalanan. Dia merintih. Dia berusaha membuka mata kiri yang sepertinya juga sudah mengalami kerusakan. Ada bayang-bayang samar Si Gendut berkaus hijau, ada dua orang lagi di sebelah Si Gendut. Mereka mengikuti jejak Si Gendut: meludahi wajahnya.

"Biar mati loe."

"Makanya, gangguin cewek sekolah sendiri lah, woi!"

Sambil terus melontarkan makian yang tidak pantas, dua--tiga--entah berapa kaki, menendangnya. Kepadanya keringat dan darah para penyiksa jatuh seperti hujan rintik-rintik. Bibirnya yang mati rasa bertemu jalanan dan debu tanah masuk ke mulutnya. Dia terbatuk dan merintih. Sakit. Kesal. Kesal.

"Ger!"

Sebuah suara familiar datang dari belakang telinganya. Dari kursi penontonnya di bawah, ia melihat batang-batang besi terayun menghantam Si Gendut dan teman-temannya tanpa belas kasih. Bunyi ngilu tulang-tulang yang retak, bercampur dengan seruan yang tertahan, malah membunyikan rasa puas di batinnya. Dia serasa pulih--dia mulai berdiri.

"Ger, Ger! Ambil, Ger!"

Sebuah batang besi tebal sepanjang satu meter mendarat mulus di genggamannya. Seketika, ada rasa superior yang menyenangkan memenuhi dia. Dengan sekuat tenaga, diayunkannya batang itu di batok kepala Si Gendut. Lalu dihantamnya leher Si Gendut. Setiap ayunan besi membuat Si Gendut semakin bingung, sementara dia semakin kuat. Kata sialan terus-menerus berulang di kepalanya selagi ia mengayunkan si batang besi ke berbagai organ Si Gendut. Tulang keringnya. Buah zakarnya. Perut buncitnya. Kepalanya. Lagi, kepalanya. Si Gendut roboh ke jalan beraspal...

"Mati loe, anjing!" ...dan dengan semua sisa tenaga yang ada di setiap otot lengannya, dihantamkannya batang besi dingin itu ke wajah Si Gendut.

***

"Ger, lo ngapain?"

Pemandangan yang aneh.

Si Gendut terkapar tak bergerak. Warna merah darah segar tampak kontras di kausnya yang hijau terang. Lengan dan kaki yang berlemak terletak pasrah di jalanan. Sekarang tidak lebih dari daging kambing yang ditampilkan di kedai kebab; hanya lemak tanpa nyawa.

Permainan sudah selesai. Dia memandang ke kanan dan ke kiri. Dia tidak tahu lagi dimana teman-teman Si Gendut. Nafasnya terengah-engah tidak karuan. Jalanan sepi, tapi begitu banyak dengungan bising saling beradu di kepalanya. Dia bingung.

"Cabut, Ger," sebuah tangan yang kuat dan pemaksa menariknya berdiri. Dengan masih membawa bising di kepala, ia berdiri dan ikut berlari dalam kondisi seperti trans. Berlari; tidak tahu kemana, tidak tahu berapa lama. Kepalanya kosong dan berisik. Seperti gema yang tidak bisa berhenti terpantul-pantul di sebuah ruangan kecil tanpa furnitur.

Ada mayat anak SMA berlumuran darah di jalanan.

Mayat gendut itu dia yang bunuh barusan.

***

Lalu, dia pingsan.

3 Responses to “Merah”

Comments

  1. Anonim says:

    Emmm, terlambat kah?

    Skor masih 15:1. Ayo tetap semangat! :D

  2. Nggaaaaaak, udah beres tapi laptop rusak (TT___TT) jadi baru masukin

  3. Anonim says:

    Oooooooooo, haha baiklaah

Reply