Archive for 01/01/2011 - 02/01/2011
On Senin, 31 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dua tahun yang lalu, Rima membeli sebuah kacamata merah. Bukan gagangnya yang merah, tapi kacanya. Seperti kalau kacamata hitam juga kacanya yang hitam. Sampai sekarang, kacamata itu adalah salah satu benda favoritnya. Rima akan memakainya saat ia bosan dan butuh hiburan tapi ingin sendirian. Ia akan berjalan-jalan (mungkin keliling kompleks perumahannya, mungkin keliling Bandung) sambil mengenakan kacamata merahnya itu.

Maka,

daun pohon terlihat merah dan rantingnya jua,

orang-orang berkulit merah dan bajunya serupa,

rumah-rumah dicat merah dari atas sampai lupa,

mobil-mobil berwarna merah sampai ke jalanannya juga.

Rima akan terus berjalan, melalui jalan-jalan yang biasa dia lalui; hanya sekarang dengan warna merah. Rima tersenyum. Senyumnya merah. Yang disenyumi juga merah.

catatantambahan: lagilagilupakasihjudul
On Minggu, 30 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dona berdiri di tengah-tengah jalanan yang ramai; diam di situ, di titiknya yang aman. Orang-orang lalu-lalang mengenakan baju bagus dan ketidakpedulian. Segalanya berlangsung cepat--seperti potongan-potongan video untuk merekayasa memori--dan kasar--seperti amplas.

Dona berdiri diam di sana dan menutup mata. Diangkatnya tangan ke samping kepala dan ditutupnya telinga. Orang-orang tetap lalu-lalang sambil bilang, "Dona gila."

catatantambahan: lupakasihjudullagi

Presisi

On Sabtu, 29 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Mobil putih itu melaju dengan cepat, tidak memedulikan mobil-mobil di sekitarnya. Tiga orang di sampingku hanya duduk diam; aku tidak bisa menebak apakah mereka ketakutan atau sudah terbiasa. Ketiganya memasang wajah tak bergeming, memegang erat bawaan masing-masing.

Lalu aku melirik kepada lelaki berwajah marah yang menentukan hidup-mati kami saat ini: sang supir. Raut wajahnya serupa pembunuh berdarah dingin... Menyetir tanpa memedulikan nyawa empat orang di belakangnya. Apakah dia sengaja membuatku takut setengah-mati seperti ini?

Tidak. Aku tidak boleh takut. Aku harus tetap fokus. Ini adalah permainannya, tapi aku tidak boleh kalah. Sebentar lagi akan tiba saat penentuan. Aku sudah mulai melihat gedung-gedung yang familiar... Jalan-jalan yang kulalui tiap hari...

Sebentar lagi.

Tanganku berkeringat. Badanku condong maju dan mataku menyipit penuh konsentrasi...

Aku harus mengatakannya tepat pada waktunya. Memperkirakan percepatan tiba-tiba yang akan dilakukan si supir kejam tepat di belokan. Memperkirakan jeda yang dibutuhkan mobil bobrok ini untuk benar-benar berhenti.

Sebentar lagi...

"Kiri!"

Mata itu melirikku dari spion. Ia berdecak dan menginjak remnya. Mobil putih itu melambat... melambat... dan akhirnya berhenti. Tepat di depan pintu rumahku.

Aku tersenyum bangga, turun, dan membayar.

catatantambahan: dibuat tanggal 29, besoknya ditaruh di sini.

Tenang: Kisah Dadi Suhardja dan Tigapuluh Dua Anak SMA

On Kamis, 27 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Begitu angin lewat, ada bunyi gemerisik dan pohon-pohon melambaikan dahannya; seperti sebaris perempuan menari mengikuti irama rebana, dan semuanya tampak indah mengenakkan mata. Taman sekolah swasta ini memang tertata dengan baik sekali.

Dadi Suhardja berjalan perlahan dengan pohon-pohon sebagai lorongnya. Tenang sekali rasanya. Tidak rugilah, dia menjadi guru di sekolah ini. Ia tersenyum bangga lalu masuk ke kelas untuk mengajar tigapuluh dua bocah SMA.

***

Sejak kecil, Dadi tidak pernah tahan dengan suara yang terlalu berisik. Maka, prinsipnya saat mengajar:

"Jangan berisik. Daripada mengganggu lebih baik tidur saja."

Dan para murid yang baik hati menurut.

Tiap kali Dadi masuk kelas, tigapuluh dua anak SMA itu langsung memelankan suara mereka dan duduk di tempat masing-masing. Lalu Dadi akan mengucap selamat pagi yang mereka balas dengan serupa. Lalu Dadi mulai mengoceh tentang jenis-jenis kalimat bahasa Indonesia dan tigapuluh dua kepala mulai berjatuhan.

"Jadi, ada dua jenis kalimat..."

Pertama, tentu saja, seorang cowok bertubuh kecil dan berwajah selalu-ngantuk yang duduknya agak di belakang. Ia bahkan sama sekali tidak berusaha untuk membuka mata; ia menaruh kedua tangannya di atas meja, kepalanya di atas tangannya, dan tidur pulas.

Dadi Suhardja terus melanjutkan dengan suara ajaibnya yang mengalahkan nyanyian Jigglypuff.

"...kalau yang ini dipakai apabila... Contohnya ada di halaman limapuluh empat, ya, coba dibuka."

Berikutnya, beberapa cewek yang duduknya menempel pada tembok. Awalnya mereka masih berusaha membuka mata dan menegakkan kepala, namun akhirnya menyerah dan tidur pulas.

Lalu segerombolan cowok yang duduk di baris paling belakang; pelan-pelan mereka mengatur tas sedemikian rupa dan tidur dengan posisi yang terlihat sangat nyaman.

Lalu bahkan yang biasanya terlihat rajin juga mulai berjatuhan. Lucu sekali melihat kepala mereka nyaris terjatuh, tapi mereka berusaha menahannya, tapi lalu mengulanginya lagi. Akhirnya mereka jadi mengangguk-angguk.

"Nah, jadi kan kalau di kalimat ini--"

Dadi Suhardja terdiam. Ia memandang sekelilingnya: tidak satu pun yang masih membuka mata. Tigapuluh dua kepala terbaring pasrah dan nyaman di meja masing-masing. Dari baris terdepan sampai baris terbelakang; semuanya diam, tenang, dan tertidur.

Maka Dadi memasukkan bukunya ke dalam tas. Lalu ia berjingkat ke arah pintu dan--dengan amat hati-hati karena tidak ingin membangunkan satu pun--membuka pintu kelas dan keluar.

***

Dadi Suhardja berjalan pelan melalui lorong-lorongan yang dibentuk oleh puluhan pohon yang berjajar. Ia menikmati angin semilir dan bunyi gemerisik daun kering yang seperti rebana. Entah apa, pikir Dadi, yang sedang dimimpikan oleh tigapuluh dua murid SMA.

catatantambahan: dibikin tanggal 27, ditaruh di sini tiga hari kemudian.

Putih

On Rabu, 26 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Di ITB ada seorang bapak tua yang bukan dosen ataupun pegawai administrasi--saya kurang tahu dia siapa. Yang saya tahu, salah satu pekerjaannya adalah mengecat ulang bagian langit-langit koridor yang sudah jamuran.

Sebatang rokok di bibir menyala seadanya. Kaosnya kumal, celananya apalagi. Tidak seperti mahasiswa yang sok kumal, pria tua ini betulan kumal. Dengan gerakan yang hampir konstan sempurna, ia menggerakan alatnya. Ke atas, dan ke bawah. Ke atas, ke bawah.

Atas,
bawah.

Atas,
bawah,

atas,
bawah.

Terus begitu sampai di depan matanya hanya ada warna putih; yang bisa dia lihat hanya warna putih.

Di dunianya hanya ada warna putih.

Putih.

...

Kalau ini sinetron, film, atau novel, setelah ini adalah bagian yang menceritakan kenangan pria tua ini dengan warna putih. Misalnya, dia punya mendiang istri yang suka warna putih. Atau anaknya mati ketika memakai gaun putih. Atau ibunya yang gila hanya bisa tenang kalau melihat warna putih. Tapi ini bukan sinetron, bukan film, dan bukan novel--saya juga tidak tahu ini apa.

Apapun ini, pria tua berpakaian kumal itu masih mondar-mandir di koridor-koridor ITB, celingak-celinguk mencari langit-langit berjamur untuk mengecatnya ulang dengan warna putih supaya dia bisa makan nasi putih dengan gaji yang putih.

catatancepat: di mobil Koh--Bella, Prysha dan Clara duduk di belakang dan sebentar lagi pulang--ketika teringat dan melirik jam mobil Koh: 12:13. Otomatis terpikir dua huruf: "FU". Pasrah dan berpikir apakah tiga belas benar-benar angka sial. Berencana untuk membuat tulisan-macam-begini di waktu luang siang hari dan menulisnya di kertas dulu lain kali. Karena, sepadat apapun kalimat dan seberat apapun cerita: selalu ada spasi. Lalu ketika sampai di kamar dan berinternet untuk mengirim email ke Rama terkait Mediamorphosis, tiba-tiba laptop saya bilang, "Ini baru jam 11:44." Lalu telepon genggam mengangguk setuju, "Iya, ini baru jam 11:44!" Lalu, ce-pat-ce-pat-bu-at-a-pa-sa-ja. (dibuat tanggal 26, ditaruh di sini empat hari kemudian)

Keluar ke Luar

On Selasa, 25 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Suatu hari, Ali berdiri dari kursi kayunya. Ia mulai mengisi ranselnya dengan berbagai macam barang: baju, makanan, mainan. Lalu dia berjalan ke arah pintu dan menengok kepadaku.

"Ayo kita pergi dari sini," katanya.

Ajakan yang menarik sekali. Tapi...

"Tapi aku masih ada pekerjaan untuk dilakukan."

"Tinggalkan saja."

"Tidak bisa."

Ali memandangku lama. Ada setengah-heran dan setengah-pengertian di kedua matanya yang cokelat terang.

"Kamu yakin?"

"...Ya."

Dan dia pun keluar sambil menutup pintu di belakangnya, meninggalkan aku dengan kertas-kertasku dan kursi kayunya yang kosong.

Dan aku; setiap malam aku bertanya pemandangan indah macam apa yang sedang dia lihat sekarang.

catatantambahan: dibuat tanggal 25, ditaruh di sini lima hari kemudian.
On Senin, 24 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Tolong aku.

Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar suara itu. Awalnya hanya samar-samar saja; saking samarnya aku tidak yakin dan kuabaikan saja. Tapi lalu suara itu datang lagi:

Tolong aku.

begitu katanya. Aku diam saja. Ragu untuk bergerak dan mulai tidak percaya pada telinga sendiri. Apa benar ada yang minta tolong tadi? Ah, masa sih? Tapi pelan saja suaranya--tidak keras dan tidak panik--jadi mungkin bukan masalah besar.

Dan aku pun melanjutkan hari-hari seperti biasa. Frasa kecil itu kadang-kadang datang lagi, menggangguku. Tapi aku pura-pura tidak dengar. Rasa-rasanya aku tidak mau tahu. Aku cukup terlalu sibuk untuk duduk diam dan mendengarkan curahan hati orang lain. Masa aku berhenti mengurusi masalahku untuk menyelesaikan masalahnya? Ah, sudahlah. Biar dia menolong dirinya sendiri, seperti yang semua orang di dunia lakukan, pikirku.

Tapi, suara itu datang lagi:

Tolong aku.

Sedikit lebih keras sekarang, sehingga aku bisa mendengar getar takut dalam suaranya. Sekarang dia mulai mengusikku lebih parah.

Tolong aku.
Tolong aku.
Kumohon,
tolong.


Bertubi-tubi. Sekarang aku sudah gila kalau masih pura-pura tidak mendengar. Suara itu sudah nyaris seperti jeritan sekarang. Bukan satu orang, tapi berjuta. Berjuta suara yang seperti koor besar mengerikan; suara dari mereka yang sudah kehabisan air mata dan kelebihan beban. Yang sekujur tubuhnya penuh luka iris, seperti oleh pisau, yang mereka tutup-tutupi dengan baju bagus.

Dan mereka minta tolong.

.
.
.

Anak bodoh, kami sudah tidak bisa lagi berjalan tegak seperti yang dulu kami lakukan. Kami lelah. Lihat, kami berdarah-darah! Anak baik, kenapa kamu tega? Tolong ingat sedikit ceritamu; waktu itu kamu yang minta tolong. Dan kami rasa waktu itu ada yang menolongmu. Kami rasa--walaupun ini hanya serasa kami saja, kami tidak pernah begitu mengerti--sampai sekarang pun, kamu masih terus ditolongnya. Kan?

...

Mereka pun tahu, sepertinya, bahwa aku tidak tuli.

catatantambahan: Lupa. Kasih. Judul. (dibuat tanggal 24, ditaruh di sini enam hari kemudian)

Sok Saja Sih

On Minggu, 23 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Cak, cak.

Itu bunyi permen karet Gilang yang dikunyahnya keras-keras.

Dengan wajah mengantuk-asyik, kemeja putih, jins, sepatu kets belel, dan sikap sok-santainya yang biasa, ia melangkah masuk ke gedung berlantai entah-berapa-puluh itu. Anak baru ini rupanya tidak ingin terlihat tegang--walaupun sebenarnya iya--ataupun gugup--walapun sesungguhnya banget. Tapi ia malah mendapat lirikan tidak setuju dari tante-tante dan om-om berbaju rapi yang dengannya ia berpapasan--sepertinya menganggap perilaku si Gilang ini sebagai sindiran untuk mereka-mereka yang umurnya sudah lebih uzur.

Gilang sih berlagak tidak peduli saja, dan berjalan dengan langkah yang diringankan menuju ruangan yang dituju. Ruangan kecil yang ada sofanya satu.

Ia sendirian selama tiga menit.

.
.
.

Lalu, tak.

Seorang wanita tigapuluhan masuk. Cantik, sangat cantik. Rambutnya pendek dan riasan seadanya, natural tapi bukan naturalnya tukang salon. Kemeja, blazer, dan rok span yang warnanya mengenakkan mata, juga tas kerja yang modis. Dan hawa mengagumkan seorang wanita karir.

Tak, tak, tak, bunyi hak sepatunya.

Cak, cak, cak, bunyi permen karet Gilang.

Lalu diam selama empat menit.

.
.
.
.

Wanita itu duduk di sampingnya. Gilang sih sok keren saja, seperti bagaimana dia biasanya. Sok cuek. Seperti waktu SMP celananya sobek di depan kelas dan dia memasang wajah santai. Padahal kalau perasaannya tergambar di wajahnya, pasti sudah seperti kepiting rebus. Gilang diam saja, sok tidak sadar di sampingnya ada wanita karir cantik berambut pendek. Padahal dari ujung mata ia sesekali memperhatikan.

Lalu diam selama dua menit.

.
.

"Eh, maaf--" si wanita karir bersuara.

"Ya?" Gilang menjawab keras dan menengok. "Kenapa?"

Wanita itu menoleh dalam diam, memandang si lelaki bau kencur berpakaian jelek itu dengan bingung. Lalu berputar sedikit untuk menunjukkan benda kecil bernama telepon genggam yang kepadanya dia sedang berbicara.

Dan bukan kepada Gilang.

"Em," wanita itu memalingkan wajah lagi. "Iya, maaf, Pak, saya mau nanya ini kalau..."

Lalu wanita itu ngomong sama si 'Pak' di seberang sana selama satu menit.

.

Gilang sih sok cuek saja, walaupun sebenarnya malu. Gilang sih sok tidak peduli saja, walaupun sebenarnya menyesal. Gilang sih sok keren saja, walaupun sebenarnya tidak ada keren-kerennya lagi sekarang--dan dari dulu pun tidak.

catatantambahan: diselesaikan pukul sebelas lewat lima puluh lima, ditaruh di sini pukul dua belas lewat dua puluh lima.

Gemas

On Sabtu, 22 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Mulutnya komat-kamit tanpa henti, suaranya berat dan nadanya datar. Ia menunjuk-nunjuk papan tulis dengan kapurnya yang pendek, tuk tuk tuk. Apa itu, angka-angka rumit di papan tulis hitam itu, sepertinya penting. Sepertinya akan berguna untuk UAS yang sudah mau datang itu. Sepertinya aku harus memperhatikan dan mencatat dengan fokus tinggi.

Tapi aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.

Alih-alih kepada angka-angka penting itu, perhatianku malah jatuh pada bercak-bercak putih menyebalkan di papan tulis. Tahu, tidak? Itu, bercak-bercak kapur yang tersisa setiap kali dia menghapus dengan tidak bersih. Ayunan penghapus yang tidak niat dan tidak jelas menyebabkan bercak sialan tersisa. Gemas. Aku tidak tahu apakah aku yang kelainan atau bagaimana, yang jelas ini benar-benar menggangguku. Bercak-bercak putih yang nanggung. Yang bikin gemas. Yang bikin gila.

"Sudah dicatatnya?" katanya dengan nada datar yang sama. "Nah, lanjut, ya..."

Sret.

Sial, niat nggak sih menghapusnya? Terus saja kau tinggalkan bercak putih di ujung-ujung papan tulis yang tidak bisa kau capai karena tinggimu tidak sampai 160 sentimeter.

Aku tidak menangkap apa pun yang ia komat-kamitkan hari itu.

Sret.

Dan bercak-bercak putih tetap ada di sana sampai bel berbunyi dan aku pun meninggalkan kelas.

Di luar pintu kelas, anehnya, perasaan sebal yang tidak penting itu langsung menguap. Kesadaran akan kehidupan di luar papan tulis mulai merasuki diri, bersamaan dengan kesadaran akan adanya hal-hal yang lebih penting dan lebih menyenangkan untuk dipikirkan.

***

"Kak, Mama sudah di depan, ya."

Ibuku sendirian rupanya, menyetir. Sebagai anak yang sopan dan menghormati orang tua, supaya ibuku tidak terlihat seperti supir, tentu saja aku duduk di depan.

"Gimana tadi di sekolah?"

"Hm, yah."

Hari itu hujan. Kaca di depanku jadi penuh dengan titik-titik; ratusan tetes air hujan. Ibuku mengaktifkan wiper.

Wiper bergerak dengan konstan: sret, sret, sret.

Oh.

Lihat itu, lihat spot kecil yang terlihat seperti sirip hiu itu. Yang, sementara sekelilingnya dilap sampai bening, tetap penuh tetes-tetes air hujan karena tidak tersentuh oleh wiper.

Sret, sret, sret.

Spot kecil menyebalkan yang tidak tersentuh. Spot yang nanggung dan bikin gila.

Lihat itu.

...gemas.

Seandainya

On Jumat, 21 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
.

Nina memegang dahinya sendiri; itu tanda putus asa. Tangannya berkeringat dan bibirnya habis digigiti. Ampun. Kenapa aku bisa lupa...? Dengan gemas dia memandang kertas ulangannya yang nyaris kosong. Kenapa oh kenapa, aku bisa sampai lupa rumus umumnya?

Di sampingnya--persis di sampingnya---Tia menulis dengan penuh semangat dan tampang tidak ingin diganggu gugat. Sayangnya, menurut hukum yang berlaku, hanya si Tia inilah orang yang paling berpotensi untuk diconteki saat ini.

Disobeknya secarik kertas kecil dan ditulisnya singkat:

"Rumus umum?"

Tapi Nina ragu. Dia tidak begitu dekat dengan Tia, dan anak itu dikenal sensitif.

Ah, sebodo, pikirnya tak acuh. Lalu, dengan gerakan yang menurutnya gerilya, ditaruhnya kertas itu di meja sebelah.

.

Tia mengerjakan dengan semangat. Ini gampang, nyaris-seratus di tangan. Ini, begini. Kalau itu, begitu. Lama-lama menyenangkan. Lama-lama keasyikan.

Tiba-tiba asyiknya diganggu oleh secarik kertas yang ditaruh dengan cepat di mejanya:

"Rumus umum?"

Tia melirik. Ah, cewek itu. Biasanya tidak pernah menyapa, begitu butuh langsung mengganggu. Padahal ini kan bahaya, bukan hanya buatnya tapi juga buatku. Cih. Menyebalkan, pikirnya. Aku ganti sedikit rumusnya, biar tahu rasa.

.

Nina dapat jelek, Tia dapat bagus. Yang pertama langsung kesal dan menggosipkan yang kedua dengan semena-mena, seenak udel dan seluas-luasnya. Yang kedua juga kesal dan menangis sendirian di kamar mendengar selentingan-selentingan buruk tentangnya.



.
...
.....
.......
.........
.......
.....
...
.



Nina memegang dahinya sendiri; itu tanda putus asa. Tangannya berkeringat dan bibirnya mati rasa karena digigiti. Ya ampun. Kenapa aku bisa lupa...? Dengan gemas dia memandang kertas ulangannya yang hampir tidak ada isinya. Kenapa sih, aku bisa sampai lupa rumus umumnya?

Di sampingnya--pas di sampingnya--Tia menulis dengan penuh semangat dan tanpa henti. Tampaknya dia tidak akan suka kalau sampai terganggu gugat. Sayangnya, menurut hukum yang berlaku, hanya si Tia inilah harapan satu-satunya Nina saat ini.

Disobeknya secarik kertas kecil dan ditulisnya singkat:

"Rumus umum?"

Tapi Nina ragu. Dia tidak begitu dekat dengan Tia, dan anak itu dikenal sensitif.

Ah, sebodo, pikirnya. Begini saja supaya kelihatan ramah dan merasa bersalah:

"Rumus umum? Hehe"

Lalu, dengan gerakan yang menurut dia seperti ninja, ditaruhnya kertas itu di meja Tia.

.

Tia mengerjakan ujiannya dengan semangat tinggi. Baginya ini gampang, sembilan puluh di tangan. Ini, jawabannya anu. Kalau itu, jawabannya ini. Lama-lama menyenangkan. Lama-lama keasyikan.

Tiba-tiba asyiknya diganggu oleh secarik kertas yang ditaruh dengan kilat di mejanya:

"Rumus umum? Hehe"

Tia melirik. Ah, cewek itu. Biasanya tidak pernah menyapa, kalau ujian, saja..., pikirnya.

"Hehe"

Entah kenapa Tia jadi terbayang wajah Puss in Boots yang memelas. Wajah yang terkenal itu, lo.

Ah, tapi kasihan juga, pikirnya iba.

Ditulisnya si rumus umum yang berharga di kertas kecil itu. Rumus yang sama seperti yang dia pakai--tidak ditambahi, tidak dikurangi.

.

Nina dapat bagus, Tia juga bagus. Yang pertama langsung merasa berterima kasih pada yang kedua, menyampaikan rasa terima kasihnya dan menyapanya dengan ramah, bahkan memujinya kalau ada kesempatan. Yang kedua jadi senang karena diterimakasihkan dan disapa-sapa, apalagi kalau dipuji-puji.

.

Kenapa Dia Senang Sekali Mendapat Anak Perempuan

On Kamis, 20 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Nando! Ayo sini, makanannya dimakan, dong!"

"Nggak mau!"

Perempuan muda malang itu berlari sekencang yang dia bisa dengan kemeja dan rok putihnya. Sendal jepitnya berbunyi plok, plok, plok selagi ia berlari dan rambutnya tampak seperti kawat pembersih piring.

Beberapa meter di depannya, Nando, si anak majikan yang berusia enam tahun, berlari, melompat, dan tertawa tanpa kendali.

Perempuan itu menghela nafas. Nando melet.

Perempuan itu mengusap dahinya sendiri. Nando mendatangnya dan menjambak rambutnya.

Perempuan itu menangis saking kesalnya. Nando menertawakannya dan berlari pergi.

Nando terpeleset lalu menangis. Perempuan itu balik menertawakannya--lebih keras daripada yang sebenarnya ia rasakan--lalu pergi sambil berharap majikannya segera menemukan babysitter baru.

Dari Atas Pohon di Samping Danau

On Rabu, 19 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Mereka lebih ringan daripada buku-buku pelajaran--isi tasku yang biasanya. Hari ini aku tidak membutuhkan buku-buku pelajaran itu karena aku tidak akan pergi ke sekolah, meskipun saat ini aku mengenakan seragam. Aku harus mengenakan seragam supaya Bunda tidak curiga bahwa hari ini aku mau kabur dari rumah.

***

Aku menatap pohon di hadapanku. Pohon ini daunnya tidak terlalu banyak, dan dia tampak sangat tinggi...--yah, mungkin bagi Ayah atau kedua kakakku tidak terlalu tinggi. Walaupun begitu, ia tampak kokoh dan banyak cabang-cabang yang dapat kupijak. Posisinya pun sangat bagus, tepat di samping danau yang mengerikan itu. Kalau aku sudah naik, aku bisa bergeser dan aku akan berada di atas danau. Dan melihat pantulanku di air, mungkin.

Ranselku harus dibawa karena makananku ada di dalamnya. Aku mengencangkan tali ransel dan mencopot sepatu serta kaus kakiku. Lalu aku memegang batang pohon itu dengan tangan kiri, dan menaikkan kaki kananku ke cabang terdekat dan--hop! Aku berhasil naik. Aku terus memanjat dari cabang ke cabang, ternyata tidak sesulit yang terlihat dari bawah sana. Setelah beberapa detik, aku berhasil sampai di bagian yang cukup tinggi. Aku bergeser ke bagian yang tepat di atas danau dan menaruh pantatku di posisi yang paling nyaman.

Aku merasa senang. Sudah lama aku memperhatikan pohon ini, aku melewatinya tiap kali berjalan ke sekolah, tapi baru kali ini aku benar-benar memanjatnya. Aku senang--tapi pada saat bersamaan aku juga sedih karena saat ini aku sendirian. Tidak ada yang tahu bahwa aku berhasil memanjat pohon tinggi ini. Tentu saja aku bisa menceritakannya pada orang-orang, tapi itu tidak sama. Akan lebih mengasyikan kalau di sini ada saksi hidup yang melihatku melakukan semuanya ini.

Aku menggantung ranselku di cabang yang ada di atasku dan mengambil roti manis dari dalamnya. Ini makanan pertamaku hari ini--tadi aku tidak mau sarapan karena Bunda yang memasak sarapan itu dan aku kan sedang marah sama Bunda. Aku juga marah sama Ayah. Aku tidak marah pada kedua kakakku, tapi saat ini aku tidak ingin bertemu dengan mereka juga. Itulah kenapa aku kabur dari rumah.

Roti manis itu rasanya enak. Susu cokelatnya juga enak. Aku menghabiskan keduanya sambil memandang ke seberang danau. Sementara biskuit kejunya sudah tidak enak lagi. Aku hanya memakan setengah, sisanya aku taruh lagi. Pantulanku di danau tidak terlihat, tertutup oleh bayangan daun-daun dan lain-lain.

Aku bisa melihat ada beberapa rumah di seberang danau. Semuanya bagus sekali. Pasti menyenangkan memiliki rumah yang langsung menghadap ke danau. Pasti seru sekali. Rumahku yang sekarang membosankan. Tapi aku tidak mau pindah, dari kecil aku sudah tinggal di sana.

Aku melihat jam: jam satu siang. Aku mengambil ranselku dan memanjat turun. Lalu aku memakai kaus kaki dan sepatu. Sudah cukup kaburnya, sekarang waktunya makan siang.

laripagi

On Selasa, 18 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Kurang-lebih tiga kali dalam satu bulan dia pergi ke taman kota di dekat rumahnya. Biasanya saat itu pukul tujuh pagi di hari Sabtu, saat kantornya libur. Dia akan mengenakan kaus dan celana pendek yang nyaman, rambut panjangnya diikat asal. Tas, telepon genggam, dan dompet yang biasanya dibawa kemana-mana, ditinggalnya. Dia hanya membawa beberapa uang receh di kantungnya dan sebuah handuk kecil. Dia akan berlari pagi.

Dia selalu mengawalinya dengan berdiri diam di tengah jalur lari pagi itu. Diperhatikannya pohon-pohon yang menjulang tinggi dan sebuah gerobak bakso di sebelah kirinya. Penjajanya sedang membersihkan piring sambil bersiul. Seorang rakyat biasa, penjual bakso, yang hidup di kota Jakarta; seharusnya orang itu punya beragam masalah. Tapi saat ini dia terlihat begitu tenang, membunyikan nada yang tidak jelas sambil mengelap piring-piring murah.

Lalu dia mulai berlari. Si tukang bakso dan gerobaknya tertinggal di belakang.

Dia--dalam kata kerja yang sederhana--suka berlari pagi. Lebih daripada alasan-alasan kesehatan, dia menikmati kegiatan ini. Ada perasaan bebas dan tenang saat ia berlari di antara sinar matahari pagi dan udara yang lembab. Meskipun kedua kakinya terus bergerak, sebenarnya dia justru sedang berdiam saat berlari. Dia mengamati sebuah keluarga yang sedang duduk di tengah taman. Sambil melewati mereka, dia menghitung: ayah, ibu, dan empat anak. Kira-kira repot tidak ya, mengurus empat anak seperti itu?

Dia terus berlari. Masalah memang masih terus mengomel di dalam otaknya; tapi saat dia berlari omelan mereka menjadi lebih samar. Lebih tidak berkuasa, ia mengambil kesimpulan sambil melewati tiga orang anak dekil kecil yang sedang bermain layangan. Yang satu berusaha menghindarkan layangannya dari sebuah pohon kelapa sementara yang dua lainnya tertawa keras-keras. Dia mempercepat langkahnya melewati mereka.

Dia masih sadar akan keadaan beban-beban pikirannya itu. Mereka memang tetap ada di sana, tapi rasanya mereka tidak begitu penting saat dia berlari. Yang lebih penting adalah gerakan konstan kedua kakinya, gerakan mengayun rambut panjangnya. Yang lebih penting adalah angin lembut yang terus menyambut wajahnya. Yang lebih penting adalah orang-orang yang dia lewati saat ini; yang sedang terus bergerak dalam ketenangan mereka sendiri-sendiri. Dia berlari menyusul seorang bapak tua yang bernafas dengan keras.

Saat ini dia tidak begitu peduli tentang pekerjaannya yang masih menumpuk. Saat ini dia tidak begitu peduli tentang adiknya yang terus-menerus minta uang untuk alasan yang tidak jelas. Bahkan saat ini dia tidak peduli bahwa dua hari lalu tunangannya--mantan, membatalkan niat untuk menikah. Saat ini, yang akan berlangsung selama satu jam lebih sedikit, mungkin dia sedang secara harafiah "berlari dari kenyataan".

Dia terus berlari; mengikuti jalur yang sedikit menanjak, berbelok, lalu sedikit menurun. Menaiki tangga beranak dua, melewati pohon-pohon cemara. Menendang sebuah batu kecil sambil terus berlari. Mengamati dua ekor kupu-kupu berwarna kuning. Merentangkan tangannya lebar-lebar dan bermain dengan angin.

Akhirnya, ia memelankan langkahnya dan mulai berjalan. Seorang tukang bakso berdiri di sebelah kirinya; gerobaknya penuh uap beraroma kaldu. Satu putaran sudah.

BRUK! PRAK! BYAR!

On Senin, 17 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Hari ini hari Sabtu, jadi Melani Davina tidak usah pergi ke sekolah. Ayah dan ibunya sudah pergi sejak pagi dan sekitar jam dua siang kakaknya, Mila, mengumumkan, "Vin? Aku mau jalan nih sama Bayu. Kamu mau ngapain hari ini?" Maka Melani Davina memutuskan untuk menumpang mobil pacar kakaknya sampai ke mal terdekat dan jalan-jalan sendirian.

***

Vina adalah siswi kelas 3 SMP. Ia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama, Ayu, sedang berkuliah di Bandung--semester ketiga. Kakaknya yang kedua, yaitu si Mila, sekarang sudah kelas 3 SMA. Sejak kecil Vina mengagumi kedua kakaknya. Ia menunggu saat dimana ia bisa bersikap dan berdandan seperti mereka--"dewasa", begitu menurutnya.

Vina pikir, hari ini dia akan mulai mencoba. Dipakainya celana jins biru yang ketat dan sendal cantik. Dipinjamnya tank top dan cardigan Mila ("Kamu mau ngapain sih, Vin?"). Lalu, diam-diam, dibawanya beberapa gelang dan peralatan rias Mila.

***

Setelah mengucapkan terima kasih dan melambai kepada Mila dan pacarnya, Vina langsung pergi ke toilet wanita untuk "bertransformasi". Dengan semangat, tapi hati-hati, dipakainya bedak wajah dan lip gloss. Dicoretnya juga bagian atas matanya dengan eyeliner. Semua itu dipakainya tipis saja--takut juga dia. Lalu Vina menyisir rambut panjangnya dan menatap pantulannya di cermin toilet umum wanita. Ternyata dia tidak kalah dengan kedua kakaknya. Beberapa tahun ke depan, Vina yakin ia akan tampak bahkan lebih dewasa dan lebih cantik.

Puas, Vina merapikan tas dan memakainya dengan gaya, mengecek pantulannya untuk terakhir kali, dan melangkah ke luar.

***

"Untuk berapa orang?" tanya petugas bioskop dengan datar.

"Em, satu aja," jawab Vina terbata. Dibayarnya, lalu dia duduk di dalam bioskop. Filmnya tidak lama lagi mulai.

Meskipun tidak ada hal menarik yang terjadi di dunia maya, Vina menyibukkan diri dengan Blackberrynya, sambil sesekali memandang para remaja yang lalu-lalang di sekitarnya. Di matanya, anak-anak SMA terlihat sangat keren dan mahasiswa tampak sangat dewasa. Tapi orang tua begitu membosankan.

"Pintu teater dua telah dibuka. Bagi para pengunjung yang sudah memiliki karcis, diharap segera memasuki teater dua."

Vina bangkit berdiri dan memesan popcorn serta minuman--keduanya berukuran kecil. Lalu dengan dagu yang sedikit terangkat dan tangan yang penuh, ia berjalan ke arah pintu...

Ping!

Ah, Blackberrynya berbunyi. Apa kira-kira...?

"Mbak, awas tang--!"

BRUK! PRAK! BYAR!

***

Melani Davina terbaring di atas tangga beranak dua. Perlahan, ia membuka matanya yang basah. Coca-cola berukuran kecil rupanya cukup untuk membasahi seluruh wajahnya, juga bagian atas tank top serta cardigan Mila.

Ada sedetik sepi di dalam bioskop--semua anak SMA, mahasiswa, dan para orang tua terdiam sebentar untuk menengok ke arah Vina. Dua orang petugas bergegas membantunya. Butiran popcorn bertaburan di atas tangga, berbunyi kres kalau terinjak orang lewat.

Merah

On Minggu, 16 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 3 Comments
Kerah kemeja yang terangkat itu sudah kehilangan jati diri warna putihnya. Semua kancing tak terpasang, memperlihatkan tubuh yang kurus dan hitam. Mata kanannya lebam. Bibirnya bengkak. Darah mengucur dari pelipis kirinya seperti air mata seorang bunda yang baru saja kehilangan anak.

"Mampus loe!" Si Gendut berkaus hijau terang memaki. "Biar lain kali nggak banyak bacot lagi, loe!"

Kalimat itu diakhiri dengan ludah; mendarat tepat di pipi dia yang sedang terbaring di jalanan. Dia merintih. Dia berusaha membuka mata kiri yang sepertinya juga sudah mengalami kerusakan. Ada bayang-bayang samar Si Gendut berkaus hijau, ada dua orang lagi di sebelah Si Gendut. Mereka mengikuti jejak Si Gendut: meludahi wajahnya.

"Biar mati loe."

"Makanya, gangguin cewek sekolah sendiri lah, woi!"

Sambil terus melontarkan makian yang tidak pantas, dua--tiga--entah berapa kaki, menendangnya. Kepadanya keringat dan darah para penyiksa jatuh seperti hujan rintik-rintik. Bibirnya yang mati rasa bertemu jalanan dan debu tanah masuk ke mulutnya. Dia terbatuk dan merintih. Sakit. Kesal. Kesal.

"Ger!"

Sebuah suara familiar datang dari belakang telinganya. Dari kursi penontonnya di bawah, ia melihat batang-batang besi terayun menghantam Si Gendut dan teman-temannya tanpa belas kasih. Bunyi ngilu tulang-tulang yang retak, bercampur dengan seruan yang tertahan, malah membunyikan rasa puas di batinnya. Dia serasa pulih--dia mulai berdiri.

"Ger, Ger! Ambil, Ger!"

Sebuah batang besi tebal sepanjang satu meter mendarat mulus di genggamannya. Seketika, ada rasa superior yang menyenangkan memenuhi dia. Dengan sekuat tenaga, diayunkannya batang itu di batok kepala Si Gendut. Lalu dihantamnya leher Si Gendut. Setiap ayunan besi membuat Si Gendut semakin bingung, sementara dia semakin kuat. Kata sialan terus-menerus berulang di kepalanya selagi ia mengayunkan si batang besi ke berbagai organ Si Gendut. Tulang keringnya. Buah zakarnya. Perut buncitnya. Kepalanya. Lagi, kepalanya. Si Gendut roboh ke jalan beraspal...

"Mati loe, anjing!" ...dan dengan semua sisa tenaga yang ada di setiap otot lengannya, dihantamkannya batang besi dingin itu ke wajah Si Gendut.

***

"Ger, lo ngapain?"

Pemandangan yang aneh.

Si Gendut terkapar tak bergerak. Warna merah darah segar tampak kontras di kausnya yang hijau terang. Lengan dan kaki yang berlemak terletak pasrah di jalanan. Sekarang tidak lebih dari daging kambing yang ditampilkan di kedai kebab; hanya lemak tanpa nyawa.

Permainan sudah selesai. Dia memandang ke kanan dan ke kiri. Dia tidak tahu lagi dimana teman-teman Si Gendut. Nafasnya terengah-engah tidak karuan. Jalanan sepi, tapi begitu banyak dengungan bising saling beradu di kepalanya. Dia bingung.

"Cabut, Ger," sebuah tangan yang kuat dan pemaksa menariknya berdiri. Dengan masih membawa bising di kepala, ia berdiri dan ikut berlari dalam kondisi seperti trans. Berlari; tidak tahu kemana, tidak tahu berapa lama. Kepalanya kosong dan berisik. Seperti gema yang tidak bisa berhenti terpantul-pantul di sebuah ruangan kecil tanpa furnitur.

Ada mayat anak SMA berlumuran darah di jalanan.

Mayat gendut itu dia yang bunuh barusan.

***

Lalu, dia pingsan.

Tante Lori

On Sabtu, 15 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Selamat ulang tahun, Anya...!"

Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku--menunggu responnya.

"Ya... ampun...!" senyumnya merekah. Seakan baru mendapat izin untuk bergerak, belasan orang ceria mulai bertepuk tangan dan bersorak. Dengan tidak percaya Anya mulai menamai wajah-wajah yang sedang berdiri di ruang tamunya itu: kedua orang tuanya, kedua kakaknya, beberapa sepupu dan beberapa teman sekolahnya. "Nggak nyangka...!"

Seseorang jelas sudah merencanakan pesta kejutan ini dengan baik; bermacam makanan melimpah di rumah Anya malam itu, seakan tidak bakal habis. Teman-teman dan sepupu-sepupunya saling mengobrol dan para orang tua diam-diam memberikan amplop kepada Anya.

"Anya, samperin Tante Lori tuh," bisik ibu Anya kepadanya. "Kan udah lama nggak ketemu."

Tante Lori adalah adik dari ayahnya Anya. Tante Lori tidak bekerja di perusahaan mana-mana, tapi dia memiliki restoran sendiri. Restorannya tidak terlalu besar dan bukan macam restoran mahal yang ada di pusat kota, hanya rumah makan Manado kecil yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Namun rumah makan itu cukup berhasil karena, walaupun dia bukan koki terbaik, Tante Lori sangat baik pada setiap pelanggannya. Ia ramah dan suka mengajak mereka mengobrol. Dan bukan demi bisnis ia bersikap begitu; memang seperti itulah Tante Lori.

***

Sejak Anya kecil, kedua orang tua Anya selalu sibuk bekerja. Usia Anya dan kedua kakak laki-lakinya berbeda cukup jauh, mereka sudah SMA waktu Anya masih SD. Jadi, di masa kecil Anya sering merasa kekurangan teman bermain. Di saat-saat seperti itu, selalu ada Tante Lori yang menemaninya. Apalagi waktu itu Tante Lori masih menumpang di rumah Anya. Walaupun menumpang, ia lebih banyak membantu daripada merepotkan. Ia selalu mengurus urusan dapur dan lain-lain, sehingga ibu Anya yang sibuk dan waktu itu belum punya pembantu merasa sangat tertolong. Sampai Anya kelas 2 SMP, Tante Lori masih menumpang di rumahnya.

Meski Tante Lori baik dan ramah, ketika Anya beranjak dewasa Anya mulai kesal kepadanya. Ia juga tidak tahu kenapa tepatnya--Tante Lori tidak pernah jahat kepadanya atau melakukan kesalahan apa-apa. Paling tidak bukan kesalahan besar.

"Aku lagi nonton, tapi Tante Lori terus-terusan kasih tau terusannya gimana! Ngomong terus gitu!" adu Anya yang masih SMP ke ibunya. "Kan kesel, Ma, jadi nggak seru!"

"Ya udahlah, Nya," kata ibunya cuek. "Tante Lori kan emang suka ngomong orangnya. Nggak boleh gitu, ah. Dia kan banyak banget ngebantuin kamu."

Itu memang benar. Tante Lori selalu menemani Anya kapanpun ia perlu ditemani, berhubung anggota keluarganya yang lain sibuk semua. Anya menghela napas. Memang tidak sebanding untuk kesal pada Tante Lori hanya karena hal kecil, dan melupakan segala kebaikannya.

Tapi tetap; ketika Tante Lori akhirnya mengontrak rumah sendiri saat Anya kelas 2 SMP, Anya tidak bisa menahan rasa leganya.

***

"Tante," Anya menghampiri tantenya. "Apa kabar? Makasih ya, udah dateng."

Tante Lori tersenyum cerah seperti biasanya. Hari ini ia memakai kemeja jingga berbunga kuning dan celana putih, serta kalung, gelang, dan anting; ini juga seperti biasanya. "Iya, Sayang. Datenglah, ini kan ulang tahun kamu yang ketujuh belas! Selamat, ya!"

Anya tersenyum, "Makasih, Tante..."

"Udah punya pacar belum?" Tante Lori mengedipkan mata. "Udah, ya...?"

"Eh. Iya... ada, sih, Tante."

Tante Lori berseru girang, "Kapan-kapan kenalin, ya! Ganteng, nggak?"

Anya menjelaskan seadanya. Tante Lori mendengarkan; ia bukan pendengar yang baik, tapi ia selalu berusaha. Di akhir cerita, Tante Lori memegang pundak Anya dan dan memberikan nasihat-nasihat berpacaran, yang ditanggapi Anya dengan anggukan dan senyuman.

"Nah, Sayang," katanya setelah berwejang ria. "Sekarang ini."

Tante Lori mengeluarkan sebuah bingkisan dari dalam tas tangannya. Sebuah hadiah untuk Anya, dibungkus dengan kertas kado berwarna merah muda bergaris biru. "Nih, buat kamu!"

"Wah, terima kasih, Tante!" Anya tersenyum dan mencium pipi tantenya, kanan dan kiri.

"Nanti aja bukanya," kata Tante Lori, tersenyum. "Kamu pasti suka."

***

"Eh, lupa," kata ibunya ketika pesta sudah selesai dan para tamu sudah pulang. "Kamu harus bilang terima kasih tuh sama Tante Lori, Nya."

"Hm?"

"Dari kemarin dia tuh yang sibuk-sibuk ngurusin ulang tahun kamu," kata ibunya. "Mama sama Papa kan kerja, jadi dia yang ngurusin makanan, ngundang temen-temen kamu sama saudara-saudara, sampai ngerencanain gimana ngasih kejutannya. Katanya, Yang ketujuh belas, harus spesial."

Anya hanya mengangguk, tapi dalam hati ia merasa aneh. Rasa bersalah, mungkin. Tante Lori selama ini sangat baik padanya, tapi Anya tidak pernah begitu menghargainya. Anya bergegas mengambil telepon genggamnya untuk menelepon Tante Lori, tapi lalu ia ingat ia belum membuka hadiahnya. Anya pun mendatangi bingkisan merah muda bergaris biru itu dan membukanya.

Anya mengernyit.

Ternyata baju. Bukan baju yang mahal, hanya semacam baju pesta terusan. Tanpa lengan dan roknya sampai lutut. Warnanya ungu tua, dan ada semacam beludru merah terang di bagian leher, bahu, dan pinggang.

Itu adalah baju terusan terjelek yang pernah Anya lihat, tapi Anya tersenyum melihatnya. Tante Lori ini mengingatkannya pada sebuah kalimat yang pernah dia lihat di Tumblr temannya: "She's like my sister; though I don't really like her, I love her very much."

Anya menghela napas. Ia melipat baju itu dan menyimpannya di lemari. Baju itu tidak perlu dicuci; Anya tidak akan pernah memakainya.

Malik Bikin Lirik

On Jumat, 14 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments
Malik hanya seorang anak SMP biasa. Ia tidak terlalu pandai secara akademis, nilai-nilainya termasuk gologan menengah ke bawah. Ia juga tidak jago olahraga. Bahkan kalau sedang tes lari, Malik sering menjadi yang kedua terakhir. Yang terakhir sudah pasti Fariz, Si Gendut. Biasanya Malik hanya sekitar lima meter di depan Fariz. Padahal Malik tidak gendut. Malahan dia kurus sekali. Kurus sekali seperti tidak pernah diberi makan.

"Ayo, makan, Lik," kata kakeknya. Malik tinggal bersama kakek dan neneknya karena kedua orang tuanya bekerja di luar negeri dan Malik tidak mau ikut ke luar negeri. "Kamu kurus sekali."

Kakek dan nenek Malik selalu khawatir mengenai kesehatan cucu mereka. Tapi mereka lebih khawatir lagi ketika tiba saat pengumuman kelulusan UAN SMP. Mereka khawatir Malik tidak lulus, karena setahu mereka Malik tidak begitu pandai di sekolah. Malik sendiri tenang-tenang saja. Bukan karena dia yakin lulus, tapi karena memang dia orangnya begitu. Orangnya tenang-tenang saja.

Ketika ternyata Malik lulus, kakek dan neneknya melompat girang dan tertawa bahagia. Malik tenang-tenang saja.

***

Meskipun lulus, bukan berarti Malik bisa masuk ke SMA yang bagus. Karena nilai UAN-nya yang buruk, Malik sulit mendapatkan sekolah yang mau menerimanya. Akhirnya ia masuk ke sebuah sekolah swasta yang tidak begitu terkenal.

Eh, terkenal, ding. Terkenal sebagai sekolah "anak-anak buangan".

***

Tadi saya bilang Malik hanya seorang anak SMP biasa, ya? Wah, berarti saya bohong. Karena sebenarnya Malik bukan sekadar anak SMP biasa. Dibalik semua kelemahannya yang lain, Malik memiliki bakat terpendam. Si Malik ini bisa bernyanyi, dan lihai sekali bermain gitar. Sungguh sangat lihai sekali.

Dulu, waktu Malik masih SD, ayahnya pernah mengajari dia main gitar. Begitu ayah dan ibunya pergi ke luar negeri, Malik tetap terus bermain gitar. Neneknya juga sering mengajari dia--nenek Malik dulu gitaris dan penyanyi, walaupun tidak terlalu terkenal. Lama-lama, dia lebih jago daripada neneknya. Malik terus belajar dan berlatih. Dibantu internet, buku, dan lain-lain.

Di SMP-nya, tidak ada yang tahu keahlian Malik ini, kecuali teman dekatnya yang bernama Bowo. Bowo masuk ke SMA yang sama dengan Malik karena Bowo juga tidak begitu pandai. Di SMA, Bowo memberitahu semua orang bahwa Malik jago main gitar. Mulailah terdengar rumor bahwa ada gitaris jagoan di SMA kacangan ini, dan semua orang ingin mendengar Malik bermain. Malik pun diundang bermain gitar serta menyanyi di depan seluruh sekolah, termasuk para guru dan staf.

Ini adalah penampilan pertama Malik di depan umum. Biasanya, di penampilan pertama, orang cenderung gugup sehingga mainnya salah-salah. Tapi lain dengan Malik. Saya sudah bilang kan? Malik itu orangnya tenang-tenang saja. Apalagi dia ini memanglah sangat jago. Karena itu Malik bermain dengan bagus sekali sehingga seluruh isi sekolah kagum padanya. Ia menjadi terkenal dan makin terkenal. Temannya banyak dan pacarnya berganti-ganti. Baik guru maupun staf menjadi penggemarnya. Bahkan mereka minta tanda tangan.

***

Setelah penampilan itu, karir Malik sebagai musisi sangat lancar. Seorang teman yang punya koneksi menguntungkan menawarkannya untuk membuat album dan Malik setuju.

"Coba buat single aja dulu, Lik," kata temannya itu. "Nanti kita kirim ke mereka, demo gitu."

Maka duduklah Malik di kamarnya, memegang gitarnya, dan membuat lagu. Sebentar saja, ia sudah berhasil membuat musik yang indah. Nada-nada yang manis membentuk harmoni, sampai neneknya di lantai bawah tersenyum kagum. Baginya tidak sulit membuat sebuah lagu. Tapi ia punya masalah: ia tidak bisa membuat lirik. Malik tidak pernah bermain dengan kata-kata. Malahan, kosakatanya sedikit sekali.

Lalu ia mendapat ide brilian.

Malik meng-google puisi-puisi dan lirik amatir. Juga di koran, majalah, dan buku. Ia memilih-milih kata-kata yang bagi kupingnya terdengar indah dan, hampir sama pentingnya, pintar. Walaupun banyak kata yang tidak ia mengerti, tapi sembarang saja ia potong-potong dan gabungkan. Begini Malik menulis:
di ambang gelap sukma melemah
manifestasi petir buat mata bingung
sisa sensasi dari dua insan
lupalah! hei, kubilang lupalah!

oh, oh, masa lalu jadi hantu
oh, oh, teriak yang pergi mati

lelap di bawah kolong jembatan
gelap, babi pun tak kelihatan
kalap dia dihadapkan dengan cerita
hei, bangunlah! hei, bangunlah!

para dewa berdecak gemas
pada para tawanan tertipu
hingar-bingar pesta tak selesai
bangunlah!, kata mereka bangunlah!

ya, ya, kepulan pekat kabut pagi
ya, ya, sinar mentari yang lemah

lelap di bawah kolong jembatan
gelap, babi pun tak kelihatan
kalap dia dihadapkan dengan cerita
hei, bangunlah! hei, bangunlah!

***

Lagu itu dia beri judul Babi di Bawah Kolong Jembatan. Orang-orang di perusahaan musik yang mengurus album Malik tidak mengerti apa arti lagu ini, tapi mereka malu untuk bertanya. Lagipula musiknya sangat menjual. Maka jadilah Malik membuat album. Satu album Malik liriknya seperti itu semua. Ia memotong puisi dan lirik orang, dan menggabungkannya. Semuanya tidak ada artinya.

Album Malik ternyata disukai banyak orang. Para remaja senusantara mengagumi kehebatan Malik menggubah musik dan mereka bilang "liriknya sangat puitis".

Suatu hari, ketika sedang "berburu lirik" di internet, Malik menemukan sebuah forum yang membahas lirik lagu Babi di Bawah Kolong Jembatan. Was-was tapi penasaran, Malik membaca forum tersebut. Banyak sekali yang berkomentar, ada seratusan orang!
Saya suka sekali lagu Babi di Bawah Kolong Jembatan, begitu tulis Siti dari Depok. Selain karena lagunya enak, liriknya juga keren banget! Menceritakan kisah cinta dua orang pengamen miskin di bawah jembatan, sungguh sebuah terobosan baru di perlirikan Indonesia! Hehe, salut buat Malik!
Malik ini memang mamen banget deh!, tulis Davi dari Jakarta. Babi di Bawah Kolong Jembatan menggambarkan kebanyakan remaja Indonesia yang kebanyakan pesta, hura-hura, padahal dalam hati semuanya tuh sedih! Go Malik! Jarang ada musisi Indonesia yang bikin lirik sedalem ini!
Pertama kali gue dengerin Babi di Bawah Kolong Jembatan, Nunu dari Jogja menulis. Gue pikir, Apaan sih ini orang, sok berat. Tapi begitu gue dengerin lagi, dan gue ngertiin maksudnya dia, wah gue kagum bangetlah. Malik bener-bener mikirin politik Indonesia yang udah nggak jelas ini, dan bisa nyampein pesannya dengan tepat banget, lewat lagu ini.

Malik bengong. Rasanya dia tidak pernah menulis tentang 'kisah cinta pengamen di bawah kolong jembatan' dan 'remaja hura-hura tapi sedih', apalagi 'politik Indonesia'. Baca koran saja tidak pernah!

...

Ah, sudahlah, pikir Malik. Asal mereka senang, saya juga senang. Mereka dapat pencerahan, saya dapat uang.

Maka teruslah Malik membuat lirik-lirik ngasal, potongan beragam puisi dari berbagai sumber. Semakin hari ia semakin terkenal. Bingung, tapi kaya. Ia disenangi oleh berbagai kalangan. Bermacam-macam orang menyukai musiknya, tapi terlebih lagi lirik-lirik lagunya. Lirik-lirik yang sama sekali tidak ada arti bagi Malik, tapi ternyata bisa menjelma menjadi ribuan arti bagi pendengarnya.

Taksi

On Kamis, 13 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 1 Comment
Asep Surasep menurunkan jendela mobilnya dan bertanya, "Mau kemana, Mbak?"

Dua orang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh dan berpakaian minim serba-hitam baru saja melambaikan tangan mereka di tengah lautan lampu-lampu malam Jakarta. Salah satunya menjawab, "Ke Fatmawati dulu, Pak. Abis itu ke Puloraya."

Asep mengangguk dan kedua gadis itu masuk. Wangi parfum mahal langsung memenuhi taksi Asep. Mereka tidak jauh berbeda dengan remaja-remaja perempuan yang sering menjadi pelanggan Asep. Mereka semua cantik-cantik dan kurus, tidak bisa dibedakan satu dengan yang lain. Hanya saja, kali ini salah satu dari gadis itu rambutnya dicat merah menyala, sehingga dia terlihat berbeda. Jadi seperti tokoh komik-komik Jepang yang hanya bisa dibedakan dari rambutnya.

"Nyet, lo yakin banget ya, nggak mau ikut ke rumah Edo aja?" Asep melirik spionnya. Itu kata yang berambut merah menyala.

"Nggak, Di, sorry banget," jawab yang satunya, yang rambutnya hitam panjang. Yang ini cantik sekali, fitur wajahnya tidak ada yang salah. "Gue harus jaga rumah."

"Rumah juga bukan rumah loe, nyet."

'Nyet' menghela napas panjang. Setelah diam sebentar ia berkata, "Gini lo, Di. Gue kan, yah, istilahnya numpanglah di rumah Ratna. Dan gue nggak pernah bayar apa-apa, nggak bantu apa-apa juga padahal dia nggak punya pembantu... Kan nggak enak dong gue."

"Yah... Dia kan kakak loe!"

"Ya, tetep ajalah!" 'Nyet' memelankan suaranya. "...Mana gue belum dapet kerjaan lagi, kan."

Si rambut merah terdiam gelisah. Ragu, tapi tetap ngomong juga, ia berkata, "Balik aja ke rumah bokap...?"

"Nggak," diucapkan dengan tegas. "Nggak bakal."

Asep Surasep membelokkan taksinya sambil terus menguping. Asep selalu menguping pembicaraan penumpangnya. Banyak cerita-cerita menarik yang ia dapatkan, dan bisa jadi bahan obrolan yang seru dengan Emi. Atau dongeng tidur untuk Ujang dan Euis. Tapi ia jarang mengobrol dengan mereka, kecuali kalau perlu. Asep tidak pernah menimpali pembicaraan mereka, menurutnya tidak ada gunanya mencampuri urusan 'kalangan atas'. Tidak ada hubungannya dengan Asep.

Tiba-tiba ada lagu berisik terdengar. Rupanya telepon genggam 'Nyet'.

"Halo, Kak? ...Naik taksi. Hmm... Oh, oke, oke. Sip, bye." Ia menutup teleponnya. "Eh, Pak?"

"Ya?" Asep kaget diajak bicara.

"Nanti kakak saya mau pakai taksi Bapak, ya? Dia tunggu di Puloraya. Bisa kan?"

"Bisa, Mbak."

Hening lagi. Walaupun Asep tidak bisa melihat jelas, tapi sepertinya kedua perempuan itu sedang sibuk dengan telepon genggam masing-masing.

"Di, besok loe mau nemenin gue cari kado buat Ratna, nggak?"

"Ayuk," si rambut merah menjawab ringan. Asep bertanya-tanya apakah kedua orang ini tidak punya pekerjaan setiap harinya. "Ulang tahun ya dia?"

"Iya, lusa. Cariin yang bagus, ah." Diam sebentar. Lalu, dengan lirih dilanjutkannya, "Gue tuh sayang banget lo, sama Ratna, Di. Beneran deh. Kalo dia nggak ada, gue nggak tahu banget mau ke mana, mau ngapain."

Diam lagi. Lalu dengan suara keras si rambut merah berseru, "Ah, Ratih, loe jangan mellow gini dong, nyeeeet!" Oh, namanya Ratih.

Ratih tertawa. "Ya udah, ah!" katanya. "Bentar lagi nyampe, tuh. Jangan nangis, ntar maskara lo bleber, gila."

Si rambut merah buru-buru mengambil cermin kecil. "Tapi ya, Tih," katanya sambil membetulkan riasan wajahnya. "Loe rugi banget, lo. Gue denger-denger si Tio dateng kan tuh?"

"...Iya. Udah lah, ya."

"Katanya sih baru putus. Terus, katanya sih, nyariin loe. Ih, mapan banget kali tuh cowok, nyet!"

"Ah, udah, ah, berisik loe!"

"Mbak, Fatmawatinya sebelah mana, ya?"

"Oh iya, ini, Pak." Si rambut merah menjelaskan jalan. Mereka sampai ke sebuah rumah yang ramai dan si rambut merah pun turun. Sepanjang jalan menuju Puloraya Ratih diam saja, kecuali waktu mengangkat telepon dari kakaknya sebentar ("Iya, bentar lagi nyampe, Kak."). Lalu mereka pun sampai dan Ratih turun.

"Nih, Pak," ia memberikan uang. Tip tiga ribu rupiah. "Makasih ya, Pak. Tunggu bentar."

Asep mengangguk. Rumahnya tidak terlalu besar. Kecil, tapi menyenangkan sepertinya. Asep sendiri masih mengontrak, belum punya rumah sendiri. Sebentar lagi Ujang masuk SMA, sepertinya Asep akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada beli rumah.

Dua orang perempuan keluar dari rumah. Yang satu wajahnya mirip Ratih--ini pasti kakaknya, dan yang satu rambutnya cepak, seperti lelaki. Kenapa sih, kakak beradik ini senang berteman dengan yang rambutnya aneh-aneh? Asep pikir, dia tidak akan mengizinkan rambut Euis dicat merah atau dicepak. Kalo si Ujang sih nggak apa-apa, mau dicat merah, mau dicepak, mau dicat merah dan dicepak, juga...

"Kemang, Pak," kata Ratna sambil masuk ke dalam mobil.

Meski rambutnya seperti laki-laki, si rambut cepak ternyata tidak seperti laki-laki. Suaranya cempreng dan dia cerewet sekali. Sepanjang perjalanan ia mengoceh.

"Adik loe cantik, ya, Rat. Kayak model, sumpah," katanya. "Ih, kapan deh, gue sekurus itu."

"Ha! Yah," Ratna mendengus. "Kalo loe berhenti kerja dan udah nggak punya kerjaan lain selain ngurusin penampilan loe, kali ya..."

"Hah? Emang dia nggak kerja? Umur berapa sih?"

"Dua lima," Ratna menghela nafas panjang. "Adik gue tuh, ya, aduh banget, deh. Kerjaannya main melulu!" Kata 'main' diucapkannya dengan panjang dan menekan, terdengar seperti "mayiiiiiiiiiiin..."

"Oh, parah, ya, Rat?"

"Ya, gue diem aja, deh," kata Ratna. "Udah nyaris sebulan nih, dia di rumah gue. Nggak ikutan bayar, nggak kerja juga karena pergi-pergi terus kerjaannya... Nggak taulah gue."

"Yah, tapi kan dia adik loe, Rat..."

"Ck, tau, deh," Ratna terdiam lama. "Kadang gue ngerasa, satu-satunya alasan gue ngebiarin dia semena-mena numpang gini, ya, karena itu. Karena dia adik gue. Kayak, beban gitu, lo. Kalo gue nggak punya hubungan darah sama dia, nggak bakalan deh gue mau berurusan sama cewek manja gitu! Gue kan paling geregetan sama yang kayak gitu."

Asep Surasep sudah enam belas tahun menjadi supir taksi. Ia punya istri yang baik bernama Emi dan dua anak bernama Ujang dan Euis. Asep Surasep punya prinsip, bahwa ia tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi 'kalangan atas'. Ia hanya akan menjadi pendengar kisah mereka saja.

Meskipun saat ini lidahnya gatal sekali, tapi Asep Surasep diam saja.

Khayal

On Rabu, 12 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Di suatu tempat antara Parung menuju Cinere, sebuah mobil jemputan--Kijang hitam--berjalan dengan cukup cepat. Selain supir, ada tujuh orang anak duduk diam di dalamnya. Tiga orang laki-laki dan empat orang perempuan. Tiga orang anak SMP dan empat orang anak SD. Nadya duduk di kursi depan.

"Kak Nadya, nyalain radionya, dong," kata Yoan yang duduk di belakangnya. "'Makasih."

Tanpa berbicara, Nadya menyalakan radio. Mip. Informasi jalan tol. Mip. Sebuah lagu lawas. Mip. Suara orang tertawa. ... Lama sekali tertawanya. Mip. Soundtrack Aladdin.

Nadya melanjutkan apa yang dari tadi ia lakukan: memandang ke luar jendela. Mobil, motor, jalan, orang-orang, motor, pohon, pohon mati, jalan, mobil, motor... Huh. Nadya membuang napas panjang. Mobil melewati sebuah jalan yang sepi dan berbatu. Sekarang di kanan-kiri hanya ada rumput. Di belakang mereka ada dua motor. Dua pria berhelm dengan baju serba-hitam.

Wah, pikir Nadya sambil melihat dari kaca spion. Jangan-jangan mereka mau merampok mobil ini.

Nadya pernah melihatnya di film: sebuah bis sekolah dihentikan oleh tiga orang laki-laki berbaju hitam. Mereka diculik dan orang tuanya dimintai tebusan. Mereka tidak bersekolah selama tiga hari, disembunyikan di sebuah rumah tua. Tapi anak-anak ini sangat pintar sehingga akhirnya mereka berhasil meloloskan diri.

Nadya sangat berharap kedua lelaki bermotor itu memang penjahat. Seperti di film.

"Semuanya angkat tangan!" seperti itu mereka akan berseru sambil mengacungkan pistol. Supir akan lari duluan, karena biasanya di cerita tidak ada supirnya. Hanya anak-anak saja. Tapi mereka tidak menembak supir itu karena di cerita ini tidak ada yang mati.

Nadya menahan napasnya. Kedua motor itu masih mengikuti di belakang. Bisa jadi... mereka benar-benar penjahat, pikirnya tegang.

Nadya bisa membayangkannya dengan sangat jelas: kedua penjahat akan menawan mereka di sebuah rumah tua dan meminta nomor telepon orang tua mereka. Anak-anak yang lain akan menangis. Tapi Nadya tidak menangis. Ia sebenarnya jago karate karena ia adalah seorang agen rahasia negara, dan ia akan mengalahkan kedua penjahat tersebut. Lalu teman-temannya akan terkejut. Lalu, dengan helaan napas kesal, Nadya akan berkata, "Ah, harusnya kalian tidak boleh tahu." Lalu ia melarang teman-temannya untuk memberi tahu siapa pun bahwa ia adalah agen rahasia negara. Sejak itu ketujuh temannya memandang Nadya dengan tatapan penasaran...

Namun, beberapa menit kemudian kedua motor itu berhenti di depan sebuah warung.

Beberapa menit kemudian lagi Nadya sampai di rumah dengan selamat. Begitu juga keesokan harinya. Begitu juga keesokan harinya. Begitu juga keesokan harinya. Sampai akhirnya Nadya lulus SMP dan mobil jemputannya tidak pernah kedatangan perampok. Dan Nadya tidak pernah belajar karate. Lalu ia diterima di SMA negeri yang cukup bagus dan melanjutkan sekolahnya.

...

I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride

A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming...

catatantambahan: Aaah habis waktu.

Abang

On Selasa, 11 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sekolah Teladan memiliki tiga gedung utama: SD, SMP, dan SMA. Gedung SMA letaknya jauh dari rumah, tapi gedung SMP dan gedung SD bersebelahan dan letaknya hanya kira-kira dua puluh meter dari rumah. Biasanya, murid SD pulang jam dua belas dan murid SMP jam tiga. Tapi, hari Rabu adalah hari ekstrakurikuler bagi sebagian besar anak SD, jadi mereka juga pulang jam tiga. Hari ini hari Rabu; jadi aku dan adikku, Rivo, pulang bersama. Kami membeli es potong dan mengobrol tentang temannya yang adalah adik temanku. Perjalanan pulang itu singkat, sebentar kami sudah sampai.

"Bang," Rivo menggumam ketika kami sampai di depan pintu rumah.

Ia menunjuk ke arah pintu. Sepasang sepatu kets kumal, merah bergaris putih, terletak di depan pintu rumah kami. Nafasku tertahan sebentar. Ada sensasi fisik aneh yang agak mirip seperti yang aku rasakan kalau sedang mencapai titik tertinggi di jet coaster yang akan turun. Kami kenal betul sepatu itu--meskipun terakhir kali kami melihatnya adalah tiga tahun lalu.

"Abang pergi sebentar, Ga," waktu itu dia bilang begitu. Waktu itu malam hari, di kamar tidur kami.

Walaupun ia berpamitan denganku dan dengan Rivo, ia tidak pernah berpamitan dengan Ayah dan Bunda. Makanya Bunda menangis lama sekali setelah ia pergi. Ayah diam saja. Rumah jadi sangat sepi. Padahal, sebelum itu rumah ramai sekali. Hari-hari itu Ayah dan Bang Rangga sering berteriak ke satu sama lain. Bahkan, satu kali, Ayah melempar gelas sampai pecah. Aku juga ingin mencoba melempar gelas sampai pecah, tapi Bunda melarang.

Setelah beberapa bulan diam, Ayah mulai berbicara lagi. Sejak itu yang sering ia ucapkan adalah, "Jangan seperti orang itu." Hampir setiap nasehatnya berakhir dengan, "Jangan seperti orang itu." "Rega, sekolah yang benar. Mau jadi dokter atau arsitek ata olahragawan!, mungkin, terserah. Tapi jangan seperti orang itu."

Aku anak tengah dan Rivo anak bungsu. Tapi selama tiga tahun belakangan, aku menjadi anak sulung. Rivo tetap anak bungsu. Usiaku dan Rivo hanya berbeda satu setengah tahun. Usiaku dan Bang Rangga berbeda jauh. Aku baru lulus kelas lima SD saat dia pergi. Dia pergi setelah dia lulus SMA. Berarti kami berbeda tujuh tahun. Tujuh tahun waktu yang lama. Mungkin dia lebih suka tujuh tahun pertama itu daripada tahun-tahun setelahnya. Mungkin dia lebih suka sendirian daripada berdua. Apalagi bertiga. Kadang-kadang aku juga merasa lebih suka sendiri. Tapi aku tidak mau pergi juga karena aku aku takut Rivo merasa aneh seperti ini juga--lagi.

"Belajar yang bener, Ga. Jangan kebanyakan main," ia menyentuh jidatku dengan kepalan tangannya. Tangannya besar sekali. Sampai sekarang tanganku belum sebesar itu. Sepertinya tanganku tidak akan pernah sebesar itu. Setelah berbicara denganku, ia naik ke tempat tidur Rivo. Tempat tidur Rivo di atas tempat tidurku; kami memakai tempat tidur tingkat. Bang Rangga juga satu kamar dengan kami, tapi dia mendapat tempat tidur sendiri. Tapi itu bukan tempat tidur, itu hanya kasur yang diletakkan di lantai. Tapi aku lebih suka tempat tidurnya. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan dengan Rivo. Sepertinya lucu, aku ingat Rivo tertawa. Setelah itu dia turun dan dia duduk lagi di tempat tidurku.

Baru sekali itu aku melihatnya menangis.

"Jaga diri, Ga. Yang kuat, ya. Abang pergi sebentar aja, Ga." Air matanya jatuh di kausku. Seharusnya dia tidak boleh menangis karena dia laki-laki dewasa. Bahkan aku tidak menangis waktu itu. Aku baru menangis kira-kira seminggu setelah hari itu. Aku menangis karena aku baru sadar aku tidak tahu arti kata 'sebentar'. Aku dan Rivo sering melompat-lompat di kasurnya sampai hari dimana Ayah membawa kasur itu keluar kamar dan menaruh meja belajar kayu yang bagus sebagai gantinya. Ayah tidak mau mengembalikan kasur itu.

Aku menatap sepatu kets merah bergaris putih yang belel. Rivo juga menatap sepatu kets merah bergaris putih yang belel. Kami melepas kaus kaki dan sepatu kami dan menghabiskan es potong masing-masing. Rivo habis duluan. Ini tidak adil; biasanya aku habis duluan.

Aku membuka pintu.

Sebuah suara berat yang tercekat mengatakan, "Halo."

Benar-Benar Sunyi Senyap

On Senin, 10 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sepi. Gelap. Tak terdengar dan tak terlihat. Hanya nafasku sendiri, yang tidak terengah tapi terdengar tak nyaman. Apakah aku sendiri? Sulit untuk menilai, dalam kegelapan yang menusuk batin ini. Aneh sekali... Sendiri seperti ini. Sudah lama aku tidak pernah sendiri begini. Kesendirian yang menusuk batin --

Tidak, tidak. Tadi kata batin sudah dipakai. Hmm...

-- Kesendirian yang menusuk jiwa. Bahkan raga. Lama-lama tulang-tulang ini pun --

Ah. Dua kata ulang bersebelahan, kok rasanya salah, ya?

-- Seiring waktu, tulang-tulang ini pun ikut merasa kesepian.

Nah, lebih baik.

-- Sepi ini lama-lama mengerikan. Kegelapannya menggerogoti tiap bagian tubuhku. Ingin menangis, tapi rupanya air matapun enggan menemani. Sendiri... sendiri... sendiri... Dalam ngeri aku mencoba melangkah. Satu langkah penuh ketidaktahuan dalam gel --

"Mau minum apa, Mas?" suara cempreng pelayan wanita berkuncir tinggi itu agak mengagetkan. Oh, iya. Aku belum pesan minum.

"Oh, emm. Teh botol aja, Mbak."

Sampai mana tadi? Oh, iya,

-- dalam gelap. Tap. Satu langkah ini aku masih aman. Tapi apakah begitu juga dengan langk --

"Mas, teh botolnya nggak ada!"

Argh. "Eh, ya udah, teh angetlah!"

-- langkah selanjutnya? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang dapat menjamin. Kesendirian ini, sekali lagi kutegaskan, begitu menakutkan. Aku mengakui, aku tidak pernah menyukai keramaian. Suara berisik orang-orang di sekitarku itu seperti lalat. Dan aroma tubuh mereka seperti bau tahi. Mengganggu, itu pendapatku terhadap ramai. Tapi, saat ini, begitu dihadapkan dengan sepi yang sesungguhnya, aku benar-benar berharap ak --

"Nih," pelayan cempreng meletakkan satu gelas teh hangat, tepat di antara aku dan laptop. Gila orang ini, apa dia tidak bisa melihat seniman sedang bekerja? "Makannya, nggak, Mas?"

"Nasi goreng, deh," jawabku, menyadari perut yang keroncongan.

Ini bukan kali pertama aku datang ke kafe murah ini, hanya berdua dengan laptop. Tempatnya memang menyenangkan, banyak tanaman dan sinar matahari dibiarkan masuk sedikit-sedikit. Di sini, bagiku, inspirasi mengalir seperti sungai. Hanya saja, di hari Jumat seperti ini, tempat ini kadang agak terlalu ramai. Agak mengganggu inspirasiku sebagai penulis.

Contohnya itu: segerombolan orang baru saja masuk. Kira-kira ada enam orang. Semuanya perempuan, kecuali satu yang baru setengah perempuan. Tapi tampaknya ia nyaman saja dengan keadaan itu. Malah, ia terlihat paling nyaman. Dengan semangat ia berlari kecil ke meja di pinggir yang kursinya sofa, mengajak teman-temannya.

Eh, kan. Sampai mana?

-- aku benar-benar berharap akan bertemu dengan seseorang--siapa saja! Aku akan membayar apa saja, supaya seseorang menghampiriku saat ini. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau dia ternyata orang yang terberisik, termeny --

"Booook, loe mesti tau, deh!"

Siapa sih, yang bersuara sekencang itu di tempat umum!?

"Si Ajeng, Boook!" tentu saja, si setengah-lelaki sedang melotot ke arah kelima temannya yang ikut melotot sambil memegang rambut panjang mereka (ada dua yang dicat cokelat, dan satu dicat merah), atau Blackberry masing-masing. Lalu, dengan suara yang "dikecilkan" ia melanjutkan, "Hamil!"

"Haaaaaah...?" lima orang perempuan kompak mengangkat tangan mereka yang baru dimanikur, memasang wajah seperti Twiggy. Kaget, tapi imut. "Yang bener, ah, Ji?"

Aku menghela nafas. Ah, sepertinya aku harus beradaptasi. Ya, sudah.

-- termenyebalkan, sekalipun. Asalkan saja jantungku tidak perlu berdegup sendirian. Asalkan saja pikiranku tidak khawatir sendirian. Asalkan saja hatiku tidak gelis --

"AAAAAAH! TIKUS!" salah seorang dari enam sekawan berseru nyaring, dengan kompak diikuti oleh yang lainnya. Oh, ramai. Sungguh amat sangat ramai sekali, dan aku tidak peduli bahwa sekarang aku menggunakan kalimat yang berlebihan. "AAAAAH!"

Jangan pedulikan, jangan pedulikan.

-- tidak gelisah sendirian. Asalkan saja ada sepasang mata lagi yang ikut melihat kegelapan ini --

"TIKUSNYA DI KAKI LOE! AAAH!"

-- dan kaki -- Eh, kok kaki. -- hidung yang juga mencium rasa sepi ini. Aku tidak tahan lagi, ini benar-benar --

"Jangan diinjek, lah, Ji...! Loe gila ya!? Nanti darahnya kemana-mana!!!"

-- benar-benar --

"AAAAAH!" yang berambut merah berseru.

"Usirin, dong, Mbak!" yang memegang Blackberry hijau berseru.

"Iya, iya," pelayan cempreng mengomel.

-- benar-benar -- Emm... apa, ya...

"DI KAKI GUE! DEMI APA!" setengah-perempuan menjerit.

"BISA DIAM, NGGAK, KALIAN SEMUA!?"

Itu aku. Itu tadi aku yang berseru. Ya, Tuhan. Aku sudah gila, ya?

Sunyi senyap. Semua mata memandangku. Perlahan, dengan muka yang sangat merah, aku duduk kembali. Oke. Tadi sampai di...

-- benar-benar -- Emm... --benar-benar--

Masih sunyi senyap.

Di luar kepala sunyi senyap.

Di dalam kepala juga, sunyi senyap.

BALI

On Minggu, 09 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Ada sinar matahari terjatuh di sekelilingku, bergerak-gerak pelan tergantung awan. Yang menyambut mereka adalah bebatuan kelabu, pasir, dan genangan air. Ketiganya bermain bersama, melompat-lompat ke udara yang ikut senang. Di beberapa titik ada sesajen warna-warni yang terlihat cantik; seperti bunga di semak-semak. Jauh di sana, ada kaki langit yang tua dan bijaksana, membawahi lautan luas. Bunyi samar ombak terdengar. Ramai, tapi menyenangkan. Di antara semua itu aku berada dan tersenyum; bukan seperti kalau mau dipotret, tapi seperti ada yang melucu. Otomatis, aku tersenyum senang. Ingin nyanyi, rasanya.

Ini hari pertamaku di Bali; selama liburan satu minggu ini dan juga seumur hidup. Sudah lama aku ingin mengunjungi kota yang disebut surga ini, dan sekarang akhirnya aku ada di sini! Mengenakan kain pantai, kaus belel, kacamata hitam, tas selempang, sendal jepit, dan baju renang sebagai baju dalam. Aku merasa sangat Bali--

Tunggu. Ada yang kurang.

Aku memandang tangan dan kakiku yang polos. Ah, tentu saja, gelang-gelang! Dari dulu, teman-temanku membelikan gelang, "oleh-oleh dari Bali". Sekarang aku di sini, tentu saja aku harus membeli satu. Gelang kulit, gelang kayu, gelang kaki... apalah.

"Tatonya, Dik?"

Aku menoleh. Seorang pemuda kurus, hitam terbakar matahari, berambut pirang yang sangat palsu, sedang nyengir kepadaku. "Kasih murah, Dik." Ia memegang sebuah buku bergambar contoh-contoh tato.

"Oh, nggak, Mas, 'makasih," kataku sambil mengangguk sopan.

Oh. Pasir--ternyata aku sudah sampai di pantai. Kata Bibi memang banyak sekali penjual seperti ini di Pantai Kuta. Dengan waspada aku mengamati sekeliling. Mereka ada dimana-mana rupanya; pemuda kurus, hitam, dan berambut pirang.

"Kukunya mau diwarnai, Dik?" Sekarang ibu-ibu, ia menunjukkan kukunya yang ungu dan bergambar bunga-bunga putih. Topinya bundar dan lebar; ia membawa sebuah keranjang berisi cat kuku warna-warni.

"Oh, nggak, Bu..."

"Ini, bagus, lo. Cantik, ini warnanya, cantik," ia mulai mengeluarkan beberapa botol cat kuku. Merah, ungu, hijau. "Cantik, Dik."

"Eh, aduh, nggak usah, Bu. 'Makasih..."

"Murah, Dik... Ayolah," ia berhenti mengeluarkan botol-botol dan memasang wajah melas. "Pelaris, Dik... Tak kasih murah."

"Eh..." aku bimbang. Lucu juga sih kukunya. Dan sangat Bali.

Belum selesai aku berpikir, seorang orang ibu-ibu mendatangi kami. Lalu bertambah lagi seorang. Lalu bertambah lagi seorang. Sekarang ada semacam kerumunan kecil di sekitarku; semuanya ibu-ibu berwajah melas yang membawa dagangannya masing-masing.

"Tato, Dik, cantik ini. Yang naga, laku ini. Mau, Dik?"

"Ini, baju, Dik. Cantik ini, yang putih, Dik."

"Gelang, Dik. Pelaris, ayo, dikasih murah, Dik," itu kata seorang ibu tua bermuka melas.

"Eh," aku terbata. "Mana liat, Bu, gelangnya."

"Ini, Dik," semangat sekali ia menunjukkan dagangannya, membuatku merasa salah ngomong. "Ini, kulit asli ini. Saya bikin sendiri."

Ah, memang seperti yang aku inginkan. "Ih, lucu," ujarku. Pedagang yang bersangkutan terlihat semakin membara.

"Kasih murah, Dik."

"Berapa, Bu?"

"Dua puluh lima."

Aku memicingkan mata. Teringat semua nasihat Bibi. "Tawar paling nggak sepertiganya!" Tidak mungkin gelang kulit kecil ini berharga dua puluh lima ribu rupiah.

"Mahal amat!" aku berseru.

"Bisa kurang, maunya berapa, Dik?"

"Saya kira lima ribuan."

"Ya, nggaklah, Dik!" ganti dia yang berseru. "Modalnya aja belum dapet itu. Kulit ini, Dik."

"Pasnya berapa, Bu?" aku mencontoh gaya ibu kalau belanja di ITC Mangga Dua. "Kasih murah, dong, Bu."

"Dua puluh, Dik."

"Ah, Bu," aku memandang gelang kulit itu. "Nggak bisa kurang, Bu?"

"Udah murah itu, Dik, beneran!" wajahnya memelas lagi. "Dari pagi belum ada yang beli... Ini buat pelaris..."

"Aduh. Saya... lihat-lihat dulu, deh." Begitu kata Bibi. Ditinggal saja dulu.

"Maunya berapa, Dik?" ditahannya lenganku.

"Dua puluh dapat dua."

"Kalau kulit ya nggak bisa, Dik..."

Aku menimbang. "Ya sudah, satu kulit, satu nggak."

Si ibu mengerjapkan mata perlahan dan mengambil napas. "Tiga puluh, Dik. Udah saya kasih murah itu. Kalau bule belinya mahal itu."

Aku memandangnya.

Ia memandangku.

"Eh, ya sudah deh, Bu."

Aku mengeluarkan tiga puluh ribu dan membayar. Ia mengucapkan terima kasih dan membawa wajah memelasnya pergi. Aku pakai gelang itu dan merasa sangat Bali.

"Nina! Kemana aja?" Itu Yayuk, kakak perempuanku. "Makan yuk, Nin, udah siang," ia menyeretku ke restoran murah terdekat dan kami makan. "Beli gelangnya berapa itu?"

"Tiga puluh dapat dua," jawabku.

"Hah!? Berapa?"

Nafsu makanku hilang. "Eh... tiga puluh, dua--"

"Niiiin. Itu mah, yah... Lima ribu, deh! Paling mahal!"

Aku cemberut di sepanjang jalan kembali ke hotel. Sinar matahari sangat panas. Batu dan pasir pun ikutan panas. Dan ada air becek mengotori kakiku. Dimana-mana ada sesajen warna-warni yang baru saja diinjak orang atau dilindas motor. Turis-turis berbaju mini dan berkeringat memenuhi jalan yang sempit.

Jauh di sana, si ibu tua sedang tersenyum kecil dan berkata, "Nothing personal, it's only business."

Penyesalan

On Sabtu, 08 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Tiga puluh menit lagi!"

Sebuah teriakan dari ujung ruangan. Mimi memandang mejanya yang berantakan. Kertas-kertas berukuran A2 dimana-mana, hampir semuanya seakan berteriak, "Selesaikan aku!" Pensil-pensil bermacam ketebalan ada di atas meja dan di bawah meja. Orang-orang berlari ke tempat sampah untuk meraut; keluar untuk memotong kertas; ke meja sebelah untuk membantu temannya. Semua orang berseru panik. Mengeluarkan kata kasar dan berteriak frustasi.

Di antara semuanya itu, Mimi diam terpaku; bukan karena dia sudah selesai, tapi karena dia pusing.

Semua gerakan di sekitarnya melambat. Dia hanya diam di situ, mematung. Seruan teman-temannya menjadi pelan dan tidak jelas. Perlahan, ia mengerling kertas-kertasnya, dan maketnya yang setengah-jadi.

"Lima menit. Argh!"

Siapa sih yang sempat-sempatnya menghitung mundur? Maafkan aku, wahai tugas-tugas setengah jadi, aku tidak kuat lagi. Mimi pusing. Benar-benar pusing.

Kenapa sih, aku selalu menunda pekerjaan sampai saat terakhir?

Penyesalan menggerogotinya seperti racun. Pelan, ia beranjak keluar ruangan studio. Mimi mau pipis; siapa tahu rasa sesal ikut keluar bersama urinnya.

"Satu menit lagi!"

catatantambahan: Sadar, dan sudah jam 23:44. Tidak bisa memikirkan hal lain kecuali: "Kenapa sih, aku selalu menunda pekerjaan sampai saat terakhir?" dan ta-dah: inilah fiksi-nyaris-non-fiksi yang tercipta dalam huru-hara.

Cerita Malaikat Kaca

On Jumat, 07 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 6 Comments
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sekali, Julian akan merapikan kamarnya habis-habisan. Ia merapikan semua buku-bukunya, melipat semua baju di lemarinya, menyapu, dan bahkan mengepel. Kamarnya akan luar biasa rapi setelah itu.

Proses pembersihan kamar ini tidak pernah cepat. Berjam-jam ia habiskan. Bukan karena kamarnya luas atau apa, tapi karena Julian selalu berhenti di sana-sini, mengamati barang-barangnya yang bercerita.

Kali ini, Julian berhenti saat membuka laci kecil di bagian bawah lemari bukunya. Sudah lama ia tidak membuka laci ini. Laci ini berisi barang-barang kenangannya--selama SD sampai SMP. Sejak ia SMA sampai sekarang, di tahun awal kuliahnya, ia tidak pernah lagi membuka laci ini. Mungkin karena, seperti kebanyakan teman-temannya, sekarang ia merasa tidak begitu penting menyimpan "barang-barang kenangan". Semua yang bertemu akan berpisah pada akhirnya dan dia--sebagai orang dewasa--akan mulai membiasakan diri dengan itu.

Tapi beberapa tahun lalu Julian tidak berpikir seperti itu. Ia pikir, kalau ia menyimpan secuil bagian dari segala macam titik yang sudah dilaluinya itu, mungkin suatu saat ia bisa kembali lagi ke titik ini. Bukan untuk berdiam, hanya berkunjung sebentar. Sepucuk surat, gelang murahan, koin, dan lain sebagainya--barang-barang itu mengikat dirinya dengan semua titik yang lalu. Ia tidak pernah benar-benar berpisah dengan mereka. Mereka masih bagian dari dirinya.

...

Julian membuka sebuah amplop hijau. "Selamat hari Natal, Jul," begitu kata tulisan yang polos dan bulat-bulat ini. "Semoga tambah pintar. PS: dapat salam dari Hana." Julian tersenyum. Surat ini dari Gina, teman sebangkunya saat kelas 4 SD. Julian ingat; Gina tidak suka matematika, tapi gambarnya bagus sekali. Ia pernah menggambar anjingnya--di bagian atas kertas A3 itu ditulisinya besar-besar: "RORO, I love you." Sementara itu, Hana pintar sekali dalam matematika, tapi tidak suka menggambar. Sekarang Gina sudah berkuliah di Singapura dan Hana di Bandung.

Ia menutup amplop hijau itu dengan helaan napas. Lalu tangannya mengambil sebuah pensil kayu. Pensil itu diameternya dua kali lipat pensil standar, dan agak lebih panjang. Di batangnya tertulis, dengan spidol hitam: "JULIAN. Dari ANDI." Yang ini oleh-oleh dari Andi, temannya di masa SD. Andi pendiam dan sering bolos sekolah. Julian tidak pernah mendengar kabarnya lagi sekarang.

Diletakannya pensil itu, lalu perhatiannya beralih ke sebuah gelang kulit yang sudah lusuh. Gelang ini dibawanya dari Bali. Waktu itu, ia nyaris tenggelam karena ombak, dan seorang perenang menyelamatkannya. Laki-laki asal Eropa itu memuji keberanian Julian dalam menantang ombak, dan memberinya gelang kaki. Ia tidak ingat siapa nama penyelamatnya itu.

...

Sebuah pik gitar dari sebuah konser... Sepucuk surat dari mantan... Sebuah kalung yang tidak pernah diberikan... Sebuah gantungan kunci--

--Hm?

Julian mengamati gantungan kunci itu. Terbuat dari kaca yang tebalnya hanya beberapa mili. Bentuknya seperti malaikat yang menghadap ke samping; sayapnya layu dan jubahnya menutupi kaki. Ia tak bermata dan tak bermulut. Dipegangnya, diamatinya lekat-lekat.

Julian lupa.

Lama ia duduk di sana, di samping laci kecilnya, sambil memegang gantungan kunci misterius itu. Siapa yang memberikannya? Kapan ia mendapatkannya? Kenapa, dia menyimpannya?

Julian--yang dulu dan yang sekarang--yakin, tidak satu titik pun benar-benar berpisah dengannya. Tidak peduli dia menyimpan "barang kenangan" atau tidak. Bahkan, tidak peduli dia ingat atau tidak. Setiap titik melakukan sesuatu padanya dan ia pernah meresponi tiap titik itu. Ada kejadian kecil-kecil yang dengan perlahan sedang membentuk sesuatu.

Malaikat kaca hanya diam saja. Buta dan bisu. Sambil menyimpan cerita yang terlupakan.

dia diam

On Kamis, 06 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Tugas kalian adalah: membuat sebuah puisi tentang keluarga.

Ah.
Apa, ya?

dia duduk saja di sana
diam
dia buka koran
diam
dia minum kopi
diam
dia cium ibu
diam
dia pergi naik mobil
diam
dia kerja
(tidak tahu apaapa)
dia pulang
aku diam
anjing menyambut

Ah, cerewet. Kontroversial.

dia duduk saja di sana
diam
dia buka koran
diam
dia minum kopi
diam
dia cium ibu
diam
dia pergi naik mobil
diam
dia kerja
(tidak tahu apaapa)
dia pulang
aku diam
anjing menyambut

Yang sudah, boleh dikumpulkan!

catatantambahan: Meski baru ditulis di sini tanggal 7, saya tidak kalah; tulisan ini selesai tanggal 6 Januari 2011, sekitar pukul 23:00, di mobil, dalam perjalanan pulang. Ditulis di tenggam dan baru sekarang dituliskan di sini. Ngomong-ngomong, hari ini (7) hari ulang tahun Papa. Yang, ngomong-ngomong, rasanya tidak menginspirasikan tulisan ini :p

Ujian Sudah Selesai

On Rabu, 05 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Erin selalu selesai pertama--ia memang cerdas dibandingkan teman-teman sekelasnya. Biasanya, ia selesai dua puluh menit lebih dulu daripada rata-rata. Tapi Erin tidak pernah keluar duluan. Ia tidak suka ada puluhan mata melihatnya mengumpulkan kertas dan mengambil tas dan keluar. Ia tidak suka tatapan heran dan iri itu.

Erin menggambar bunga (matahari?) di pojokan kertasnya.

Bosan juga, pikirnya. Erin menengok ke belakang (ia selalu duduk di barisan depan supaya tidak dicontek) dan melihat teman-temannya sekilas. Semua kepala menunduk. Serius mengerjakan, serius berpikir, serius menguap. Tampaknya belum ada yang selesai. Paling sebentar lagi Rumi selesai. Rumi juga cepat kalau mengerjakan, tapi dia selalu mengecek jawabannya berkali-kali sebelum mengumpulkan.

Erin menghapus bunga matahari yang digambarnya di pojokan kertasnya.

Bu Ratna duduk di depan kelas, mengamati murid-muridnya dengan ekspresi datar. Bu Ratna jarang mengubah mimiknya. Bahkan waktu Tari anak IPS itu meninggal, Bu Ratna terlihat biasa saja. Hanya sekali Erin melihatnya berseru kaget--saat ada tikus masuk ke kelas. Teriakannya besar dan suaranya rendah. Seluruh kelas ikut kaget waktu itu, Erin masih ingat jelas.

"Hacih!" Bu Ratna bersin. Bersinnya juga keras sekali. Seluruh kelas melonjak. "Hacih!" Bersinnya juga tidak pernah hanya sekali. "Hacih!"

Ada yang tawa tertahan di belakang sana. Itu pasti Fahmi. Fahmi selalu tertawa. Padahal anak-anak lain tidak ada lagi yang menganggap lucu: Bu Ratna bersin: itu sudah biasa. Fahmi ini selera humornya rendah, pikir Erin. Kadang-kadang memang tawanya dibutuhkan, tapi lebih sering ia tergolong kategori mengganggu. Erin sendiri paling tidak suka tipe yang seperti itu. Yang selalu tertawa dan berbicara keras-keras seperti itu.

"Rin."

Bisikan. Erin menoleh kaget. Itu Sasa.

"Pinjam tip-ex dong."

Erin mengulurkannya pada Sasa. Sasa tidak pernah berbicara padanya kalau tidak perlu apa-apa. Sasa bukan anak yang jahat dan dia tidak menyebalkan. Dia ramah. Tapi tidak terlalu ramah pada Erin. Tidak jahat juga. Hanya mungkin dia menganggap Erin tidak ada. Erin juga menganggap Sasa tidak ada. Masalahnya, agak sulit menganggap Sasa tidak ada. Dia ketua OSIS. Dan dia selalu berbicara di depan kelas dan yang dia bicarakan biasanya penting.

"Yang sudah selesai, boleh keluar," Bu Ratna berkata, datar. Erin menoleh ke Rumi. Badan kurusnya duduk tegak di kursi, membalik lembaran-lembarannya dengan santai. Sepertinya sebentar lagi dia selesai. Erin baru mau keluar kalau sudah ada yang keluar duluan. Menjadi nomor dua tidak seburuk nomor satu. Nomor satu terlalu mengerikan.

Terdengar suara kursi. Kevin maju. Oh, dia mau mengum--tidak, dia mau minta kertas lagi. Erin mengamati Kevin mengambil kertas dan balik lagi ke kursinya di barisan belakang. Erin selalu ingin mengobrol dengan Kevin. Tidak tahu kenapa. Dia tidak tampan; wajahnya terlihat mengantuk dan tidak fokus. Sepertinya dia baik. Kevin pernah mengajaknya mengobrol, sekali. Waktu itu Erin datang pagi seperti biasa, sendirian di kelas, dan Kevin datang.

"Cepet banget loe," Kevin bersiul.

Erin hanya mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana cara mengobrol dengan anak laki-laki.

"Udah ngerjain PR, belum?" Kevin bertanya.

"Udah sih. Tapi ada yang belum," jawab Erin.

Lalu Kevin mengangguk dan meninggalkan kelas. Ia tidak minta contekan dari Erin. Beberapa menit kemudian, dia mencontek milik Adri. Adri itu teman dekatnya Kevin. Erin tidak terlalu suka dengan Adri. Dia gendut dan dia merokok.

Ada suara kursi berderit; itu Rumi. Dia berdiri, membetulkan letak kacamatanya dan maju untuk mengumpulkan. Puluhan mata mengamati tiap gerakannya. Kepala-kepala membuat gerakan yang sama. Rumi mengambil tasnya. Ada decak kagum dan siulan iseng di udara. Rumi keluar.

Erin memundurkan kursinya perlahan, berdiri, dan maju. Dengan cepat ia mengambil tasnya dan keluar. Sekarang Erin mau pulang. Ujian sudah selesai.