Archive for 02/01/2011 - 03/01/2011

Badut

On Senin, 28 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Badut besar itu menatapku. Diam, menjulurkan lidahnya.

Weeek...!!

Teteup

On Minggu, 27 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
BDG
Hari itu dia bangun pagi-pagi untuk kuliah pagi. Di antara kuliah satu dan kuliah dua, pamannya dari Jakarta datang bikin kaget. Katanya, Tadi pagi ayahmu dan ibumu mengantar adik-adikmu ke sekolah, tiba-tiba truk besar lewat dan mobil mereka tertabrak. Mati di tempat.

JKT
Malam itu dia termenung sendirian di teras belakang rumahnya. Dia lihat bulan dan bintang di langit. Dia sampaikan salam untuk mereka berempat dan dia puji Tuhan.

Dia Terbiasa

On Sabtu, 26 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Hari ini semuanya biasa-biasa saja.

Bangun pagi dan merasa sepi; itu sudah biasa.

Makan pagi sekeluarga, tapi tidak sebagai keluarga; itu sudah biasa.

Membaca tentang pemerkosaan inses di koran; itu sudah biasa.

Ayah pergi tanpa pamit, ibu mengomel sama piring; itu sudah biasa.

Datang ke sekolah tidak ada yang menyapa; itu lebih biasa.

Dapat nilai tidak tinggi, dimarahi seadanya, diomeli secukupnya; itu sudah biasa.

Seribuan anak kecil dekil minta seribuan untuk makan; itu sudah biasa.

Tidak sengaja menonton berita tentang korupsi, kriminal, dan perselingkuhan; betapa sudah biasa.

Senang sejenak, tapi lalu bosan lagi; ah dia sudah terbiasa.

Malam itu dia duduk di kursi belajarnya yang bisa diputar, berputar-putar di kursinya sampai pusing, lalu berputar-putar lagi sampai lebih pusing. Ketika sampai pusing yang terpusing, ia berhenti sedetik lalu berputar-putar lagi ke arah sebaliknya.

Nah, ini baru, luar biasa.

Bangun Tidur Kuterus Bingung

On Jumat, 25 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Aku sedang tertidur ketika Mama mengetuk pintu kamarku. Dengan setengah nyawa, aku mendengar Mama mengomel; dia sedang membicarakan absensiku yang ramai, presensiku yang sepi.

"...guru BP menelepon...
"...kamu tuh, ya...
"...dengerin Mama!"

***

Aku terbangun. Tidak ada Mama di kamar.

"Jon, udah bangun?" terdengar suara Mama memanggil dari meja makan. "Ayo sarapan!"

Aku mengernyit bingung; mencoba mengingat tadi Mama marah-marah beneran atau itu cuma mimpi saja, ya? Mama beneran sudah tahu soal absen itu belum, sih?

Ah, pasang muka tak bersalah sajalah.

Ishak

On Kamis, 24 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dia ketawa keras-keras,

Ntah dia bahagia atau tidak; lupa juga apa tadi yang sangat lucu itu. Meskipun sehabis ketawa ini dia mungkin bakal menangis, yang jelas dia tidak bisa berhenti ketawa.

Pertama Kali bagi Mirna

On Minggu, 20 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 1 Comment
"Fiftitty dallas."

Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming dia.

"Oh!" Sadar, Mirna buru-buru merogoh dompetnya. "Fifty-three dollars, wait."

Mirna masih kesulitan mengerti bahasa yang digunakan di sini: Inggris berlogat Asia Timur. Maklum, ini kali pertama ia pergi ke Singapura. Walaupun tujuan utama trip ini adalah untuk melihat-lihat calon universitasnya (pernyataan yang masih perlu diaminkan), tapi, sebagai anak SMA yang baru lulus, Mirna juga berniat akan memanfaatkan uang saku yang dipercayakan oleh Bunda semaksimal mungkin.

"Itu, apa tuh, Mir, lucu," Kiren, temannya yang berwajah keindiaan dan agak sering disapa dengan bahasa India di sini, menunjuk sebuah kios kecil di zona pejalan kaki. Kecil, tapi sangat meriah. Ramai, dan benar, "lucu". "Ih, warna-warni. Mau liat, ah, Mir!"

Mirna sudah agak lelah sebenarnya, sudah dari jam sembilan pagi sampai sekarang, enam jam kemudian, ia dan Kiren mengelilingi Orchard--tentu saja--dan sekitarnya. Tapi dasar wanita, pegal di kaki bisa hilang seketika begitu melihat yang lucu, cantik, bagus, keren, dan kata sifat subyektif lainnya.

"Ayuk, deh."

Ketika mereka berbelok ke arah kios itu, mata Mirna bertemu dengan seorang bapak-bapak Cina berkemeja rapi yang sedang menelepon entah-siapa. Tiga orang anak laki-laki--paling maksimal SMP--berlalu, salah satu dengan skateboardnya. Selain itu banyak lagi orang-orang lain, kebanyakan lewat dengan langkah buru-buru yang tidak dinikmati dan muka datar.

Tiba-tiba Mirna menyadari sesuatu. Ia tertegun:

Kantong-kantong plastik yang dipegangnya dengan erat di tangannya; Kiren yang dengan semangat mendahului dia menuju kios; kios yang ramai dengan benda-benda yang lucu dan tidak penting; matahari yang menyengat; gedung-gedung yang mewah dan berusaha tampil atraktif; orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya...

Mirna sudah pernah melihat semua ini sebelumnya. Ia sudah pernah mengalami ini. Ia sudah pernah berada di sini. Segalanya persis; selama beberapa detik Mirna merasa yakin ia sedang mengulangi masa lalu.

Tapi ia tidak ingat detailnya, ia tidak ingat dimana dan kapannya.

Yang ia ingat adalah sebuah tulisan yang ia baca tidak lama lalu di sebuah laman di internet: katanya, "déjà vu" artinya "all over again".

Sensasi

On Sabtu, 19 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Seekor nyamuk hinggap di lengan kiriku. Kuberi dia waktu tiga detik untuk menyicipi darahku, lalu, PLAK!, mati dia.

Seperti

On Kamis, 17 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Ketika mataku tidak sengaja bertemu dengan matanya, aku seperti melihat anak panah yang sudah ditarik tegang di busurnya, siap, tinggal dilepas.

Sepertinya dia marah padaku.

Lapar Mata

On Selasa, 15 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Siang itu dia memesan tiga piring makanan. Yang gambarnya bagus-bagus di menu. Yang ada bintang tanda favoritnya. Lalu makan sebisanya: hanya setengah porsi masing-masing piring.

Lalu duduk kekenyangan di kursi, memikirkan bocah-bocah busung lapar di suatu kampung pedalaman, memandang makanannya dengan eneg dan menyesal.

Memperhatikan Awan, Itu, Seperti Mendengarkan Lagu

On Senin, 14 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Awan itu bentuknya seperti jerapah.

Aku belum pernah melihat jerapah secara langsung sih. Seperti kebanyakan hal yang aku 'lihat', ada kaca televisi di antara kami.

Tapi awan-awan ini--kumpulan uap air yang terlihat seperti kapas ini--adalah fenomena alam yang terjadi langsung di atas aku, berubah di bawah pengawasanku.

Aku berbaring di atas rumput yang kotor tapi indah, gatal tapi membuatku merasa alamiah, dan mengamati gumpalan kapas berubah rupa.

Awan itu tidak lagi tampak seperti jerapah--sekarang seperti seorang bocah laki yang duduk di kursi kayu, membaca buku dengan penasaran.

Aduh, lama-lama aku bisa bikin cerita dari kumpulan uap air tersebut.

...

Memperhatikan awan, itu, seperti mendengarkan lagu.

(menunda...)

On Minggu, 13 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
(...menunda, menunda, ketiduran)

Kalau Sampai Hari Punya Nama

On Sabtu, 12 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Kadang-kadang, aku merasa sebuah hari--ya, yang 24 jam itu--seperti punya kepribadiannya sendiri. Memang, akal sehatku berkata bahwa akulah yang pribadi, dan hari hanyalah sebuah sarana. Tapi imajinasiku malah bilang kalau setiap hari adalah seorang pribadi, dan aku hanyalah seorang manusia kecil di dalamnya. Itulah kenapa aku sering berubah-ubah--karena aku memang tidak tetap. Pribadiku hanya ikut-ikutan pribadi hari yang berlangsung saat itu (tidak tahu kenapa, imajinasiku memilih untuk membatasi setiap pribadi dari matahari terbit hingga tenggelam--tidak lebih, tak juga kurang).

Hari ini kuberi nama Ribet.

Pada Suatu Hari

On Jumat, 11 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Pada suatu hari yang kadang-kadang terjadi, seorang penulis duduk bengong di depan meja kerjanya: kebingungan dia.

Pencuri

On Kamis, 10 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Saya hanya pergi ke toilet. Beneran, Bu."

Wajahnya memerah. Ia terlihat seperti mau nangis. Sejujurnya, Rahma tidak sanggup lagi menanyainya macam-macam. Tapi, apa boleh buat, kadang-kadang seorang guru SMP harus sedikit tega.

"Teman-teman bilang, kamu pergi agak lama," kata Rahma selembut mungkin. "Ada apa?"

Ira menarik nafas--di mata Rahma terlihat seperti menahan diri untuk tidak menangis--lalu menggumam, "Saya sakit perut."

"Oke," Rahma mengangguk-angguk. "Kamu... buang air besar."

"Nggak keluar sih akhirnya," ia menunduk--sepertinya mau tak mau merasa lucu juga. "Tapi kan saya jadi agak lama... Tapi saya nggak ke kelas--!"

"Oke," Rahma mengangguk lagi. "Ibu percaya sama kamu, Ira."

Ira mendongak. Ia terlihat hampir tersenyum lega mendengar perkataan itu. Sebenarnya Rahma tidak bulat percaya pada Ira--bagaimana pun, pengaduan beberapa teman sekelasnya tidak dapat diabaikan begitu saja.

"Ya, saya bukannya mau jahat, Bu," Rahma mengingat Yuli yang terbata. "Saya nggak tahu juga, sih. Tapi banyak yang bilang gitu. Kan kasihan Talitha juga, Bu, kan banyak duitnya yang hilang."

"Iya, Ibu mengerti. Nanti coba Ibu tanyakan," Rahma menatap Yuli yang sedang menggigit bibirnya sendiri. "Terima kasih, ya. Kamu tidak perlu takut."

Sekarang Rahma menatap wajah Ira yang merah dan matanya yang menahan tangis.

Kadang, manusia harus bersandar pada intuisi.

"Kamu boleh pergi sekarang," Rahma tersenyum. Lalu, dengan rasa menyesal yang tulus, Rahma menambahkan, "Maaf ya, sudah menanyakan yang tidak-tidak."

Dengan penuh pengertian, Ira menganggguk dan membalas senyum Rahma. Lalu ia keluar dari kelas itu, dari sekolah itu, dan berpikir untuk membeli sepatu Converse bermodel tinggi dengan tiga ratus ribu rupiah yang dicurinya.

Baik

On Rabu, 09 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Sejak SD sampai sekarang, tahun ketiga dia berkuliah di Yogyakarta, Arya terkenal sebagai 'orang baik'. Ia tidak punya musuh dan tidak ada sekelompok orang yang rutin membicarakannya di belakang. Tapi Arya sendiri tidak pernah merasa benar-benar 'baik'. Semua karena kumpulan suara-suara ramai dalam kepalanya sendiri.
***

"Terima kasih ya, Dik," ibu hamil itu tersenyum lebar kepada Arya, seraya menduduki kursi kosong yang tadinya tempat Arya.

"Sama-sama, Bu," kata Arya sambil balas tersenyum.

Lalu, seperti biasa, suara-suara ramai memenuhi pikirannya:
Hei, lihat tuh. Cewek itu ngeliatin loe dengan pandangan kagum. Pasti dia pikir, Wah baik banget nih cowok. Jarang-jarang ada yang kayak gitu.
Alah, jangan pura-pura tidak tahulah...
Memang reaksi seperti itu kan yang loe harapkan?
Alah... akui, ayo, akui: loe haus pujian.
Kalau suatu hari loe harus berbuat baik tanpa ada penonton, bagaimana, coba?
Kalau bahkan orang yang loe tolong nggak kenal sama loe, bagaimana?
...
Ah, mungkin loe tetep bakal 'baik', ya, paling tidak loe dapat pujian dari diri loe sendiri kan? Hi hi hi...
Ha ha ha.
Baik apa munafik, tuh?
Tulus apa bulus, tuh?
He he he.
***

Arya menutup matanya, memakai head set dan bernyanyi keras-keras. Kadang-kadang musik bisa menutupi suara-suara berisik itu.

#!?@*#$!!?

On Selasa, 08 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dengan mata berat dan pikiran ngawang, aku melirik jam: sekarang pukul 1:31.

Ah.

Ngantuk,
ngantuk,
ngantuk.

Tidur dulu, sebentar saja.

...
...
...

Dengan kaget aku terbangun: sekarang pukul 6:29.
#!?@*#$!!?

Yang Majikan Tidak Pernah Tahu

On Minggu, 06 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Suminem! Baju saya yang item mana?"

"Masih basah, Bu..."

"Lah, kok bisa masih basah!?"

"Ya, kan kemarin hujan, Bu."

"Ah, kamu tuh!"

"Sumineeem, mobilnya kok kotor banget sih? Kamu cuci nggak sih?"

"Kan kemarin hujan, Pak, terus parkirnya di luar..."

"Ah, itu terus alasan kamu!"

"Mbak Mineem! Cariin buku kimia aku dong!"

"Suminem, itu mobilnya dicuci, ya!"

"Mbak Mineem. Bikinin mie goreng...!"

"Nem, pokoknya bajunya udah mesti kering, nggak mau tahu saya. Mau hujan kek, badai kek..."

"Mbak Mineeem! Denger, nggak? Mau mie goreng...!"

Hari itu baru berumur enam jam, tapi Suminem sudah menarik napas panjang dan menghembuskannya sambil berharap rasa gondoknya bisa keluar lewat hidungnya, bersama-sama angin karbon dioksida. Dengan tangan kasar dan berbau bawang, gadis Jawa itu mengelap dahinya yang berkeringat. Keringat capai dan keringat kesal--kalau kesal bisa berkeringat.

Baru satu tahun Suminem bekerja di keluarga ini. Yang Suminem tahu, keluarga ini lumayan kaya, Nasrani, suaminya Cina, dan istrinya ada keturunan Belanda. Majikan laki-lakinya berisik, apalagi yang perempuan. Anaknya satu; gendut, putih, manja dan menyebalkan. Suminem masih bekerja di sini karena dia belum menemukan tempat lain yang gajinya lebih baik--meskipun kadang dia merasa, dengan semua teriakan dan perintah tidak masuk akal yang dia terima tiap harinya, gajinya saat ini tidak baik juga.

Sepanjang hari, Suminem sibuk bak kerja rodi di rumah besar itu. Sendirian, tanpa teman--dan hanya punya dua tangan, dua kaki, dua lubang hidung. Satu-satunya slot bagi Suminem untuk duduk tenang, nonton televisi dan meregangkan otot hanya kalau ketiga majikannya itu pergi. Agak susah juga, soalnya si istri tidak bekerja kantoran. Suminem tidak tahu apa kerjanya, yang jelas ia agak sering ada di rumah, melakukan sesuatu dengan laptopnya.

"Sumineeem! Tehnya mana!?"

Oh iya. Kalau yang ini memang salahnya, harusnya setiap pagi sudah tersedia satu termos berisi tes panas untuk menemani mereka sarapan. Suminem lupa.

"Oh iya, Bu. Maaf, sebentar."

"Yee..."

Suminem berjalan dengan agak malas ke dapur dan memasak air. Lalu ditaruhnya gula pasir dan dua saset teh. Ia mencampur semuanya menjadi satu.

"Neeeem! Cepetan!"

Suminem malah terdiam.

"Neeem, lama banget sih kamu!"

"Nem, mobilnya udah diciuci?"

Suminem memejamkan matanya. Rasanya lelah sekali mendengarkan teriakan-teriakan perintah dari jam enam pagi setiap hari.

"Neeem, cepetan!"

Suminem mengaduk teh buatannya. Lalu ia berhenti sebentar.

Suminem membuka termos yang berisi tes manis hangat itu dan tersenyum nakal sendiri. Lalu ia meludah ke dalam termos: cuih, satu untuk yang laki-laki; cuih, satu untuk yang perempuan, cuih, dan satu untuk anak mereka.

Puas, Suminem menutup termos itu dan membawanya ke ruang makan.

Dan majikan tidak pernah tahu.

Ngawang-Ngawang

On Jumat, 04 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Hari ini angin bergerak sedikit lebih lambat dan matahari sedikit lebih panas. Aku berbaring di atas kasur yang nyaman--enggan bergerak lebih banyak dari sekadar meregangkan tangan ke atas. Ini hari libur dan aku akan melakukan banyak hal, begitu rencananya, segera setelah aku bangkit dari kasur surga ini.

Jam sepuluh. Ah, masih pagi.

Ulasan mimpi tadi malam, dan imajinasi setengah-jadi tentang apapun. Aku menutup mata, merasa nyaman dan aman dalam dunia yang ngawang-ngawang. Masa kecil dan masa depanku menyatu seperti gula di teh manis. Semuanya tidak jelas tapi masuk akal...

***

Seperti biasa, hari ini berlalu dan aku tidak melakukan apa-apa.

Asing Orang

On Kamis, 03 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 3 Comments
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah tujuh pagi sementara kuliahku baru mulai jam sebelas. Cuma untuk bertemu dengannya di bis yang sama.

***

Bis besar ini tidak sering lewat seperti 72 atau 61--malah dia hanya lewat sekitar 23 menit sekali. Karena itu, orang-orang berute sama yang juga sama-sama mengejar jam 7 setiap harinya, besar kemungkinan akan intens bertemu. Hanya tiga hari dalam seminggu aku perlu mengejar jam tujuh. Hari Selasa dan hari Kamis aku kuliah siang.

Sedangkan dia, berdasarkan pengamatan yang teliti dan cerdik, selama lima hari kerja dalam seminggu selalu mengejar jam tujuh. Dia selalu tampak tidak siap; dengan kaos dan kemeja yang belum selesai dikancing, rambut yang masih agak basah dan roti di mulut. Selalu membawa ransel, koran hari ini dan aura berkharisma yang luar biasa pekat. Ah, seandainya aku mengenalnya! Banyak sekali yang ingin aku bicarakan dengannya--orang asing itu.

Orang asing yang kelihatannya tidak sadar bahwa aku ada di dunia ini, ya. Segala cara sudah kulakukan; dari yang paling samar seperti mempertemukan mataku dengannya sampai yang agak jelas seperti duduk di sebelahnya dan menjatuhkan pensil supaya dia mengambilkan. Yang pertama sepertinya tidak menghasilkan kesan apa-apa dan yang kedua... ya, dia mengambilkan pensilku dan memberikannya padaku--tapi tanpa suara.

Hari ini aku tidak tahan lagi. Kalau ini bukan cinta pada pandangan pertama, sebut saja ini rasa gemas.

***

Dia duduk di antara seorang tante pegawai negeri dan seorang kakek tua bermimik galak. Aku tidak kedapatan tempat duduk, jadi aku berdiri agak dekat dengannya. Beberapa menit kemudian, seakan doa-doaku ada yang dengar dan peduli, tante pegawai negeri turun dan aku langsung menyambar tempat strategis itu.

Tidak ada hirau sedikit pun darinya (hari ini kemejanya putih gading dan dia sedang membaca koran--halaman pertama).

"Em, maaf," aku nekat. "Kalau mau ke UT, turun dimana, ya?"

Dan--percaya atau tidak--dia hanya menengok, menaikkan bahunya, menurunkannya lagi, dan kembali membaca korannya. Hanya itu yang aku dapat: gestur kecil yang klise. Tanpa kata, tanpa rasa.

Oke, ini sudah keterlaluan.

Cowok keren yang minim kata itu kadang memang bikin penasaran, tapi ini lain cerita. Ini agak bikin kesal. Rasa suka dan penasaranku sedikit banyak berubah menjadi gondok. Tiba-tiba aku merasa harus meminta kembali harga diriku. Tidak banyak yang dia lakukan, memang, tapi aku? Aku sudah bangun pagi, memikirkan orang ini tiap hari, menyusun strategi--begitu banyak investasi! Enak saja. Aku tidak terima respon seperti itu.

"Eh, maaf, Mas," aku lanjut. "Kalau ke arah Pondok Cabe, tau nggak, ya?"

Dia menoleh, menggelengkan kepalanya, tersenyum kecil, dan kembali ke korannya yang menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berhenti.

"Nggak tau ya? Aduh, gimana ya. Mas turun dimana?" aku tidak terkendali.

Sekarang dia sama sekali tidak menoleh, hanya menggelengkan kepalanya sedikit sambil tetap terpaku pada berita menarik apapun itu yang dia baca. Habislah kesabaranku.

"Mas," badanku condong ke depan sedikit. "Mas, maaf, bisa ngomong kan?"

Dia menoleh, memandangku lekat-lekat. Ekspresinya tidak bisa aku mengerti. Lalu sambil menggelengkan kepalanya pelan-pelan, dia membuka mulut dan mengucapkan kata-kata yang tidak jelas tapi masuk akal:

"Mab, a-u, a-gu."

Jangan Meninggalkan Catatan Pribadi Sembarangan

On Rabu, 02 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Ada sebuah buku tulis terletak di atas meja belajarku. Ini meja belajarku; bukan meja belajar Ani, teman sebangkuku. Tapi itu bukan bukuku, itu buku Ani.

Itu buku catatan pribadi Ani, ketinggalan.

***

Bagiku, Ani tidak terlihat seperti orang yang menulis catatan pribadi setiap hari. Aku kira cuma orang-orang yang terlihat pendiam dan pintar atau kebanyakan baca Princess Diaries yang melakukannya. Ani tidak seperti itu--ia banyak bicara dan sering tertawa keras-keras. Walaupun belakangan aku menyadari, dengan agak ngeri, bahwa ia tidak pernah bicara tentang dirinya dan ia tidak selalu tertawa dari hatinya.

Ani punya banyak teman. Tapi lebih merupakan teman-halo atau teman-ayo, bukan teman dalam masalah atau semacamnya. Aku juga tidak punya teman yang sebegitu dapat kuandalkan sih, memang tidak seperti kartun-kartun Disney--tapi entahlah. Kehadiran si Ani teman sebangkuku ini terlihat kesepian.

Semakin hari aku semakin pandai melihat bentuk-bentuk topeng yang dia pakai.

Aku penasaran juga, sebenarnya, apa yang dia pikirkan.

Aku ingin tahu juga, sebenarnya, apa tanggapannya tentang aku.

***

Buku itu buku tulis biasa, yang cukup tebal dan bersampul biru muda. Ia tergeletak pasrah begitu saja di mejaku. Aku datang terlalu pagi--aku sendirian di kelas yang masih kosong ini.

Kalau pun aku buka,

Kalau pun aku tidak buka,

Hanya Tuhan, aku, dan buku catatan itu saja yang tahu apa yang terjadi di antara kita.

Terpotong

On Selasa, 01 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 1 Comment
Sekarang jam tiga pagi. Semua lampu mati dan nyaris tidak ada suara sama sekali. Aku terbaring di kasurku, meringkuk seperti kucing.

Meringkuk diam seperti kucing mati.

Kupejamkan mata dan berusaha mengosongkan pikiran. Berusaha tidak memikirkan apa-apa supaya aku tertidur lagi. Kosong. Kosong. Kosong. Nanti mau makan roti isi selai kacang, ah. ... Kosong. Kosong. Kos--

Percuma. Sekarang jam setengah empat pagi. Aku ingin tertidur--kumohon, siapapun yang berwenang atas ini, biarkan aku tidur lagi. Tarik lagi aku ke alam bawah sadar. Percuma. Kosong, kosong, kosong. Kosong, kosong, kosong. Pikiranku kosong seperti tong. Ngomong-ngomong sampah sudah dibuang belum ya, tadi?

Sekarang jam lima pagi. Ada ayam gila berkukuk nyaring. Baiklah. Baiklah, aku menyerah. Aku beri penghargaan tinggi pada sutradara yang berwenang sekitar jam dua pagi. Aku kenang selalu, seingatku, karyamu--walau apapun yang aku lakukan, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan mimpi indah yang terpotong tadi.