Archive for 06/01/2011 - 07/01/2011

Lupa = Rugi

On Senin, 20 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments
"McFlurry satu, Mas."

"Rasa apa?"

"Yang Milo."

"Ada lagi?"

"Udah, itu aja."

"Oke. Sebentar, ya."

Lelaki bertopi itu menghilang dari balik jendela kecilnya dan aku menunggu sambil bersiul. Tidak sampai satu menit, dia muncul lagi.

"Satu McFlurry."

Asyik.

...

Aah!

Lagi-lagi lupa bilang, tidak usah diaduk!

Selamat tinggal, butir-butir cokelat yang seru dan gurih. Selamat datang, es krim cokelat membosankan.

Tetanggaku, Tari

On Minggu, 19 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Aku memandang ke sekeliling kelas. Tidak ada satu pun wajah yang aku kenal di sini. Tidak ada teman-SD atau teman-SMP: ini semua wajah baru.

"...Oke, sekian perkenalannya," kata guru berwajah serius di depan. "Sekarang, keluarkan secarik kertas dan pensil."

Kertas, srek.

Pensil.

Pensil...

Ya, ampun. Bisa-bisanya aku lupa bawa pensil pada hari pertama. Sementara di meja sebelahku, sebuah tempat pensil tergeletak. Di dalamnya banyak pensil.

Dengan pelan aku menoleh ke anak di sebelahku. Tadi, saat perkenalan, dia bilang namanya Tari. Rambutnya panjang dan bergelombang, rapi, tidak ada satu helai pun yang keluar jalur. Wajahnya juga, entah bagaimana, terlihat rapi.

Tadi, waktu kenalan, ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat kaku, memang, tapi aku punya firasat dia sebenarnya ramah. Mungkin dia hanya sepertiku: sulit membuat kesan pertama yang baik.

"Eh, Tari?"

Dia menoleh, "Ya?"

Aku mengangguk ke arah tempat pensilnya yang gemuk, "Sori, boleh pinjem pensil, nggak?" Aku tersenyum.

Ia juga tersenyum, sedikit dan kaku.

"Gua lupa bawa," tambahku.

"Oh," dia menatapku dalam diam sebentar. "Sori, nggak boleh."

Aku tertawa. Ternyata anak ini lucu juga, mencairkan suasana.

Lalu, dia berpaling lagi ke mejanya dan tetap diam. Tempat pensilnya masih di depannya dan dia tidak menyentuhnya.

Oh. Sori, nggak boleh.

Eh.

Seriusan?

Mati Rasa

On Jumat, 17 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Pagi, Nak."

"Pagi, Bu."

"Mau teh atau susu? Ibu bikinin."

Teh, jawabnya, lalu dia duduk di depan meja makan, matanya masih setengah-tertutup dan pikirannya masih setengah-berada pada mimpi barusan. Mimpi yang, dia lupa kata siapa, seperti air: semakin dia berusaha menggenggamnya, dia semakin hilang.

"Serem, lo," kata ibunya tiba-tiba, sambil menaruh teh manis hangat di depannya. Uapnya mengepul dan wanginya semerbak. Ibu selalu membuat teh manis hangat yang terbaik, pas. "Tadi malam, deket gang belakang situ, ada anak yang dibunuh."

"O ya?"

"Iya, masuk koran, nih," ditunjuknya sebuah artikel kecil di koran: 'Dirampok dan Dibunuh di Gang Dekat Rumahnya'. "Ibu juga cuma baca-baca, eh, ternyata dekat rumah kita."

"Eh, serem juga, ya."

"Untung anak Ibu laki-laki gagah semua," Ibu tersenyum dan menepuk pundaknya dengan bangga.

***

Jam pelajaran terakhir hari itu, Kimia, mereka dihadapkan dengan ujian dadakan. Satu kelas mengeluh kompak bagai demonstran menuntut hak rakyat.

"Saya bacakan soalnya," si guru terlihat bosan dan tidak merespon, seperti gedung mahal yang berdiri dingin menghadapi keluhan dan spanduk-spanduk. Selesai membacakan lima soal uraian, si guru langsung ngeloyor ke luar, meninggalkan keempatpuluh muridnya mengerjakan soal tanpa pengawasan.

Dia diam di tengah ribut-ribut yang terjadi ketika seisi kelas bertukar kertas dan berdiskusi. Saking lamanya si guru-bosan-membosankan itu keluar, seisi kelas sudah selesai semua dan sempat berdiskusi tentang hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ujian. Beberapa mulai berkumpul di sekitar seseorang, menonton adegan porno dari iPadnya.

"Kumpulkan, estafet dari belakang ke depan," si guru muncul dan memberi perintah dengan sama bosannya. Sama sekali tidak peduli dengan apapun yang mungkin terjadi di kelasnya tadi, si guru keluar begitu saja, menghembuskan napas lega. Ruangan itu memang sumpek.

Dia juga ikut keluar bersama murid-murid yang lain. Di jalan menuju rumah, dia melewati seorang nenek-nenek yang duduk di pinggir jalan, tangannya terbuka ke atas. Kondisinya tidak layak. "Dik..." katanya, merintih-rintih ketika dia lewat. Diberinya gopek. Dan setiap enam meter setelahnya ia menemukan pengemis yang mirip-mirip dan merintih-rintih juga.

Di bis pulang, dua orang pemuda dekil masuk membawa gitar, dengan melompat ke dalam bis secara ahli. Setelah memberikan kata sambutan, mereka menyanyikan sebuah lagu tentang orang miskin yang tidak tahu harus ngapain lagi, dengan nada sumbang, menutup dengan doa selamat bagi setiap orang yang ada di bis, lalu jalan ke belakang sambil mengadahkan sebuah bungkus bekas Relaxa.

***

"Pulang, Bu."

"Oh, halo, Nak. Gimana sekolah?"

"Iya. Gitulah," ia memeluk ibunya singkat. "Makannya apa?"

"Ayam goreng," kata ibunya sambil lalu. "Eh, Nak, ini di Ibu nonton Oprah bagus, deh. Tentang orang-orang di Afrika. Ternyata serem, lo. Masa perempuan-perempuan di sana biasanya diperkosa lalu dibunuh sama tentara-tentara!"

Ia melihat sekilas ke televisi: seorang perempuan hitam dan kurus-kering berteriak-teriak. Tampaknya sangat kesakitan.

"Itu dia diasingkan sama yang lain karena jadi sakit kelamin," Ibu menjelaskan. "Ini mau pake kangkung?"

"Boleh, Bu. Makasih."

Teriakan wanita Afrika itu masih terdengar sayup-sayup, tapi dia tetap makan dengan lahap. Anggap saja dia sudah mati rasa.

Pak Polisi

On Kamis, 16 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Lewat gestur, laki-laki bertopi dan berseragam itu menyuruhku menepi. Maka, dengan pelan dan jantung berdegup, aku menepikan mobil dan menurunkan kaca jendela.

"Siang, Mbak," kata Pak Polisi.

"Ehm. Siang," kataku dengan kegugupan yang terbaca. Ditatapnya aku tajam. Matanya seperti mata elang yang mengintimidasi.

"Bisa saya lihat SIM dan STNK-nya?"

Kubuka tasku untuk mengambil SIM di dompet, tapi karena gugup, dompetku terjatuh. Aku menunduk untuk mengambil, tapi karena canggung, kepalaku membentur setir dan klaksonku berbunyi: DIIIIN! Polisi lain di depan mobilku melonjak kaget.

"Mbak?"

"Eh, iya! Maaf, Pak. Ini..." aku menyerahkan surat-suratku; diambilnya sambil menatapku curiga. Dengan intens ia membandingkan fotoku dengan wajahku yang berkeringat dingin.

Setelah beberapa lama memeriksa, dikembalikannya kartu-kartuku. "Terima kasih," katanya, sambil membuat gestur yang mempersilakan mobilku untuk pergi.

"Oh, ya. Makasih, Pak." Aku cabut.

Aku menghela napas lega dan memasang radio. Mendengarkan lagu adalah salah satu resep penenang hati, setahuku.

Fiuh.

...

Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa. Aku cuma suka gugup di depan polisi.

Bunyi-Bunyian

On Rabu, 15 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dia memang sengaja memilih jenis bunyi yang tidak berisik, sehingga ketika sebuah surat masa singkat (SMS) datang, telepon genggamnya hanya bersuara pelit,

Pip.

Responnya terhadap bunyi singkat nan nyaring ini pun sama pelitnya: hanya berguling di kasurnya dan mengerang pelan. Tak mau disentuhnya telepon genggam itu.

Sebut saja dia sedang main tuli-tulian. Artinya, sama seperti main masak-masakan itu pura-pura masak, ia sedang pura-pura tuli. Dan, supaya asyik mainnya, tak diberinya hirau pada segala gelombang bunyi yang mampir ke syarafnya.

Tok! Tok! Tok!, pintu kamarnya diketuk oleh Bi Ijah. "Neng, makan malam, Neng."

Pip, SMS lagi. Pip.

Tok! Tok! Tok! Bi Ijah menegur dengan suara datar. "Neng, mau makan nggak, tuh."

Rrring...! Rrrring...! Telepon genggamnya berbunyi panjang. Sekarang ada yang menelepon, tapi dia masih setia pada permainannya yang tuli-tulian.

Pip.

Rrrring...! Rrring...!

Tok! Tok! Tok!

Pip.

Rrring...!

"Neng?"

Pip.

Supaya afdol, ditambahkannya pada pura-pura tuli, pura-pura tidur. Supaya mantap, diberinya efek suara ngorok a la babi yang keras sekali, seperti yang pernah dia lihat dilakukan oleh Goofy di sebuah film kartun, sampai Bi Ijah dibalik pintu mengedip kaget:

"Groooook...! Psiu... Groooook...! Psiu..."

*

Itu Aku

On Minggu, 12 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Seperti biasa, dia hobi sekali main tebak-tebakan.

"Ayo, siapa yang bisa jawab? Kelas sebelah tadi ada yang bisa," sambil tersenyum bijak ia duduk nanggung di meja. "Apa kata kunci dari video tadi?" Lalu diulangnya kalimat itu dengan menjedakan tiap antarkata, "Apa... kata... kunci... dari... video... tadi? Ya! Kamu."

"Warna, Pak."

Ia memejamkan matanya sambil ber-"Emm..." lalu tersenyum dan berkata, "Dekat, tapi bukan."

"Fantasi, Pak."

"Bukan."

"Kuda."

Dia tertawa lalu menjawab, "Bukan."

Beberapa jawaban berikutnya juga ditolak. Lalu aku menggumam pelan dari kursiku, "Gradasi." Dia tidak mendengar.

"Gradasi, Pak," jawab Dian.

"Yak! Tepat sekali! Itu dia!" dia kegirangan, meloncat dari duduknya dan memuji-muji. "Itu dia yang dari tadi saya tunggu-tunggu!"

Aku geregetan.

Rambut

On Sabtu, 11 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Ini semua salahku.

Aku yang bodoh, berlagak cuek dan terlalu santai. Aku yang tidak memperhatikan gunting itu dengan teliti. Aku yang tidak mengingatkan tangan-tangan itu untuk berhenti bekerja. Aku yang menutup mata terhadap semuanya.

Aku yang tidur ketika rambutku dipotong oleh seorang stylist, yang, omong-omong, memutar matanya ketika dikasih tip lima ribu rupiah.

***

"Pergi dulu ya, Ma."

"Iya, Nak."

...

"Nak, ngapain sih rambutnya diikat? Itu tuh udah pendek, masih agak basah lagi."

"Ya, udah, ah. Biarin, kenapa sih!"

"Dah, sayang!"

"Dah."

***

Karena Mama memang benar bahwa rambutku terlalu pendek untuk diikat, berkali-kali helaian rambut lepas dari ikatannya dan aku harus merapikannya. Aku kira tidak ada yang merasa terganggu dengan gerakan-gerakanku merapikan rambut, sampai

"Tasya! Ngapain sih, dari tadi?" seperti biasa, Bu Cece merasa harus membentak semua muridnya dengan keras dan mengagetkan. "Udah sana benerin di toilet! Balik ke sini, udah nggak pegang-pegang rambut lagi!"

Maka aku berdiri, merasa seperti cewek-cewek-rambut-itu, dan pergi ke toilet.

Kutarik karet rambutku sampai batas maksimalnya. Satu putaran, dua, tiga... oke, biar mantap sekalian, empat....

PTAK.

Putus. Bagus sekali.

...

Ampun, mereka semua akan menertawaiku begitu aku masuk ke kelas. Stylist pemutar mata itu sudah mengubah rambutku menjadi semacam pot terbalik dengan beberapa helai sisa rambut tipis. Mereka akan berdecak kasihan ketika melihatku, dan menatapku dengan haru. Mereka akan bersyukur bahwa mereka bukan aku. Mereka akan membicarakan betapa jeleknya rambutku sepanjang minggu dan aku akan dipanggil Tasya-Pot. Orang akan bertanya, "Tasya mana?" dan seseorang akan menjawab, "Tasya yang rambutnya aneh itu, lo." dan yang pertama akan berkata, "Ooh..."

Bagaimanapun, aku harus masuk kelas.

Maka aku berjalanlah, membuka pintulah, dan masuklah.

...

...

...

Hm. Ternyata biasa-biasa saja, ding.

Trio

On Jumat, 10 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Tiga orang perempuan mengobrol akrab di tepi pantai. Mereka tertawa bersama dan mengecat kukunya dengan warna yang sama.

Lalu, yang satu pergi sebentar membeli minum, empat puluh meter jauhnya.

Yang dua serentak berubah ekspresi, dari tawa menjadi sinis satanis. Suara dipelankan dan gosip dialirkan. Tuduhan divoniskan kepada yang satu yang sedang empat puluh meter jauhnya. Bertambah detik bertambah panas.

Lalu yang satu kembali kepada yang dua. Mereka kembali tertawa-tawa kompak sambil menonton ombak dengan cat kuku yang sama.

Rusman dan Hana

On Kamis, 09 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments
Rusman sedang duduk-duduk di kursi taman kota. Dengan jaket kulit, kacamata hitam, jins belel, rokok, dan bodi yang tidak mandi selama tiga hari, dia merasa cukup keren. Teman-temannya sepertinya setuju. Mereka semua tertawa keras-keras bersamanya, menepuk punggungnya dan memanggilnya 'bro'.

Salah seorang dari mereka, yang gondrong dan bernama Herman, membunyikan motornya keras-keras--asap tebal menyemprot keluar knalpotnya.

"Eh, Bro," Herman menepuk Rusman dan bersiul kencang. "Tuh."

Rusman menoleh. Rupanya ada seorang perempuan yang baru datang ke taman ini. Dia duduk sendirian di kursi taman, tidak begitu jauh dari gerombolan preman itu. Pilihan lokasinya memang tidak bijaksana.

Herman tertawa penuh arti dan memberi isyarat kepada Rusman.

Perempuan itu membawa minuman di gelas plastik. Diminumnya dengan sedotan.

"Mau dong, jadi sedotannya!" seru Rusman. Teman-temannya tertawa senang.

Perempuan itu menoleh sedikit, menarik napas, membuangnya, lalu pindah tempat.

Lalu giliran Rusman yang menarik napas, tapi tak kunjung dibuangnya. Agak kaget dia, karena perempuan tadi rupanya teman SDnya dulu, si Hana. Si Hana yang teman akrabnya selama empat tahun di SD dan begitu lulus pindah ke Australia.

Tawa teman-temannya seakan melambat dan memberat, seperti di slow-motion. Rusman hanya melongo. Untuk sepersekian detik tadi, dia sempat berpikir untuk menghampiri Hana dan menanyakan kabarnya. Lalu ia melihat rambut gimbal, jins belel, mencium bau badannya sendiri, dan mengurungkan niat bodoh itu.

***

"Hana, ya?"

Perempuan cantik itu mendongak. Wajahnya tidak berekspresi. Lalu dia melongo kaget. Lalu dia berkata tidak yakin, "Rus... man?"

"Iya. Hehe. Apa kabar, Han?"

"Eh. Baik, baik! Loe?"

"Yah. Ginilah!" Rusman mengangkat bahu. "Kapan balik dari Australia?"

"Oh, udah lama juga sih!"

Lalu mereka berbincang. Tentang apa saja yang sudah terjadi di hidup yang lain, tentang gosip teman SD, dan beberapa nostalgia yang masih nyangkut di ingatan. Biasa, seperti apa yang dibicarakan dalam pertemuan singkat yang diatur oleh Nasib. Di pertemuan semacam itu, masing-masing mengamati apa yang Waktu telah lakukan pada yang lain. Dan yang satu akan bertanya dalam hati, Kenapa loe jadi gini?

***

Daripada begitu, lebih baik Rusman duduk saja di kursinya yang jauh, ikut tertawa keras dengan teman-temannya dan tidak menyapa.

Konflik

On Rabu, 08 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Keluar!"

Jantungku serasa diam sebentar. Rasanya agak seperti meriang selama beberapa detik.

"Keluar dari rumah saya!"

Matanya melotot dan tangannya terkepal. Ia menggebrak meja; piring dan gelas bekas makan malam kami meloncat kaget.

"Pa, ayolah..." Mama berusaha menenangkan, tapi nadanya pasrah.

Sebelum mereka bisa melihat air mataku, aku keluar.

***

Saat itu sekitar jam tujuh malam. Aku berjalan ke kafe dekat rumah dan membeli smoothies. Lumayan juga. Mendinginkan kepala.

Mama menelepon, tapi aku tidak mengangkat. Setelah empat kali, ia berhenti menelepon.

Sambil menyeruput sisa minumanku, aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di rumah. Apakah Papa langsung tidur setelah mengusirku? Apakah Mama marah padanya? Tidak, kurasa.

Mobil-mobil lewat di depanku; cahayanya menarik untuk dilihat.

Bagaimana kalau aku tertabrak mobil ketika menyeberang nanti? Lalu aku mati, bagaimana? Apakah Papa akan menyesal? Siapa saja yang datang ke pemakamanku, ya?

Telepon dari Mama membuyarkan lamunanku tentang hari pemakamanku.

"Ya, Ma?"

"Halo, Sayang. Udah, yuk, pulang aja," Mama terdengar tenang. Atau paling tidak ditenang-tenangkan. "Papa udah tidur."

"Nggak, ah. Aku nginep di Wening aja, Ma."

Mama menghela napas, lalu mengiyakan.

"Asal Mama Wening ngebolehin ya, Nak," Mama menghela napas lagi. "I love you."

"Ya, Mama. Dadah."

"Dah."

***

"Nggak apa-apa, kok. Nginep aja di sini, Sya," kata Wening ringan. Ia memeluk bantal sambil memandangku dengan tatapan aneh. "Nyokap juga santai."

"Makasih ya, Ning."

"Santailah. Nih, mau Beng-Beng?"

Malam itu kami menonton banyak film dan makan banyak makanan ringan. Wening tidak menyinggung soal masalahku dengan Papa dan aku juga tidak memulai cerita. Kami hanya menonton banyak film komedi dan tertawa sampai pagi.

Besoknya, aku pulang.

Para Tukang Cerita (1)

On Selasa, 07 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Kamu beli buku apa?"

"Ini."

"'The BFG'... Apa tuh BFG?"

"'Big Friendly Giant', Pa."

"Hmm..." alisnya mengernyit sedikit. "'...oleh Roald Dahl, seorang pengarang buku anak-anak dari Norwegia... Raksasa...'"

Aku sudah tahu apa yang akan dia bilang selanjutnya.

"Ah, Mike. Nggak usahlah beli gini-ginian..." ia mengembalikan buku itu ke raknya lalu menepuk kepalaku pelan. "Sini, saya kasih lihat buku yang bagus."

Kami berjalan beberapa meter.

"Ini... Nah!" ia menunjukkan sebuah buku yang ukurannya mirip majalah kepadaku. "'Sains untuk Pemula'! Atau... Nah! Ini bagus, nih: '85 Eksperimen Sains Belakang Rumah'. Ini aja, ya? Menarik, nih."

Aku mengambil '85 Eksperimen Sains Belakang Rumah' dari tangannya.

"Banyak gambarnya, full-color... dan yang penting, Mike, ini berguna!" Ia tersenyum kepadaku, lalu mengernyitkan mukanya sedikit. "Buku-buku fantasi seperti tadi lebih baik dikurangi saja, Mike. Ini lebih bagus. Gimana?"

"Kalo..." suaraku mengecil. Aku ingin minta keduanya, buku ini dan buku Roald Dahl, tapi aku merasa tidak sopan.

Lagipula dia bukan ayahku.

"Hm? Gimana?"

"...Oke, Pa."

Kebiasaan di keluarga kami dan beberapa keluarga berdarah Ambon lainnya: memanggil paman dengan 'Papa' juga.

"Oke, ya."

Sejak kedua orang tuaku meninggal dua tahun lalu, aku tinggal bersama pamanku.

"Makasih, Papa Hans."

Aku memanggilnya Papa Hans.

***

Papa Hans adalah orang yang sangat ramah. Orang yang baru bertemu beberapa detik yang lalu bisa langsung terlihat seperti sahabat lamanya. Kemampuannya ini sangat berguna di bidang pekerjaannya: pemasaran rumah tinggal. Pekerjaan itu tidak memberinya banyak uang, tapi ia tetap menginvestasikan banyak uang untuk kepentingan masa depanku. Memang sih, dia juga tidak punya istri dan anak, tapi tetap saja. Sekarang usiaku sudah enambelas tahun dan aku merasa berhutang budi banyak padanya.

"Michael?"

"Ya?"

"Kita mau sumbang buku beberapa ke perpustakaan di kampung, di Ambon," kepalanya nongol dari pintu kamarku. "Ada bukumu yang mau dikasih?"

"Oh, iya, boleh."

"Taruh di kardus, oke?"

"Oke."

Aku memandang lemari bukuku. Tidak seperti milik teman-temanku, di lemari buku ini tidak ada buku-buku SD karangan Enid Blyton dan Roald Dahl. Tidak ada Goosebumps dan komik-komik Jepang. Bahkan tidak ada Harry Potter-nya J.K. Rowling. Yang ada cuma buku-buku sains, biografi, sejarah, atau bahasa.

Itu satu hal tentang Papa Hans: dia tidak pernah membeli, atau membelikan, buku fiksi. Cerita anak-anak atau sastra, tidak ada arti baginya.

"Fiksi itu menjual fantasi dan imajinasi, Mike," katanya padaku dulu. "Namanya juga fiksi! Penyihir, superhero... gitu-gitu kan? Masalahnya, di dunia nyata nggak ada begitu-begitu!"

Itu, hal yang paling membedakan aku dengan Papa Hans. Kecintaanku pada cerita. Pada gambar-gambar brilian di kepalaku. Tentu saja, aku tidak pernah menunjukkannya pada Papa Hans. Toh aku juga tidak masalah dengan buku-buku yang ia belikan untukku. Aku hanya... suka membeli buku lain tanpa sepengetahuannya.

Lagipula, mana bisa aku menceritakan minat seperti itu pada orang yang suka menggumam: "Fiksi itu cuma buat orang yang mau lari dari kenyataan."

--bersambung

Percakapan (4)

On Senin, 06 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / 2 Comments
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?"

Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini tidak begitu bagus. Tapi kerutan-kerutan di wajah si nenek masih terlihat dengan jelas. Jutaan kerutan membentuk sebuah senyum bersemangat.

"Saya--eh," kemampuannya untuk berbicara belum banyak berkembang. "Tidak--saya tidak. Em, maksud saya--anu. Dia, Bu, yang--itu."

"Oh! Perempuannya yang menyatakan--?"

Tersipu malu, ia menggangguk (lalu kepalanya tetap tunduk), "Iya, Bu."

"Oh!" Nenek itu kelihatannya senang sekali. Dengan anggun dan tanpa suara ia menepukkan tangan di samping kepala. "Gadis berani!"

"Iya, dia memang begitu, Bu," si pria muda tersenyum kecil melihat antusiasme nenek itu.

"Lalu? Yang mengajak kencan pertama siapa?"

"Eh--dia juga, Bu," pria itu tertawa kecil. Masih merasa aneh dia, secara tiba-tiba ditanyai begini tentang kisah yang sudah tinggal senyata mimpi. Tapi, entahlah, menyenangkan juga.

"Hei," si nenek menatapnya hangat. "Kamu senyum-senyum sendiri. Ayo, bagikan juga kisah itu denganku, dong!"

"Ah, ya," pria itu tertawa ringan. "Jadi... em. Yah, waktu itu kami jalan-jalan ke kota..."

Gambar demi gambar muncul di ingatannya seraya ia bercerita. Hamparan sawah hijau, pasar, jalan-jalan di kota, pasar malam, kebaya Fitri, motor barunya--sampai ke bagian-bagian yang tidak ia sukai. Kepergiannya ke Jakarta, kepergian Fitri ke Malaysia, perpisahan mereka, pernikahan Fitri...

Suaranya mengecil sambil ia terus bercerita. Tanpa sadar ia sudah memandang ke jendela yang belum ditutupnya. Ke langit hitam yang tanpa cerita. Seakan potongan-potongan kisahnya sedang ditampilkan di sana.

"Dan dia pergi, deh," katanya sambil menerawang. "Eh--! Duh--Maaf, Bu! Saya kok jadi keasyikan curhat," pria tersebut menggaruk kepalanya. Entah mengapa, menceritakan apa yang tidak pernah ia ceritakan--tapi sebenarnya ingin ia muntahkan, ternyata menyenangkan. Paling tidak, sekali ia memulai, sulit sekali mengakhirinya.

Si nenek masih tersenyum. Matanya terpejam. Mendengarkan suara pria medok itu berbicara seakan ditidurkan oleh musik klasik.

"Bu, sudah saja," pria itu tersenyum. "Em. Terima kasih banyak, lo, Bu, mau ngedengerin saya."

Nenek itu masih diam. Wajah itu tenang sekali. Jutaan keriput di wajahnya bekerja sama menggariskan sebuah senyum yang damai. Bahkan matanya yang tertutup pun tersenyum.

"Bu?"

...

"Bu?"

...

"B--Astaghfirullah! Innalillahiwainnailaihirojiun!"

***

Di pojok sebuah perpustakaan tua di tengah kota, ruh seorang wanita meninggalkan raganya. Di samping raganya, seorang pria muda berdiri, lemas, emosinya tidak bisa ia jelaskan. Kaget? Pakai ditanya, ya iya. Sedih? Hm... Yah, rasanya seperti kehilangan seorang teman. Atau mungkin hanya seperti bangun dari sebuah mimpi. Pikiran macam-macam juga memenuhinya: mungkinkah salahnya si nenek mati? Wanita itu mati diiringi kisah cintanya yang remeh... Bisakah orang benar-benar "mati bosan"? Konyol. Tentu karena dia sudah tua.

Entahlah. Yang jelas, ia tidak pernah tahu sampai bagian mana si nenek mendengarkan kisah cinta lama itu. Hanya sampai bagian jalan-jalan ke kota? Atau sudah sampai ketika mereka dia punya motor bebek? Sudah sampai ke bagian mereka berpisahkah...? Tidak tahu.

Tidak pernah tahu.

Tidak perlu tahu.

***

"Kamu pernah jatuh cinta, Nak?"


...

"Baiklah. Ceritakan padaku bagaimana."

--bersambung-sambung,
tapi lagi nggak nyambung,
Bung.
Lagi-lagi nggak nyambung?
Nggak lagi nyambung-nyambung!

Salahmu, Nggak Diumumkan di Facebook

On Minggu, 05 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Hujan deras pada jam setengah tujuh pagi. Tapi aku berani bilang: ini hari yang indah.

"Pagi!" sapaku kepada seisi kelas.

"Woi," suara berat Drian terdengar dari belakangku. "Minggir loe, ah. Ngalangin pintu."

"Tau," dukung Ito di sampingnya. "Basah, nih."

Tanpa bicara, aku pergi dan mendudukkan diri di kursiku: di belakang bagian tengah. Dari posisi fantastis ini, aku bisa mengamati hampir semua anak di kelas sekaligus. Dipikir-pikir, posisiku sebenarnya sama dengan guru yang mengajar--hanya saja mereka semua memunggungiku.

Oh, itu Talitha datang.

"Pagi, Lit!" sapaku, nyengir, sambil menurunkan tasku di kursi sebelahku.

"Hei," balasnya dingin.

"Eri! Pagi!"

"Eh--yo."

"Pagi, Jane!"

"...Iya, pagi."

Semua sapaanku sepertinya melayang begitu saja dan pameran gigiku tidak berpengaruh.

...

Cih.

Padahal ini kan ulang tahunku.

Pendapat

On Sabtu, 04 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
Dia jelek.

*

Ah, dia ganteng.

Hah? Masa, sih?

Iya. Ganteng, ah.

Iya, gitu?

Iih, dia mah ganteng, tau.

Tuh, kan.

Iya, ya?

Dia? Eh, lucu kok.

Iya juga, sih...

*

Wah, dia ganteng, ya.

Dua Wanita Lelah

On Jumat, 03 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Saya nggak mau tau, ya. Pokoknya tadi saya pesannya kan nggak pedes. Gimana, sih, Mbak ini?"

Pelayan itu mengangguk, "Maaf, Bu."

"Maaf, maaf," sang Nyonya mengomel. "Saya nggak mau makan ini! Ganti!"

"Oh, iya. Baik, Bu. Jadi tetep nasi goreng tapi nggak pedes sama sekali kan ya, Bu?"

"Ya, iya! Dari tadi saya bilang apa?"

"Oh, oke, Bu."

***

"Ibu pulang."

Suti duduk di kursi ruang tamunya yang kecil. Rasanya lelah sekali, menghela napas pun malas. Ia hanya duduk saja, memandangi kertas-kertas tagihan yang menghiasi meja di depannya.

***

Bu Siharjo memarkir mobilnya. Mobil satu lagi belum datang: suaminya belum pulang, padahal ini sudah lewat jam dua belas malam. Lelah sekali setelah marah-marah di restoran tadi. Menangis pun malas.

Pasukan Semut Kecil Yang Gagah Berani

On Kamis, 02 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Semua orang bilang aku ini kecil. Aku senang bertemu dengan kalian... Karena kalian bahkan lebih kecil."

Si Kecil Udi berjongkok di aras tanah, memperhatikan barisan semut hitam yang lewat di bawahnya. Seakan-akan kedua kaki Udi adalah kolom jembatan dan pantat Udi adalah jembatannya.

Percakapan (3)

On Rabu, 01 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / No Comments
"Eh... Waduh, bagaimana ya, Bu..."

Perpustakaan itu sudah mau tutup dan tidak begitu banyak orang di sana. Pria payah itu hampir bisa mendengar hembusan angin sore yang masuk dari satu-satunya jendela yang belum ditutup, menyelip di sela buku-buku tua.

Dan nenek tua itu masih saja memandangnya lekat-lekat, menunggunya melanjutkan cerita.

"Aduh, sudah lama sekali, Bu, itu ceritanya," kata si pria muda dalam gagapnya.

Di luar duganya, nenek tua malah tertawa ringan. Tawanya nyaring. Terpikir sekilas di benaknya yang beku, Nenek ini pasti dulunya cantik.

"Selama apa, sih," balas si nenek santai. "Palingan juga masih tuaan saya dibanding ceritamu, Nak."

"Eh--yah..."

Nenek itu tersenyum. Lalu ia menaruh kaki kirinya di atas yang kanan, dan kedua tangannya di atas lutut kirinya. Entah maksudnya apa, tapi gerakannya membuat si pria muda salah tingkah. Bahkan di umur seribuan seperti ini, nenek ini masih mempesona, pikirnya. Berbahagialah para pria kaya bangkotan yang menghabiskan masa muda bersama wanita ini.

"Begini, deh," kata si nenek, masih dalam senyumnya yang menawan. "Namanya siapa?"

"Hah?"

"Kamu jatuh cinta sama siapa?"

"Waduh..." Lalu, entah bagaimana, dimuntahkannya juga nama yang sudah berlumut di kepalanya selama bertahun-tahun, "Fitri."

"Hmm," si nenek tersenyum lebih lebar. Sepertinya dia senang. "Si Fitri ini seumuran denganmu?"

"Eh--kakak kelas dulu, waktu di SMA," seperti gagu dia, tapi toh tetap menjawab.

"Wala, oudere vrouwen!"

Sementara si nenek terlihat makin senang, pria tersebut makin bingung. Lalu--entah karena kharisma si wanita tua atau kelemahan si pria muda--cerita cinta antara dua orang remaja di suatu desa di Jawa Timur pun berlanjut.

--bersambung