Mati Rasa

On Jumat, 17 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
"Pagi, Nak."

"Pagi, Bu."

"Mau teh atau susu? Ibu bikinin."

Teh, jawabnya, lalu dia duduk di depan meja makan, matanya masih setengah-tertutup dan pikirannya masih setengah-berada pada mimpi barusan. Mimpi yang, dia lupa kata siapa, seperti air: semakin dia berusaha menggenggamnya, dia semakin hilang.

"Serem, lo," kata ibunya tiba-tiba, sambil menaruh teh manis hangat di depannya. Uapnya mengepul dan wanginya semerbak. Ibu selalu membuat teh manis hangat yang terbaik, pas. "Tadi malam, deket gang belakang situ, ada anak yang dibunuh."

"O ya?"

"Iya, masuk koran, nih," ditunjuknya sebuah artikel kecil di koran: 'Dirampok dan Dibunuh di Gang Dekat Rumahnya'. "Ibu juga cuma baca-baca, eh, ternyata dekat rumah kita."

"Eh, serem juga, ya."

"Untung anak Ibu laki-laki gagah semua," Ibu tersenyum dan menepuk pundaknya dengan bangga.

***

Jam pelajaran terakhir hari itu, Kimia, mereka dihadapkan dengan ujian dadakan. Satu kelas mengeluh kompak bagai demonstran menuntut hak rakyat.

"Saya bacakan soalnya," si guru terlihat bosan dan tidak merespon, seperti gedung mahal yang berdiri dingin menghadapi keluhan dan spanduk-spanduk. Selesai membacakan lima soal uraian, si guru langsung ngeloyor ke luar, meninggalkan keempatpuluh muridnya mengerjakan soal tanpa pengawasan.

Dia diam di tengah ribut-ribut yang terjadi ketika seisi kelas bertukar kertas dan berdiskusi. Saking lamanya si guru-bosan-membosankan itu keluar, seisi kelas sudah selesai semua dan sempat berdiskusi tentang hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ujian. Beberapa mulai berkumpul di sekitar seseorang, menonton adegan porno dari iPadnya.

"Kumpulkan, estafet dari belakang ke depan," si guru muncul dan memberi perintah dengan sama bosannya. Sama sekali tidak peduli dengan apapun yang mungkin terjadi di kelasnya tadi, si guru keluar begitu saja, menghembuskan napas lega. Ruangan itu memang sumpek.

Dia juga ikut keluar bersama murid-murid yang lain. Di jalan menuju rumah, dia melewati seorang nenek-nenek yang duduk di pinggir jalan, tangannya terbuka ke atas. Kondisinya tidak layak. "Dik..." katanya, merintih-rintih ketika dia lewat. Diberinya gopek. Dan setiap enam meter setelahnya ia menemukan pengemis yang mirip-mirip dan merintih-rintih juga.

Di bis pulang, dua orang pemuda dekil masuk membawa gitar, dengan melompat ke dalam bis secara ahli. Setelah memberikan kata sambutan, mereka menyanyikan sebuah lagu tentang orang miskin yang tidak tahu harus ngapain lagi, dengan nada sumbang, menutup dengan doa selamat bagi setiap orang yang ada di bis, lalu jalan ke belakang sambil mengadahkan sebuah bungkus bekas Relaxa.

***

"Pulang, Bu."

"Oh, halo, Nak. Gimana sekolah?"

"Iya. Gitulah," ia memeluk ibunya singkat. "Makannya apa?"

"Ayam goreng," kata ibunya sambil lalu. "Eh, Nak, ini di Ibu nonton Oprah bagus, deh. Tentang orang-orang di Afrika. Ternyata serem, lo. Masa perempuan-perempuan di sana biasanya diperkosa lalu dibunuh sama tentara-tentara!"

Ia melihat sekilas ke televisi: seorang perempuan hitam dan kurus-kering berteriak-teriak. Tampaknya sangat kesakitan.

"Itu dia diasingkan sama yang lain karena jadi sakit kelamin," Ibu menjelaskan. "Ini mau pake kangkung?"

"Boleh, Bu. Makasih."

Teriakan wanita Afrika itu masih terdengar sayup-sayup, tapi dia tetap makan dengan lahap. Anggap saja dia sudah mati rasa.

Reply