Konflik

On Rabu, 08 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
"Keluar!"

Jantungku serasa diam sebentar. Rasanya agak seperti meriang selama beberapa detik.

"Keluar dari rumah saya!"

Matanya melotot dan tangannya terkepal. Ia menggebrak meja; piring dan gelas bekas makan malam kami meloncat kaget.

"Pa, ayolah..." Mama berusaha menenangkan, tapi nadanya pasrah.

Sebelum mereka bisa melihat air mataku, aku keluar.

***

Saat itu sekitar jam tujuh malam. Aku berjalan ke kafe dekat rumah dan membeli smoothies. Lumayan juga. Mendinginkan kepala.

Mama menelepon, tapi aku tidak mengangkat. Setelah empat kali, ia berhenti menelepon.

Sambil menyeruput sisa minumanku, aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di rumah. Apakah Papa langsung tidur setelah mengusirku? Apakah Mama marah padanya? Tidak, kurasa.

Mobil-mobil lewat di depanku; cahayanya menarik untuk dilihat.

Bagaimana kalau aku tertabrak mobil ketika menyeberang nanti? Lalu aku mati, bagaimana? Apakah Papa akan menyesal? Siapa saja yang datang ke pemakamanku, ya?

Telepon dari Mama membuyarkan lamunanku tentang hari pemakamanku.

"Ya, Ma?"

"Halo, Sayang. Udah, yuk, pulang aja," Mama terdengar tenang. Atau paling tidak ditenang-tenangkan. "Papa udah tidur."

"Nggak, ah. Aku nginep di Wening aja, Ma."

Mama menghela napas, lalu mengiyakan.

"Asal Mama Wening ngebolehin ya, Nak," Mama menghela napas lagi. "I love you."

"Ya, Mama. Dadah."

"Dah."

***

"Nggak apa-apa, kok. Nginep aja di sini, Sya," kata Wening ringan. Ia memeluk bantal sambil memandangku dengan tatapan aneh. "Nyokap juga santai."

"Makasih ya, Ning."

"Santailah. Nih, mau Beng-Beng?"

Malam itu kami menonton banyak film dan makan banyak makanan ringan. Wening tidak menyinggung soal masalahku dengan Papa dan aku juga tidak memulai cerita. Kami hanya menonton banyak film komedi dan tertawa sampai pagi.

Besoknya, aku pulang.

Reply