Para Tukang Cerita (1)

On Selasa, 07 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
"Kamu beli buku apa?"

"Ini."

"'The BFG'... Apa tuh BFG?"

"'Big Friendly Giant', Pa."

"Hmm..." alisnya mengernyit sedikit. "'...oleh Roald Dahl, seorang pengarang buku anak-anak dari Norwegia... Raksasa...'"

Aku sudah tahu apa yang akan dia bilang selanjutnya.

"Ah, Mike. Nggak usahlah beli gini-ginian..." ia mengembalikan buku itu ke raknya lalu menepuk kepalaku pelan. "Sini, saya kasih lihat buku yang bagus."

Kami berjalan beberapa meter.

"Ini... Nah!" ia menunjukkan sebuah buku yang ukurannya mirip majalah kepadaku. "'Sains untuk Pemula'! Atau... Nah! Ini bagus, nih: '85 Eksperimen Sains Belakang Rumah'. Ini aja, ya? Menarik, nih."

Aku mengambil '85 Eksperimen Sains Belakang Rumah' dari tangannya.

"Banyak gambarnya, full-color... dan yang penting, Mike, ini berguna!" Ia tersenyum kepadaku, lalu mengernyitkan mukanya sedikit. "Buku-buku fantasi seperti tadi lebih baik dikurangi saja, Mike. Ini lebih bagus. Gimana?"

"Kalo..." suaraku mengecil. Aku ingin minta keduanya, buku ini dan buku Roald Dahl, tapi aku merasa tidak sopan.

Lagipula dia bukan ayahku.

"Hm? Gimana?"

"...Oke, Pa."

Kebiasaan di keluarga kami dan beberapa keluarga berdarah Ambon lainnya: memanggil paman dengan 'Papa' juga.

"Oke, ya."

Sejak kedua orang tuaku meninggal dua tahun lalu, aku tinggal bersama pamanku.

"Makasih, Papa Hans."

Aku memanggilnya Papa Hans.

***

Papa Hans adalah orang yang sangat ramah. Orang yang baru bertemu beberapa detik yang lalu bisa langsung terlihat seperti sahabat lamanya. Kemampuannya ini sangat berguna di bidang pekerjaannya: pemasaran rumah tinggal. Pekerjaan itu tidak memberinya banyak uang, tapi ia tetap menginvestasikan banyak uang untuk kepentingan masa depanku. Memang sih, dia juga tidak punya istri dan anak, tapi tetap saja. Sekarang usiaku sudah enambelas tahun dan aku merasa berhutang budi banyak padanya.

"Michael?"

"Ya?"

"Kita mau sumbang buku beberapa ke perpustakaan di kampung, di Ambon," kepalanya nongol dari pintu kamarku. "Ada bukumu yang mau dikasih?"

"Oh, iya, boleh."

"Taruh di kardus, oke?"

"Oke."

Aku memandang lemari bukuku. Tidak seperti milik teman-temanku, di lemari buku ini tidak ada buku-buku SD karangan Enid Blyton dan Roald Dahl. Tidak ada Goosebumps dan komik-komik Jepang. Bahkan tidak ada Harry Potter-nya J.K. Rowling. Yang ada cuma buku-buku sains, biografi, sejarah, atau bahasa.

Itu satu hal tentang Papa Hans: dia tidak pernah membeli, atau membelikan, buku fiksi. Cerita anak-anak atau sastra, tidak ada arti baginya.

"Fiksi itu menjual fantasi dan imajinasi, Mike," katanya padaku dulu. "Namanya juga fiksi! Penyihir, superhero... gitu-gitu kan? Masalahnya, di dunia nyata nggak ada begitu-begitu!"

Itu, hal yang paling membedakan aku dengan Papa Hans. Kecintaanku pada cerita. Pada gambar-gambar brilian di kepalaku. Tentu saja, aku tidak pernah menunjukkannya pada Papa Hans. Toh aku juga tidak masalah dengan buku-buku yang ia belikan untukku. Aku hanya... suka membeli buku lain tanpa sepengetahuannya.

Lagipula, mana bisa aku menceritakan minat seperti itu pada orang yang suka menggumam: "Fiksi itu cuma buat orang yang mau lari dari kenyataan."

--bersambung

Reply