Asing Orang

On Kamis, 03 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah tujuh pagi sementara kuliahku baru mulai jam sebelas. Cuma untuk bertemu dengannya di bis yang sama.

***

Bis besar ini tidak sering lewat seperti 72 atau 61--malah dia hanya lewat sekitar 23 menit sekali. Karena itu, orang-orang berute sama yang juga sama-sama mengejar jam 7 setiap harinya, besar kemungkinan akan intens bertemu. Hanya tiga hari dalam seminggu aku perlu mengejar jam tujuh. Hari Selasa dan hari Kamis aku kuliah siang.

Sedangkan dia, berdasarkan pengamatan yang teliti dan cerdik, selama lima hari kerja dalam seminggu selalu mengejar jam tujuh. Dia selalu tampak tidak siap; dengan kaos dan kemeja yang belum selesai dikancing, rambut yang masih agak basah dan roti di mulut. Selalu membawa ransel, koran hari ini dan aura berkharisma yang luar biasa pekat. Ah, seandainya aku mengenalnya! Banyak sekali yang ingin aku bicarakan dengannya--orang asing itu.

Orang asing yang kelihatannya tidak sadar bahwa aku ada di dunia ini, ya. Segala cara sudah kulakukan; dari yang paling samar seperti mempertemukan mataku dengannya sampai yang agak jelas seperti duduk di sebelahnya dan menjatuhkan pensil supaya dia mengambilkan. Yang pertama sepertinya tidak menghasilkan kesan apa-apa dan yang kedua... ya, dia mengambilkan pensilku dan memberikannya padaku--tapi tanpa suara.

Hari ini aku tidak tahan lagi. Kalau ini bukan cinta pada pandangan pertama, sebut saja ini rasa gemas.

***

Dia duduk di antara seorang tante pegawai negeri dan seorang kakek tua bermimik galak. Aku tidak kedapatan tempat duduk, jadi aku berdiri agak dekat dengannya. Beberapa menit kemudian, seakan doa-doaku ada yang dengar dan peduli, tante pegawai negeri turun dan aku langsung menyambar tempat strategis itu.

Tidak ada hirau sedikit pun darinya (hari ini kemejanya putih gading dan dia sedang membaca koran--halaman pertama).

"Em, maaf," aku nekat. "Kalau mau ke UT, turun dimana, ya?"

Dan--percaya atau tidak--dia hanya menengok, menaikkan bahunya, menurunkannya lagi, dan kembali membaca korannya. Hanya itu yang aku dapat: gestur kecil yang klise. Tanpa kata, tanpa rasa.

Oke, ini sudah keterlaluan.

Cowok keren yang minim kata itu kadang memang bikin penasaran, tapi ini lain cerita. Ini agak bikin kesal. Rasa suka dan penasaranku sedikit banyak berubah menjadi gondok. Tiba-tiba aku merasa harus meminta kembali harga diriku. Tidak banyak yang dia lakukan, memang, tapi aku? Aku sudah bangun pagi, memikirkan orang ini tiap hari, menyusun strategi--begitu banyak investasi! Enak saja. Aku tidak terima respon seperti itu.

"Eh, maaf, Mas," aku lanjut. "Kalau ke arah Pondok Cabe, tau nggak, ya?"

Dia menoleh, menggelengkan kepalanya, tersenyum kecil, dan kembali ke korannya yang menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berhenti.

"Nggak tau ya? Aduh, gimana ya. Mas turun dimana?" aku tidak terkendali.

Sekarang dia sama sekali tidak menoleh, hanya menggelengkan kepalanya sedikit sambil tetap terpaku pada berita menarik apapun itu yang dia baca. Habislah kesabaranku.

"Mas," badanku condong ke depan sedikit. "Mas, maaf, bisa ngomong kan?"

Dia menoleh, memandangku lekat-lekat. Ekspresinya tidak bisa aku mengerti. Lalu sambil menggelengkan kepalanya pelan-pelan, dia membuka mulut dan mengucapkan kata-kata yang tidak jelas tapi masuk akal:

"Mab, a-u, a-gu."

3 Responses to “Asing Orang”

Comments

  1. Anonim says:

    ...Gadis menyebalkan itu melongo. Mulutnya setengah terbuka. Aku lihat ada cabai terselip di antara giginya. Dia menjadi salah tingkah dan tersenyum canggung. Dia membuka-buka tasnya mencari entah apa untuk menutupi rasa canggungnya.

    Untung lah dalam sekejap tadi terlintas di kepalaku untuk pura-pura gagu. Sebab pacarku, Romi, benar-benar pencemburu--bahkan terhadap wanita.

  2. ...Aku nyaris tidak sanggup menahan ketawa; kugigit bibirku sampai mau luka. Cewek bego itu terlihat malu, dan si cowok keren tetap memasang wajah datar.

    Aku tahu pasti bahwa dia tidak gagu.

    "Maaf, mau duduk di sini?" kira-kira sebulan lalu, dia bilang begitu padaku. Sepertinya dia kasihan melihat barang bawaanku yang banyak dan berat.

    "Oh iya, makasih," kataku penuh syukur.

    Jadi, ya, dia tidak gagu. Tapi dia memang jarang bicara, sih.

    Nyaris setiap hari aku memperhatikan usaha sia-sia si cewek bego (yang, ngomong-ngomong, sangat kentara). Pernah sekali aku bertemu mata dengan cowok itu dan kami bertukar tawa. Kami bergosip lewat mata, dan tidak ada orang lain yang tahu. Dan bukan hanya gosip, sebenarnya--aku yakin sesuatu terjadi di antara kami.

    Cewek bego yang malang. Kasihan juga kalau suatu hari nanti dia melihatku ngobrol dengan cowok yang dikiranya gagu itu.

  3. Anonim says:

    (Balada Bus Kota: Lelaki Gay, Si Bego, dan Si Ge-er)

    "cewek bego" jahat bener lah, hahah

Reply