Pencuri
On Kamis, 10 Februari 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
Reply
"Saya hanya pergi ke toilet. Beneran, Bu."
Wajahnya memerah. Ia terlihat seperti mau nangis. Sejujurnya, Rahma tidak sanggup lagi menanyainya macam-macam. Tapi, apa boleh buat, kadang-kadang seorang guru SMP harus sedikit tega.
"Teman-teman bilang, kamu pergi agak lama," kata Rahma selembut mungkin. "Ada apa?"
Ira menarik nafas--di mata Rahma terlihat seperti menahan diri untuk tidak menangis--lalu menggumam, "Saya sakit perut."
"Oke," Rahma mengangguk-angguk. "Kamu... buang air besar."
"Nggak keluar sih akhirnya," ia menunduk--sepertinya mau tak mau merasa lucu juga. "Tapi kan saya jadi agak lama... Tapi saya nggak ke kelas--!"
"Oke," Rahma mengangguk lagi. "Ibu percaya sama kamu, Ira."
Ira mendongak. Ia terlihat hampir tersenyum lega mendengar perkataan itu. Sebenarnya Rahma tidak bulat percaya pada Ira--bagaimana pun, pengaduan beberapa teman sekelasnya tidak dapat diabaikan begitu saja.
"Ya, saya bukannya mau jahat, Bu," Rahma mengingat Yuli yang terbata. "Saya nggak tahu juga, sih. Tapi banyak yang bilang gitu. Kan kasihan Talitha juga, Bu, kan banyak duitnya yang hilang."
"Iya, Ibu mengerti. Nanti coba Ibu tanyakan," Rahma menatap Yuli yang sedang menggigit bibirnya sendiri. "Terima kasih, ya. Kamu tidak perlu takut."
Sekarang Rahma menatap wajah Ira yang merah dan matanya yang menahan tangis.
Kadang, manusia harus bersandar pada intuisi.
"Kamu boleh pergi sekarang," Rahma tersenyum. Lalu, dengan rasa menyesal yang tulus, Rahma menambahkan, "Maaf ya, sudah menanyakan yang tidak-tidak."
Dengan penuh pengertian, Ira menganggguk dan membalas senyum Rahma. Lalu ia keluar dari kelas itu, dari sekolah itu, dan berpikir untuk membeli sepatu Converse bermodel tinggi dengan tiga ratus ribu rupiah yang dicurinya.
Wajahnya memerah. Ia terlihat seperti mau nangis. Sejujurnya, Rahma tidak sanggup lagi menanyainya macam-macam. Tapi, apa boleh buat, kadang-kadang seorang guru SMP harus sedikit tega.
"Teman-teman bilang, kamu pergi agak lama," kata Rahma selembut mungkin. "Ada apa?"
Ira menarik nafas--di mata Rahma terlihat seperti menahan diri untuk tidak menangis--lalu menggumam, "Saya sakit perut."
"Oke," Rahma mengangguk-angguk. "Kamu... buang air besar."
"Nggak keluar sih akhirnya," ia menunduk--sepertinya mau tak mau merasa lucu juga. "Tapi kan saya jadi agak lama... Tapi saya nggak ke kelas--!"
"Oke," Rahma mengangguk lagi. "Ibu percaya sama kamu, Ira."
Ira mendongak. Ia terlihat hampir tersenyum lega mendengar perkataan itu. Sebenarnya Rahma tidak bulat percaya pada Ira--bagaimana pun, pengaduan beberapa teman sekelasnya tidak dapat diabaikan begitu saja.
"Ya, saya bukannya mau jahat, Bu," Rahma mengingat Yuli yang terbata. "Saya nggak tahu juga, sih. Tapi banyak yang bilang gitu. Kan kasihan Talitha juga, Bu, kan banyak duitnya yang hilang."
"Iya, Ibu mengerti. Nanti coba Ibu tanyakan," Rahma menatap Yuli yang sedang menggigit bibirnya sendiri. "Terima kasih, ya. Kamu tidak perlu takut."
Sekarang Rahma menatap wajah Ira yang merah dan matanya yang menahan tangis.
Kadang, manusia harus bersandar pada intuisi.
"Kamu boleh pergi sekarang," Rahma tersenyum. Lalu, dengan rasa menyesal yang tulus, Rahma menambahkan, "Maaf ya, sudah menanyakan yang tidak-tidak."
Dengan penuh pengertian, Ira menganggguk dan membalas senyum Rahma. Lalu ia keluar dari kelas itu, dari sekolah itu, dan berpikir untuk membeli sepatu Converse bermodel tinggi dengan tiga ratus ribu rupiah yang dicurinya.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia
Kintaka
-
▼
2011
(139)
-
▼
Februari
(25)
- Badut
- Teteup
- Dia Terbiasa
- Bangun Tidur Kuterus Bingung
- Ishak
- Pertama Kali bagi Mirna
- Sensasi
- (ADUH)
- Seperti
- (aduh)
- Lapar Mata
- Memperhatikan Awan, Itu, Seperti Mendengarkan Lagu
- (menunda...)
- Kalau Sampai Hari Punya Nama
- Pada Suatu Hari
- Pencuri
- Baik
- #!?@*#$!!?
- (duduk di tengah ramai...)
- Yang Majikan Tidak Pernah Tahu
- (...)
- Ngawang-Ngawang
- Asing Orang
- Jangan Meninggalkan Catatan Pribadi Sembarangan
- Terpotong
-
▼
Februari
(25)