Baik

On Rabu, 09 Februari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Sejak SD sampai sekarang, tahun ketiga dia berkuliah di Yogyakarta, Arya terkenal sebagai 'orang baik'. Ia tidak punya musuh dan tidak ada sekelompok orang yang rutin membicarakannya di belakang. Tapi Arya sendiri tidak pernah merasa benar-benar 'baik'. Semua karena kumpulan suara-suara ramai dalam kepalanya sendiri.
***

"Terima kasih ya, Dik," ibu hamil itu tersenyum lebar kepada Arya, seraya menduduki kursi kosong yang tadinya tempat Arya.

"Sama-sama, Bu," kata Arya sambil balas tersenyum.

Lalu, seperti biasa, suara-suara ramai memenuhi pikirannya:
Hei, lihat tuh. Cewek itu ngeliatin loe dengan pandangan kagum. Pasti dia pikir, Wah baik banget nih cowok. Jarang-jarang ada yang kayak gitu.
Alah, jangan pura-pura tidak tahulah...
Memang reaksi seperti itu kan yang loe harapkan?
Alah... akui, ayo, akui: loe haus pujian.
Kalau suatu hari loe harus berbuat baik tanpa ada penonton, bagaimana, coba?
Kalau bahkan orang yang loe tolong nggak kenal sama loe, bagaimana?
...
Ah, mungkin loe tetep bakal 'baik', ya, paling tidak loe dapat pujian dari diri loe sendiri kan? Hi hi hi...
Ha ha ha.
Baik apa munafik, tuh?
Tulus apa bulus, tuh?
He he he.
***

Arya menutup matanya, memakai head set dan bernyanyi keras-keras. Kadang-kadang musik bisa menutupi suara-suara berisik itu.

Reply