Percakapan (4)

On Senin, 06 Juni 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?"

Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini tidak begitu bagus. Tapi kerutan-kerutan di wajah si nenek masih terlihat dengan jelas. Jutaan kerutan membentuk sebuah senyum bersemangat.

"Saya--eh," kemampuannya untuk berbicara belum banyak berkembang. "Tidak--saya tidak. Em, maksud saya--anu. Dia, Bu, yang--itu."

"Oh! Perempuannya yang menyatakan--?"

Tersipu malu, ia menggangguk (lalu kepalanya tetap tunduk), "Iya, Bu."

"Oh!" Nenek itu kelihatannya senang sekali. Dengan anggun dan tanpa suara ia menepukkan tangan di samping kepala. "Gadis berani!"

"Iya, dia memang begitu, Bu," si pria muda tersenyum kecil melihat antusiasme nenek itu.

"Lalu? Yang mengajak kencan pertama siapa?"

"Eh--dia juga, Bu," pria itu tertawa kecil. Masih merasa aneh dia, secara tiba-tiba ditanyai begini tentang kisah yang sudah tinggal senyata mimpi. Tapi, entahlah, menyenangkan juga.

"Hei," si nenek menatapnya hangat. "Kamu senyum-senyum sendiri. Ayo, bagikan juga kisah itu denganku, dong!"

"Ah, ya," pria itu tertawa ringan. "Jadi... em. Yah, waktu itu kami jalan-jalan ke kota..."

Gambar demi gambar muncul di ingatannya seraya ia bercerita. Hamparan sawah hijau, pasar, jalan-jalan di kota, pasar malam, kebaya Fitri, motor barunya--sampai ke bagian-bagian yang tidak ia sukai. Kepergiannya ke Jakarta, kepergian Fitri ke Malaysia, perpisahan mereka, pernikahan Fitri...

Suaranya mengecil sambil ia terus bercerita. Tanpa sadar ia sudah memandang ke jendela yang belum ditutupnya. Ke langit hitam yang tanpa cerita. Seakan potongan-potongan kisahnya sedang ditampilkan di sana.

"Dan dia pergi, deh," katanya sambil menerawang. "Eh--! Duh--Maaf, Bu! Saya kok jadi keasyikan curhat," pria tersebut menggaruk kepalanya. Entah mengapa, menceritakan apa yang tidak pernah ia ceritakan--tapi sebenarnya ingin ia muntahkan, ternyata menyenangkan. Paling tidak, sekali ia memulai, sulit sekali mengakhirinya.

Si nenek masih tersenyum. Matanya terpejam. Mendengarkan suara pria medok itu berbicara seakan ditidurkan oleh musik klasik.

"Bu, sudah saja," pria itu tersenyum. "Em. Terima kasih banyak, lo, Bu, mau ngedengerin saya."

Nenek itu masih diam. Wajah itu tenang sekali. Jutaan keriput di wajahnya bekerja sama menggariskan sebuah senyum yang damai. Bahkan matanya yang tertutup pun tersenyum.

"Bu?"

...

"Bu?"

...

"B--Astaghfirullah! Innalillahiwainnailaihirojiun!"

***

Di pojok sebuah perpustakaan tua di tengah kota, ruh seorang wanita meninggalkan raganya. Di samping raganya, seorang pria muda berdiri, lemas, emosinya tidak bisa ia jelaskan. Kaget? Pakai ditanya, ya iya. Sedih? Hm... Yah, rasanya seperti kehilangan seorang teman. Atau mungkin hanya seperti bangun dari sebuah mimpi. Pikiran macam-macam juga memenuhinya: mungkinkah salahnya si nenek mati? Wanita itu mati diiringi kisah cintanya yang remeh... Bisakah orang benar-benar "mati bosan"? Konyol. Tentu karena dia sudah tua.

Entahlah. Yang jelas, ia tidak pernah tahu sampai bagian mana si nenek mendengarkan kisah cinta lama itu. Hanya sampai bagian jalan-jalan ke kota? Atau sudah sampai ketika mereka dia punya motor bebek? Sudah sampai ke bagian mereka berpisahkah...? Tidak tahu.

Tidak pernah tahu.

Tidak perlu tahu.

***

"Kamu pernah jatuh cinta, Nak?"


...

"Baiklah. Ceritakan padaku bagaimana."

--bersambung-sambung,
tapi lagi nggak nyambung,
Bung.
Lagi-lagi nggak nyambung?
Nggak lagi nyambung-nyambung!

2 Responses to “Percakapan (4)”

Comments

  1. Anka says:

    "...kisah yang sudah tinggal senyata mimpi..." SABI SIH BRE (Y) eh cara unfollow blog gimana sih

  2. Hahahahaha. Aduh maafLAH. Jadi geli ane. Coba tanya interenetoooo

Reply