Percakapan (3)
On Rabu, 01 Juni 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
Reply
"Eh... Waduh, bagaimana ya, Bu..."
Perpustakaan itu sudah mau tutup dan tidak begitu banyak orang di sana. Pria payah itu hampir bisa mendengar hembusan angin sore yang masuk dari satu-satunya jendela yang belum ditutup, menyelip di sela buku-buku tua.
Dan nenek tua itu masih saja memandangnya lekat-lekat, menunggunya melanjutkan cerita.
"Aduh, sudah lama sekali, Bu, itu ceritanya," kata si pria muda dalam gagapnya.
Di luar duganya, nenek tua malah tertawa ringan. Tawanya nyaring. Terpikir sekilas di benaknya yang beku, Nenek ini pasti dulunya cantik.
"Selama apa, sih," balas si nenek santai. "Palingan juga masih tuaan saya dibanding ceritamu, Nak."
"Eh--yah..."
Nenek itu tersenyum. Lalu ia menaruh kaki kirinya di atas yang kanan, dan kedua tangannya di atas lutut kirinya. Entah maksudnya apa, tapi gerakannya membuat si pria muda salah tingkah. Bahkan di umur seribuan seperti ini, nenek ini masih mempesona, pikirnya. Berbahagialah para pria kaya bangkotan yang menghabiskan masa muda bersama wanita ini.
"Begini, deh," kata si nenek, masih dalam senyumnya yang menawan. "Namanya siapa?"
"Hah?"
"Kamu jatuh cinta sama siapa?"
"Waduh..." Lalu, entah bagaimana, dimuntahkannya juga nama yang sudah berlumut di kepalanya selama bertahun-tahun, "Fitri."
"Hmm," si nenek tersenyum lebih lebar. Sepertinya dia senang. "Si Fitri ini seumuran denganmu?"
"Eh--kakak kelas dulu, waktu di SMA," seperti gagu dia, tapi toh tetap menjawab.
"Wala, oudere vrouwen!"
Sementara si nenek terlihat makin senang, pria tersebut makin bingung. Lalu--entah karena kharisma si wanita tua atau kelemahan si pria muda--cerita cinta antara dua orang remaja di suatu desa di Jawa Timur pun berlanjut.
Perpustakaan itu sudah mau tutup dan tidak begitu banyak orang di sana. Pria payah itu hampir bisa mendengar hembusan angin sore yang masuk dari satu-satunya jendela yang belum ditutup, menyelip di sela buku-buku tua.
Dan nenek tua itu masih saja memandangnya lekat-lekat, menunggunya melanjutkan cerita.
"Aduh, sudah lama sekali, Bu, itu ceritanya," kata si pria muda dalam gagapnya.
Di luar duganya, nenek tua malah tertawa ringan. Tawanya nyaring. Terpikir sekilas di benaknya yang beku, Nenek ini pasti dulunya cantik.
"Selama apa, sih," balas si nenek santai. "Palingan juga masih tuaan saya dibanding ceritamu, Nak."
"Eh--yah..."
Nenek itu tersenyum. Lalu ia menaruh kaki kirinya di atas yang kanan, dan kedua tangannya di atas lutut kirinya. Entah maksudnya apa, tapi gerakannya membuat si pria muda salah tingkah. Bahkan di umur seribuan seperti ini, nenek ini masih mempesona, pikirnya. Berbahagialah para pria kaya bangkotan yang menghabiskan masa muda bersama wanita ini.
"Begini, deh," kata si nenek, masih dalam senyumnya yang menawan. "Namanya siapa?"
"Hah?"
"Kamu jatuh cinta sama siapa?"
"Waduh..." Lalu, entah bagaimana, dimuntahkannya juga nama yang sudah berlumut di kepalanya selama bertahun-tahun, "Fitri."
"Hmm," si nenek tersenyum lebih lebar. Sepertinya dia senang. "Si Fitri ini seumuran denganmu?"
"Eh--kakak kelas dulu, waktu di SMA," seperti gagu dia, tapi toh tetap menjawab.
"Wala, oudere vrouwen!"
Sementara si nenek terlihat makin senang, pria tersebut makin bingung. Lalu--entah karena kharisma si wanita tua atau kelemahan si pria muda--cerita cinta antara dua orang remaja di suatu desa di Jawa Timur pun berlanjut.
--bersambung
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia