Presisi

On Sabtu, 29 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Mobil putih itu melaju dengan cepat, tidak memedulikan mobil-mobil di sekitarnya. Tiga orang di sampingku hanya duduk diam; aku tidak bisa menebak apakah mereka ketakutan atau sudah terbiasa. Ketiganya memasang wajah tak bergeming, memegang erat bawaan masing-masing.

Lalu aku melirik kepada lelaki berwajah marah yang menentukan hidup-mati kami saat ini: sang supir. Raut wajahnya serupa pembunuh berdarah dingin... Menyetir tanpa memedulikan nyawa empat orang di belakangnya. Apakah dia sengaja membuatku takut setengah-mati seperti ini?

Tidak. Aku tidak boleh takut. Aku harus tetap fokus. Ini adalah permainannya, tapi aku tidak boleh kalah. Sebentar lagi akan tiba saat penentuan. Aku sudah mulai melihat gedung-gedung yang familiar... Jalan-jalan yang kulalui tiap hari...

Sebentar lagi.

Tanganku berkeringat. Badanku condong maju dan mataku menyipit penuh konsentrasi...

Aku harus mengatakannya tepat pada waktunya. Memperkirakan percepatan tiba-tiba yang akan dilakukan si supir kejam tepat di belokan. Memperkirakan jeda yang dibutuhkan mobil bobrok ini untuk benar-benar berhenti.

Sebentar lagi...

"Kiri!"

Mata itu melirikku dari spion. Ia berdecak dan menginjak remnya. Mobil putih itu melambat... melambat... dan akhirnya berhenti. Tepat di depan pintu rumahku.

Aku tersenyum bangga, turun, dan membayar.

catatantambahan: dibuat tanggal 29, besoknya ditaruh di sini.

Reply