laripagi

On Selasa, 18 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Kurang-lebih tiga kali dalam satu bulan dia pergi ke taman kota di dekat rumahnya. Biasanya saat itu pukul tujuh pagi di hari Sabtu, saat kantornya libur. Dia akan mengenakan kaus dan celana pendek yang nyaman, rambut panjangnya diikat asal. Tas, telepon genggam, dan dompet yang biasanya dibawa kemana-mana, ditinggalnya. Dia hanya membawa beberapa uang receh di kantungnya dan sebuah handuk kecil. Dia akan berlari pagi.

Dia selalu mengawalinya dengan berdiri diam di tengah jalur lari pagi itu. Diperhatikannya pohon-pohon yang menjulang tinggi dan sebuah gerobak bakso di sebelah kirinya. Penjajanya sedang membersihkan piring sambil bersiul. Seorang rakyat biasa, penjual bakso, yang hidup di kota Jakarta; seharusnya orang itu punya beragam masalah. Tapi saat ini dia terlihat begitu tenang, membunyikan nada yang tidak jelas sambil mengelap piring-piring murah.

Lalu dia mulai berlari. Si tukang bakso dan gerobaknya tertinggal di belakang.

Dia--dalam kata kerja yang sederhana--suka berlari pagi. Lebih daripada alasan-alasan kesehatan, dia menikmati kegiatan ini. Ada perasaan bebas dan tenang saat ia berlari di antara sinar matahari pagi dan udara yang lembab. Meskipun kedua kakinya terus bergerak, sebenarnya dia justru sedang berdiam saat berlari. Dia mengamati sebuah keluarga yang sedang duduk di tengah taman. Sambil melewati mereka, dia menghitung: ayah, ibu, dan empat anak. Kira-kira repot tidak ya, mengurus empat anak seperti itu?

Dia terus berlari. Masalah memang masih terus mengomel di dalam otaknya; tapi saat dia berlari omelan mereka menjadi lebih samar. Lebih tidak berkuasa, ia mengambil kesimpulan sambil melewati tiga orang anak dekil kecil yang sedang bermain layangan. Yang satu berusaha menghindarkan layangannya dari sebuah pohon kelapa sementara yang dua lainnya tertawa keras-keras. Dia mempercepat langkahnya melewati mereka.

Dia masih sadar akan keadaan beban-beban pikirannya itu. Mereka memang tetap ada di sana, tapi rasanya mereka tidak begitu penting saat dia berlari. Yang lebih penting adalah gerakan konstan kedua kakinya, gerakan mengayun rambut panjangnya. Yang lebih penting adalah angin lembut yang terus menyambut wajahnya. Yang lebih penting adalah orang-orang yang dia lewati saat ini; yang sedang terus bergerak dalam ketenangan mereka sendiri-sendiri. Dia berlari menyusul seorang bapak tua yang bernafas dengan keras.

Saat ini dia tidak begitu peduli tentang pekerjaannya yang masih menumpuk. Saat ini dia tidak begitu peduli tentang adiknya yang terus-menerus minta uang untuk alasan yang tidak jelas. Bahkan saat ini dia tidak peduli bahwa dua hari lalu tunangannya--mantan, membatalkan niat untuk menikah. Saat ini, yang akan berlangsung selama satu jam lebih sedikit, mungkin dia sedang secara harafiah "berlari dari kenyataan".

Dia terus berlari; mengikuti jalur yang sedikit menanjak, berbelok, lalu sedikit menurun. Menaiki tangga beranak dua, melewati pohon-pohon cemara. Menendang sebuah batu kecil sambil terus berlari. Mengamati dua ekor kupu-kupu berwarna kuning. Merentangkan tangannya lebar-lebar dan bermain dengan angin.

Akhirnya, ia memelankan langkahnya dan mulai berjalan. Seorang tukang bakso berdiri di sebelah kirinya; gerobaknya penuh uap beraroma kaldu. Satu putaran sudah.

Reply