Ujian Sudah Selesai

On Rabu, 05 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Erin selalu selesai pertama--ia memang cerdas dibandingkan teman-teman sekelasnya. Biasanya, ia selesai dua puluh menit lebih dulu daripada rata-rata. Tapi Erin tidak pernah keluar duluan. Ia tidak suka ada puluhan mata melihatnya mengumpulkan kertas dan mengambil tas dan keluar. Ia tidak suka tatapan heran dan iri itu.

Erin menggambar bunga (matahari?) di pojokan kertasnya.

Bosan juga, pikirnya. Erin menengok ke belakang (ia selalu duduk di barisan depan supaya tidak dicontek) dan melihat teman-temannya sekilas. Semua kepala menunduk. Serius mengerjakan, serius berpikir, serius menguap. Tampaknya belum ada yang selesai. Paling sebentar lagi Rumi selesai. Rumi juga cepat kalau mengerjakan, tapi dia selalu mengecek jawabannya berkali-kali sebelum mengumpulkan.

Erin menghapus bunga matahari yang digambarnya di pojokan kertasnya.

Bu Ratna duduk di depan kelas, mengamati murid-muridnya dengan ekspresi datar. Bu Ratna jarang mengubah mimiknya. Bahkan waktu Tari anak IPS itu meninggal, Bu Ratna terlihat biasa saja. Hanya sekali Erin melihatnya berseru kaget--saat ada tikus masuk ke kelas. Teriakannya besar dan suaranya rendah. Seluruh kelas ikut kaget waktu itu, Erin masih ingat jelas.

"Hacih!" Bu Ratna bersin. Bersinnya juga keras sekali. Seluruh kelas melonjak. "Hacih!" Bersinnya juga tidak pernah hanya sekali. "Hacih!"

Ada yang tawa tertahan di belakang sana. Itu pasti Fahmi. Fahmi selalu tertawa. Padahal anak-anak lain tidak ada lagi yang menganggap lucu: Bu Ratna bersin: itu sudah biasa. Fahmi ini selera humornya rendah, pikir Erin. Kadang-kadang memang tawanya dibutuhkan, tapi lebih sering ia tergolong kategori mengganggu. Erin sendiri paling tidak suka tipe yang seperti itu. Yang selalu tertawa dan berbicara keras-keras seperti itu.

"Rin."

Bisikan. Erin menoleh kaget. Itu Sasa.

"Pinjam tip-ex dong."

Erin mengulurkannya pada Sasa. Sasa tidak pernah berbicara padanya kalau tidak perlu apa-apa. Sasa bukan anak yang jahat dan dia tidak menyebalkan. Dia ramah. Tapi tidak terlalu ramah pada Erin. Tidak jahat juga. Hanya mungkin dia menganggap Erin tidak ada. Erin juga menganggap Sasa tidak ada. Masalahnya, agak sulit menganggap Sasa tidak ada. Dia ketua OSIS. Dan dia selalu berbicara di depan kelas dan yang dia bicarakan biasanya penting.

"Yang sudah selesai, boleh keluar," Bu Ratna berkata, datar. Erin menoleh ke Rumi. Badan kurusnya duduk tegak di kursi, membalik lembaran-lembarannya dengan santai. Sepertinya sebentar lagi dia selesai. Erin baru mau keluar kalau sudah ada yang keluar duluan. Menjadi nomor dua tidak seburuk nomor satu. Nomor satu terlalu mengerikan.

Terdengar suara kursi. Kevin maju. Oh, dia mau mengum--tidak, dia mau minta kertas lagi. Erin mengamati Kevin mengambil kertas dan balik lagi ke kursinya di barisan belakang. Erin selalu ingin mengobrol dengan Kevin. Tidak tahu kenapa. Dia tidak tampan; wajahnya terlihat mengantuk dan tidak fokus. Sepertinya dia baik. Kevin pernah mengajaknya mengobrol, sekali. Waktu itu Erin datang pagi seperti biasa, sendirian di kelas, dan Kevin datang.

"Cepet banget loe," Kevin bersiul.

Erin hanya mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana cara mengobrol dengan anak laki-laki.

"Udah ngerjain PR, belum?" Kevin bertanya.

"Udah sih. Tapi ada yang belum," jawab Erin.

Lalu Kevin mengangguk dan meninggalkan kelas. Ia tidak minta contekan dari Erin. Beberapa menit kemudian, dia mencontek milik Adri. Adri itu teman dekatnya Kevin. Erin tidak terlalu suka dengan Adri. Dia gendut dan dia merokok.

Ada suara kursi berderit; itu Rumi. Dia berdiri, membetulkan letak kacamatanya dan maju untuk mengumpulkan. Puluhan mata mengamati tiap gerakannya. Kepala-kepala membuat gerakan yang sama. Rumi mengambil tasnya. Ada decak kagum dan siulan iseng di udara. Rumi keluar.

Erin memundurkan kursinya perlahan, berdiri, dan maju. Dengan cepat ia mengambil tasnya dan keluar. Sekarang Erin mau pulang. Ujian sudah selesai.

Reply