Abang

On Selasa, 11 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Sekolah Teladan memiliki tiga gedung utama: SD, SMP, dan SMA. Gedung SMA letaknya jauh dari rumah, tapi gedung SMP dan gedung SD bersebelahan dan letaknya hanya kira-kira dua puluh meter dari rumah. Biasanya, murid SD pulang jam dua belas dan murid SMP jam tiga. Tapi, hari Rabu adalah hari ekstrakurikuler bagi sebagian besar anak SD, jadi mereka juga pulang jam tiga. Hari ini hari Rabu; jadi aku dan adikku, Rivo, pulang bersama. Kami membeli es potong dan mengobrol tentang temannya yang adalah adik temanku. Perjalanan pulang itu singkat, sebentar kami sudah sampai.

"Bang," Rivo menggumam ketika kami sampai di depan pintu rumah.

Ia menunjuk ke arah pintu. Sepasang sepatu kets kumal, merah bergaris putih, terletak di depan pintu rumah kami. Nafasku tertahan sebentar. Ada sensasi fisik aneh yang agak mirip seperti yang aku rasakan kalau sedang mencapai titik tertinggi di jet coaster yang akan turun. Kami kenal betul sepatu itu--meskipun terakhir kali kami melihatnya adalah tiga tahun lalu.

"Abang pergi sebentar, Ga," waktu itu dia bilang begitu. Waktu itu malam hari, di kamar tidur kami.

Walaupun ia berpamitan denganku dan dengan Rivo, ia tidak pernah berpamitan dengan Ayah dan Bunda. Makanya Bunda menangis lama sekali setelah ia pergi. Ayah diam saja. Rumah jadi sangat sepi. Padahal, sebelum itu rumah ramai sekali. Hari-hari itu Ayah dan Bang Rangga sering berteriak ke satu sama lain. Bahkan, satu kali, Ayah melempar gelas sampai pecah. Aku juga ingin mencoba melempar gelas sampai pecah, tapi Bunda melarang.

Setelah beberapa bulan diam, Ayah mulai berbicara lagi. Sejak itu yang sering ia ucapkan adalah, "Jangan seperti orang itu." Hampir setiap nasehatnya berakhir dengan, "Jangan seperti orang itu." "Rega, sekolah yang benar. Mau jadi dokter atau arsitek ata olahragawan!, mungkin, terserah. Tapi jangan seperti orang itu."

Aku anak tengah dan Rivo anak bungsu. Tapi selama tiga tahun belakangan, aku menjadi anak sulung. Rivo tetap anak bungsu. Usiaku dan Rivo hanya berbeda satu setengah tahun. Usiaku dan Bang Rangga berbeda jauh. Aku baru lulus kelas lima SD saat dia pergi. Dia pergi setelah dia lulus SMA. Berarti kami berbeda tujuh tahun. Tujuh tahun waktu yang lama. Mungkin dia lebih suka tujuh tahun pertama itu daripada tahun-tahun setelahnya. Mungkin dia lebih suka sendirian daripada berdua. Apalagi bertiga. Kadang-kadang aku juga merasa lebih suka sendiri. Tapi aku tidak mau pergi juga karena aku aku takut Rivo merasa aneh seperti ini juga--lagi.

"Belajar yang bener, Ga. Jangan kebanyakan main," ia menyentuh jidatku dengan kepalan tangannya. Tangannya besar sekali. Sampai sekarang tanganku belum sebesar itu. Sepertinya tanganku tidak akan pernah sebesar itu. Setelah berbicara denganku, ia naik ke tempat tidur Rivo. Tempat tidur Rivo di atas tempat tidurku; kami memakai tempat tidur tingkat. Bang Rangga juga satu kamar dengan kami, tapi dia mendapat tempat tidur sendiri. Tapi itu bukan tempat tidur, itu hanya kasur yang diletakkan di lantai. Tapi aku lebih suka tempat tidurnya. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan dengan Rivo. Sepertinya lucu, aku ingat Rivo tertawa. Setelah itu dia turun dan dia duduk lagi di tempat tidurku.

Baru sekali itu aku melihatnya menangis.

"Jaga diri, Ga. Yang kuat, ya. Abang pergi sebentar aja, Ga." Air matanya jatuh di kausku. Seharusnya dia tidak boleh menangis karena dia laki-laki dewasa. Bahkan aku tidak menangis waktu itu. Aku baru menangis kira-kira seminggu setelah hari itu. Aku menangis karena aku baru sadar aku tidak tahu arti kata 'sebentar'. Aku dan Rivo sering melompat-lompat di kasurnya sampai hari dimana Ayah membawa kasur itu keluar kamar dan menaruh meja belajar kayu yang bagus sebagai gantinya. Ayah tidak mau mengembalikan kasur itu.

Aku menatap sepatu kets merah bergaris putih yang belel. Rivo juga menatap sepatu kets merah bergaris putih yang belel. Kami melepas kaus kaki dan sepatu kami dan menghabiskan es potong masing-masing. Rivo habis duluan. Ini tidak adil; biasanya aku habis duluan.

Aku membuka pintu.

Sebuah suara berat yang tercekat mengatakan, "Halo."

Reply