BALI

On Minggu, 09 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Ada sinar matahari terjatuh di sekelilingku, bergerak-gerak pelan tergantung awan. Yang menyambut mereka adalah bebatuan kelabu, pasir, dan genangan air. Ketiganya bermain bersama, melompat-lompat ke udara yang ikut senang. Di beberapa titik ada sesajen warna-warni yang terlihat cantik; seperti bunga di semak-semak. Jauh di sana, ada kaki langit yang tua dan bijaksana, membawahi lautan luas. Bunyi samar ombak terdengar. Ramai, tapi menyenangkan. Di antara semua itu aku berada dan tersenyum; bukan seperti kalau mau dipotret, tapi seperti ada yang melucu. Otomatis, aku tersenyum senang. Ingin nyanyi, rasanya.

Ini hari pertamaku di Bali; selama liburan satu minggu ini dan juga seumur hidup. Sudah lama aku ingin mengunjungi kota yang disebut surga ini, dan sekarang akhirnya aku ada di sini! Mengenakan kain pantai, kaus belel, kacamata hitam, tas selempang, sendal jepit, dan baju renang sebagai baju dalam. Aku merasa sangat Bali--

Tunggu. Ada yang kurang.

Aku memandang tangan dan kakiku yang polos. Ah, tentu saja, gelang-gelang! Dari dulu, teman-temanku membelikan gelang, "oleh-oleh dari Bali". Sekarang aku di sini, tentu saja aku harus membeli satu. Gelang kulit, gelang kayu, gelang kaki... apalah.

"Tatonya, Dik?"

Aku menoleh. Seorang pemuda kurus, hitam terbakar matahari, berambut pirang yang sangat palsu, sedang nyengir kepadaku. "Kasih murah, Dik." Ia memegang sebuah buku bergambar contoh-contoh tato.

"Oh, nggak, Mas, 'makasih," kataku sambil mengangguk sopan.

Oh. Pasir--ternyata aku sudah sampai di pantai. Kata Bibi memang banyak sekali penjual seperti ini di Pantai Kuta. Dengan waspada aku mengamati sekeliling. Mereka ada dimana-mana rupanya; pemuda kurus, hitam, dan berambut pirang.

"Kukunya mau diwarnai, Dik?" Sekarang ibu-ibu, ia menunjukkan kukunya yang ungu dan bergambar bunga-bunga putih. Topinya bundar dan lebar; ia membawa sebuah keranjang berisi cat kuku warna-warni.

"Oh, nggak, Bu..."

"Ini, bagus, lo. Cantik, ini warnanya, cantik," ia mulai mengeluarkan beberapa botol cat kuku. Merah, ungu, hijau. "Cantik, Dik."

"Eh, aduh, nggak usah, Bu. 'Makasih..."

"Murah, Dik... Ayolah," ia berhenti mengeluarkan botol-botol dan memasang wajah melas. "Pelaris, Dik... Tak kasih murah."

"Eh..." aku bimbang. Lucu juga sih kukunya. Dan sangat Bali.

Belum selesai aku berpikir, seorang orang ibu-ibu mendatangi kami. Lalu bertambah lagi seorang. Lalu bertambah lagi seorang. Sekarang ada semacam kerumunan kecil di sekitarku; semuanya ibu-ibu berwajah melas yang membawa dagangannya masing-masing.

"Tato, Dik, cantik ini. Yang naga, laku ini. Mau, Dik?"

"Ini, baju, Dik. Cantik ini, yang putih, Dik."

"Gelang, Dik. Pelaris, ayo, dikasih murah, Dik," itu kata seorang ibu tua bermuka melas.

"Eh," aku terbata. "Mana liat, Bu, gelangnya."

"Ini, Dik," semangat sekali ia menunjukkan dagangannya, membuatku merasa salah ngomong. "Ini, kulit asli ini. Saya bikin sendiri."

Ah, memang seperti yang aku inginkan. "Ih, lucu," ujarku. Pedagang yang bersangkutan terlihat semakin membara.

"Kasih murah, Dik."

"Berapa, Bu?"

"Dua puluh lima."

Aku memicingkan mata. Teringat semua nasihat Bibi. "Tawar paling nggak sepertiganya!" Tidak mungkin gelang kulit kecil ini berharga dua puluh lima ribu rupiah.

"Mahal amat!" aku berseru.

"Bisa kurang, maunya berapa, Dik?"

"Saya kira lima ribuan."

"Ya, nggaklah, Dik!" ganti dia yang berseru. "Modalnya aja belum dapet itu. Kulit ini, Dik."

"Pasnya berapa, Bu?" aku mencontoh gaya ibu kalau belanja di ITC Mangga Dua. "Kasih murah, dong, Bu."

"Dua puluh, Dik."

"Ah, Bu," aku memandang gelang kulit itu. "Nggak bisa kurang, Bu?"

"Udah murah itu, Dik, beneran!" wajahnya memelas lagi. "Dari pagi belum ada yang beli... Ini buat pelaris..."

"Aduh. Saya... lihat-lihat dulu, deh." Begitu kata Bibi. Ditinggal saja dulu.

"Maunya berapa, Dik?" ditahannya lenganku.

"Dua puluh dapat dua."

"Kalau kulit ya nggak bisa, Dik..."

Aku menimbang. "Ya sudah, satu kulit, satu nggak."

Si ibu mengerjapkan mata perlahan dan mengambil napas. "Tiga puluh, Dik. Udah saya kasih murah itu. Kalau bule belinya mahal itu."

Aku memandangnya.

Ia memandangku.

"Eh, ya sudah deh, Bu."

Aku mengeluarkan tiga puluh ribu dan membayar. Ia mengucapkan terima kasih dan membawa wajah memelasnya pergi. Aku pakai gelang itu dan merasa sangat Bali.

"Nina! Kemana aja?" Itu Yayuk, kakak perempuanku. "Makan yuk, Nin, udah siang," ia menyeretku ke restoran murah terdekat dan kami makan. "Beli gelangnya berapa itu?"

"Tiga puluh dapat dua," jawabku.

"Hah!? Berapa?"

Nafsu makanku hilang. "Eh... tiga puluh, dua--"

"Niiiin. Itu mah, yah... Lima ribu, deh! Paling mahal!"

Aku cemberut di sepanjang jalan kembali ke hotel. Sinar matahari sangat panas. Batu dan pasir pun ikutan panas. Dan ada air becek mengotori kakiku. Dimana-mana ada sesajen warna-warni yang baru saja diinjak orang atau dilindas motor. Turis-turis berbaju mini dan berkeringat memenuhi jalan yang sempit.

Jauh di sana, si ibu tua sedang tersenyum kecil dan berkata, "Nothing personal, it's only business."

Reply