Benar-Benar Sunyi Senyap

On Senin, 10 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Sepi. Gelap. Tak terdengar dan tak terlihat. Hanya nafasku sendiri, yang tidak terengah tapi terdengar tak nyaman. Apakah aku sendiri? Sulit untuk menilai, dalam kegelapan yang menusuk batin ini. Aneh sekali... Sendiri seperti ini. Sudah lama aku tidak pernah sendiri begini. Kesendirian yang menusuk batin --

Tidak, tidak. Tadi kata batin sudah dipakai. Hmm...

-- Kesendirian yang menusuk jiwa. Bahkan raga. Lama-lama tulang-tulang ini pun --

Ah. Dua kata ulang bersebelahan, kok rasanya salah, ya?

-- Seiring waktu, tulang-tulang ini pun ikut merasa kesepian.

Nah, lebih baik.

-- Sepi ini lama-lama mengerikan. Kegelapannya menggerogoti tiap bagian tubuhku. Ingin menangis, tapi rupanya air matapun enggan menemani. Sendiri... sendiri... sendiri... Dalam ngeri aku mencoba melangkah. Satu langkah penuh ketidaktahuan dalam gel --

"Mau minum apa, Mas?" suara cempreng pelayan wanita berkuncir tinggi itu agak mengagetkan. Oh, iya. Aku belum pesan minum.

"Oh, emm. Teh botol aja, Mbak."

Sampai mana tadi? Oh, iya,

-- dalam gelap. Tap. Satu langkah ini aku masih aman. Tapi apakah begitu juga dengan langk --

"Mas, teh botolnya nggak ada!"

Argh. "Eh, ya udah, teh angetlah!"

-- langkah selanjutnya? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang dapat menjamin. Kesendirian ini, sekali lagi kutegaskan, begitu menakutkan. Aku mengakui, aku tidak pernah menyukai keramaian. Suara berisik orang-orang di sekitarku itu seperti lalat. Dan aroma tubuh mereka seperti bau tahi. Mengganggu, itu pendapatku terhadap ramai. Tapi, saat ini, begitu dihadapkan dengan sepi yang sesungguhnya, aku benar-benar berharap ak --

"Nih," pelayan cempreng meletakkan satu gelas teh hangat, tepat di antara aku dan laptop. Gila orang ini, apa dia tidak bisa melihat seniman sedang bekerja? "Makannya, nggak, Mas?"

"Nasi goreng, deh," jawabku, menyadari perut yang keroncongan.

Ini bukan kali pertama aku datang ke kafe murah ini, hanya berdua dengan laptop. Tempatnya memang menyenangkan, banyak tanaman dan sinar matahari dibiarkan masuk sedikit-sedikit. Di sini, bagiku, inspirasi mengalir seperti sungai. Hanya saja, di hari Jumat seperti ini, tempat ini kadang agak terlalu ramai. Agak mengganggu inspirasiku sebagai penulis.

Contohnya itu: segerombolan orang baru saja masuk. Kira-kira ada enam orang. Semuanya perempuan, kecuali satu yang baru setengah perempuan. Tapi tampaknya ia nyaman saja dengan keadaan itu. Malah, ia terlihat paling nyaman. Dengan semangat ia berlari kecil ke meja di pinggir yang kursinya sofa, mengajak teman-temannya.

Eh, kan. Sampai mana?

-- aku benar-benar berharap akan bertemu dengan seseorang--siapa saja! Aku akan membayar apa saja, supaya seseorang menghampiriku saat ini. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau dia ternyata orang yang terberisik, termeny --

"Booook, loe mesti tau, deh!"

Siapa sih, yang bersuara sekencang itu di tempat umum!?

"Si Ajeng, Boook!" tentu saja, si setengah-lelaki sedang melotot ke arah kelima temannya yang ikut melotot sambil memegang rambut panjang mereka (ada dua yang dicat cokelat, dan satu dicat merah), atau Blackberry masing-masing. Lalu, dengan suara yang "dikecilkan" ia melanjutkan, "Hamil!"

"Haaaaaah...?" lima orang perempuan kompak mengangkat tangan mereka yang baru dimanikur, memasang wajah seperti Twiggy. Kaget, tapi imut. "Yang bener, ah, Ji?"

Aku menghela nafas. Ah, sepertinya aku harus beradaptasi. Ya, sudah.

-- termenyebalkan, sekalipun. Asalkan saja jantungku tidak perlu berdegup sendirian. Asalkan saja pikiranku tidak khawatir sendirian. Asalkan saja hatiku tidak gelis --

"AAAAAAH! TIKUS!" salah seorang dari enam sekawan berseru nyaring, dengan kompak diikuti oleh yang lainnya. Oh, ramai. Sungguh amat sangat ramai sekali, dan aku tidak peduli bahwa sekarang aku menggunakan kalimat yang berlebihan. "AAAAAH!"

Jangan pedulikan, jangan pedulikan.

-- tidak gelisah sendirian. Asalkan saja ada sepasang mata lagi yang ikut melihat kegelapan ini --

"TIKUSNYA DI KAKI LOE! AAAH!"

-- dan kaki -- Eh, kok kaki. -- hidung yang juga mencium rasa sepi ini. Aku tidak tahan lagi, ini benar-benar --

"Jangan diinjek, lah, Ji...! Loe gila ya!? Nanti darahnya kemana-mana!!!"

-- benar-benar --

"AAAAAH!" yang berambut merah berseru.

"Usirin, dong, Mbak!" yang memegang Blackberry hijau berseru.

"Iya, iya," pelayan cempreng mengomel.

-- benar-benar -- Emm... apa, ya...

"DI KAKI GUE! DEMI APA!" setengah-perempuan menjerit.

"BISA DIAM, NGGAK, KALIAN SEMUA!?"

Itu aku. Itu tadi aku yang berseru. Ya, Tuhan. Aku sudah gila, ya?

Sunyi senyap. Semua mata memandangku. Perlahan, dengan muka yang sangat merah, aku duduk kembali. Oke. Tadi sampai di...

-- benar-benar -- Emm... --benar-benar--

Masih sunyi senyap.

Di luar kepala sunyi senyap.

Di dalam kepala juga, sunyi senyap.

Reply