Taksi

On Kamis, 13 Januari 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
Asep Surasep menurunkan jendela mobilnya dan bertanya, "Mau kemana, Mbak?"

Dua orang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh dan berpakaian minim serba-hitam baru saja melambaikan tangan mereka di tengah lautan lampu-lampu malam Jakarta. Salah satunya menjawab, "Ke Fatmawati dulu, Pak. Abis itu ke Puloraya."

Asep mengangguk dan kedua gadis itu masuk. Wangi parfum mahal langsung memenuhi taksi Asep. Mereka tidak jauh berbeda dengan remaja-remaja perempuan yang sering menjadi pelanggan Asep. Mereka semua cantik-cantik dan kurus, tidak bisa dibedakan satu dengan yang lain. Hanya saja, kali ini salah satu dari gadis itu rambutnya dicat merah menyala, sehingga dia terlihat berbeda. Jadi seperti tokoh komik-komik Jepang yang hanya bisa dibedakan dari rambutnya.

"Nyet, lo yakin banget ya, nggak mau ikut ke rumah Edo aja?" Asep melirik spionnya. Itu kata yang berambut merah menyala.

"Nggak, Di, sorry banget," jawab yang satunya, yang rambutnya hitam panjang. Yang ini cantik sekali, fitur wajahnya tidak ada yang salah. "Gue harus jaga rumah."

"Rumah juga bukan rumah loe, nyet."

'Nyet' menghela napas panjang. Setelah diam sebentar ia berkata, "Gini lo, Di. Gue kan, yah, istilahnya numpanglah di rumah Ratna. Dan gue nggak pernah bayar apa-apa, nggak bantu apa-apa juga padahal dia nggak punya pembantu... Kan nggak enak dong gue."

"Yah... Dia kan kakak loe!"

"Ya, tetep ajalah!" 'Nyet' memelankan suaranya. "...Mana gue belum dapet kerjaan lagi, kan."

Si rambut merah terdiam gelisah. Ragu, tapi tetap ngomong juga, ia berkata, "Balik aja ke rumah bokap...?"

"Nggak," diucapkan dengan tegas. "Nggak bakal."

Asep Surasep membelokkan taksinya sambil terus menguping. Asep selalu menguping pembicaraan penumpangnya. Banyak cerita-cerita menarik yang ia dapatkan, dan bisa jadi bahan obrolan yang seru dengan Emi. Atau dongeng tidur untuk Ujang dan Euis. Tapi ia jarang mengobrol dengan mereka, kecuali kalau perlu. Asep tidak pernah menimpali pembicaraan mereka, menurutnya tidak ada gunanya mencampuri urusan 'kalangan atas'. Tidak ada hubungannya dengan Asep.

Tiba-tiba ada lagu berisik terdengar. Rupanya telepon genggam 'Nyet'.

"Halo, Kak? ...Naik taksi. Hmm... Oh, oke, oke. Sip, bye." Ia menutup teleponnya. "Eh, Pak?"

"Ya?" Asep kaget diajak bicara.

"Nanti kakak saya mau pakai taksi Bapak, ya? Dia tunggu di Puloraya. Bisa kan?"

"Bisa, Mbak."

Hening lagi. Walaupun Asep tidak bisa melihat jelas, tapi sepertinya kedua perempuan itu sedang sibuk dengan telepon genggam masing-masing.

"Di, besok loe mau nemenin gue cari kado buat Ratna, nggak?"

"Ayuk," si rambut merah menjawab ringan. Asep bertanya-tanya apakah kedua orang ini tidak punya pekerjaan setiap harinya. "Ulang tahun ya dia?"

"Iya, lusa. Cariin yang bagus, ah." Diam sebentar. Lalu, dengan lirih dilanjutkannya, "Gue tuh sayang banget lo, sama Ratna, Di. Beneran deh. Kalo dia nggak ada, gue nggak tahu banget mau ke mana, mau ngapain."

Diam lagi. Lalu dengan suara keras si rambut merah berseru, "Ah, Ratih, loe jangan mellow gini dong, nyeeeet!" Oh, namanya Ratih.

Ratih tertawa. "Ya udah, ah!" katanya. "Bentar lagi nyampe, tuh. Jangan nangis, ntar maskara lo bleber, gila."

Si rambut merah buru-buru mengambil cermin kecil. "Tapi ya, Tih," katanya sambil membetulkan riasan wajahnya. "Loe rugi banget, lo. Gue denger-denger si Tio dateng kan tuh?"

"...Iya. Udah lah, ya."

"Katanya sih baru putus. Terus, katanya sih, nyariin loe. Ih, mapan banget kali tuh cowok, nyet!"

"Ah, udah, ah, berisik loe!"

"Mbak, Fatmawatinya sebelah mana, ya?"

"Oh iya, ini, Pak." Si rambut merah menjelaskan jalan. Mereka sampai ke sebuah rumah yang ramai dan si rambut merah pun turun. Sepanjang jalan menuju Puloraya Ratih diam saja, kecuali waktu mengangkat telepon dari kakaknya sebentar ("Iya, bentar lagi nyampe, Kak."). Lalu mereka pun sampai dan Ratih turun.

"Nih, Pak," ia memberikan uang. Tip tiga ribu rupiah. "Makasih ya, Pak. Tunggu bentar."

Asep mengangguk. Rumahnya tidak terlalu besar. Kecil, tapi menyenangkan sepertinya. Asep sendiri masih mengontrak, belum punya rumah sendiri. Sebentar lagi Ujang masuk SMA, sepertinya Asep akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada beli rumah.

Dua orang perempuan keluar dari rumah. Yang satu wajahnya mirip Ratih--ini pasti kakaknya, dan yang satu rambutnya cepak, seperti lelaki. Kenapa sih, kakak beradik ini senang berteman dengan yang rambutnya aneh-aneh? Asep pikir, dia tidak akan mengizinkan rambut Euis dicat merah atau dicepak. Kalo si Ujang sih nggak apa-apa, mau dicat merah, mau dicepak, mau dicat merah dan dicepak, juga...

"Kemang, Pak," kata Ratna sambil masuk ke dalam mobil.

Meski rambutnya seperti laki-laki, si rambut cepak ternyata tidak seperti laki-laki. Suaranya cempreng dan dia cerewet sekali. Sepanjang perjalanan ia mengoceh.

"Adik loe cantik, ya, Rat. Kayak model, sumpah," katanya. "Ih, kapan deh, gue sekurus itu."

"Ha! Yah," Ratna mendengus. "Kalo loe berhenti kerja dan udah nggak punya kerjaan lain selain ngurusin penampilan loe, kali ya..."

"Hah? Emang dia nggak kerja? Umur berapa sih?"

"Dua lima," Ratna menghela nafas panjang. "Adik gue tuh, ya, aduh banget, deh. Kerjaannya main melulu!" Kata 'main' diucapkannya dengan panjang dan menekan, terdengar seperti "mayiiiiiiiiiiin..."

"Oh, parah, ya, Rat?"

"Ya, gue diem aja, deh," kata Ratna. "Udah nyaris sebulan nih, dia di rumah gue. Nggak ikutan bayar, nggak kerja juga karena pergi-pergi terus kerjaannya... Nggak taulah gue."

"Yah, tapi kan dia adik loe, Rat..."

"Ck, tau, deh," Ratna terdiam lama. "Kadang gue ngerasa, satu-satunya alasan gue ngebiarin dia semena-mena numpang gini, ya, karena itu. Karena dia adik gue. Kayak, beban gitu, lo. Kalo gue nggak punya hubungan darah sama dia, nggak bakalan deh gue mau berurusan sama cewek manja gitu! Gue kan paling geregetan sama yang kayak gitu."

Asep Surasep sudah enam belas tahun menjadi supir taksi. Ia punya istri yang baik bernama Emi dan dua anak bernama Ujang dan Euis. Asep Surasep punya prinsip, bahwa ia tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi 'kalangan atas'. Ia hanya akan menjadi pendengar kisah mereka saja.

Meskipun saat ini lidahnya gatal sekali, tapi Asep Surasep diam saja.

One Response to “Taksi”

Comments

  1. Anka says:

    aviaviaviavi gua suka banget loh sama nyang ini hahahaha gue sampe khusus buka lagi :P

Reply