Pembawa Berita (1)
Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, kali ini juga aku tidak dipersilakan masuk. Ria hanya memandangku sekilas tanpa membuka pagar, membelakangiku, dan pelan-pelan berjalan masuk ke rumahnya. Tapi aku mengerti bahwa ia sedang mengisyaratkan aku untuk ikut masuk.
“Pakde di mana, Ri?”
“Pakde,” Ria mengulang kata itu pelan-pelan. “Ke luar negeri seminggu ini, Jo.”
“Oh. Oke.”
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Rumah sepupuku ini begitu luar biasa. Sekilas memang terlihat seperti rumah biasa, tapi kalau dilihat lebih rinci, kau akan menangkap hal-hal yang tidak biasa. Di rumah ini, hampir semua perabotannya dibuat sendiri oleh Ria. Peralatan makan, kursi, meja, tirai, karpet, dan teralis jendela... semuanya tidak mengikuti standar toko yang biasa.
“Minum, Kak?” Ria menatapku dengan mata yang tidak bisa dibaca. Ramah, tapi tidak juga. Disodorkannya mug buatannya sendiri, yang berwarna merah menyala, kepadaku.
“Boleh. Terima kasih.”
Sambil duduk di sofa yang tidak terlalu nyaman, aku menatap Ria dengan latar belakang dinding yang ia cat sendiri. Ia terlihat begitu cocok dengan semua ini. Rasanya tidak tega aku memberi tahunya kalau Pakde sudah menjual rumahnya.
(bersambung)
Kutunggu Sepuluh Tahun Lagi
Sebuah tangan berwarna cokelat tua melambai-lambai padaku dari salah satu kursi. Aku menyelinap di antara teman-teman lain, sambil mencium bau keringat mereka, dan duduk di sebelah si pelambai. Bus ini begitu padat—kurasa kapasitasnya kurang. Sekolahku memang agak pelit.
“Tadi lo ke mana?” Fina bertanya. Nafasnya masih terengal-engal. “Abis dari Rumah Hantu lo nggak kelihatan lagi?”
“Nggak tahu,” jawabku singkat, juga terengal. “Kepisah aja gitu.”
Kira-kira setengah jam kemudian, bus yang tadinya ramai telah menjadi sepi. Kepala-kepala berjatuhan ke pundak-pundak. Orang-orang diam dan tertidur—bermimpi entah apa. Di tengah semuanya itu, aku masih terjaga. Bus berjalan dengna konstan, tinggi di atas mobil-mobil lain. Si supir ada jauh di depan sana. Aku rasa hanya dia dan aku yang terjaga.
Pikiranku melayang ke Jet Coaster dan Kora-kora. Ke tawa teman-teman dan becandaan yang semena-mena. Berlanjut, seperti sebuah film, semakin lama semakin lalu. Ke ujian-ujian yang luar biasa susah, ke study tour Yogyakarta, ke live in di suatu tempat di Jawa Barat, sampai ke perkenalan pertama yang canggung.
***
“Namanya siapa?”
“Jeje. Lo?”
“Fina.”
“Oh.”
...
“Eh, sori. Namanya siapa tadi?”
***
Ah, aku tersenyum haru. Aku mengerling ke temanku selama tiga tahun di SMP ini. Dia sedang tertidur di sampingku, rambutnya yang keriting terlihat seperti bantal baginya.
Kalian semua, aku menggumam dalam hati sambil memandang sekeliling. Kutunggu di reuni.
Tukang Kuntit
Kamar berukuran enam kali empat setengah meter itu benar-benar menggambarkan Tiara. Didominasi dengan warna kuning muda, sebuah gitar pemberian ayahnya, beberapa komik Jepang, dan beberapa novel berbahasa Indonesia. Di tempat inilah Tiara biasa mengurung dirinya, kalau memang tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Ia akan duduk di kursinya yang nyaman, menghadap ke monitor laptopnya dan tenggelam di sana.
Hari ini pun sama.
Karena tidak ada lain yang bisa diajaknya mengobrol, dihampirinya situs yang ia datangi hampir tiap hari dan diketiknya sebuah nama. Search. Muhammad Mukti... Mukti Reza... Adi Mukti... Bukan, bukan... Mukti Halim, bukan... Hmm... Nah, ini dia! Ah, fotonya tidak bisa dilihat, tapi wall-nya bisa. Dengan rajin ia mengeklik: Older posts, older posts, older posts. Oh, ada link ke tumblrnya! Wah, ternyata hari Selasa kemarin dia mulai membaca Nagabumi 1. Seru, nggak, ya? Sepertinya seru juga...
***
“ You're so cool. Mr Empty Backpack.”
“You know about my backpack?”
“I Googled you.”
“You did?”
“It's what us modern girls do when we have a crush.”
//Up in the Air
***
“Tiara,” sebuah suara bariton menegur.
“Eh, Mukti,” dibalas dengan kasual. “Kok belum balik lu?”
“Nantilah. Mager.”
Percakapan berlanjut; basa-basi bertumbuh menjadi lelucon dan berkembang menjadi tukar pendapat.
“Menurut gue sih dia asyik,” komentar Tiara tentang seorang guru baru. “PR-nya aja disuruh baca buku.”
“Iya, sih,” Mukti mengangguk. “Tapi bukunya kayak gitu... Kalo asyik sih, gue oke.”
“Eh, Nagabumi bagus, nggak?” celetuk Tiara.
Ada sesuatu di matanya—suatu kesadaran—sebelum menjawab pelan, “Bagus...”
Hening.
Penyesalan muncul di pihak satu, asumsi di pihak lain.
Salah siapa? Penguntitan hanya sejauh sebuah klik.
Sang Perasa
Hmm, asam dan sedikit rasa manis. Stroberi dari Lembang memang paling oke.
Kres.
Asamnya! Kiwi Australia itu khas sekali.
Kres.
Manisnya pas. Edi selalu tahu cara memilih mangga yang sudah matang.
Bagimana kalau kugabung semuanya? Kres, kres, kres.
Tiga rasa berpadu menjadi satu dalam pelukan saliva. Sungguh sensasi yang luar biasa.
Parno
tap
tap
tap
...rasanya ada yang membuntuti...
Tengok ke belakang!
Oh rupanya hanya bayangan.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia