Kutunggu Sepuluh Tahun Lagi

On Sabtu, 27 Agustus 2011 / By Gavrila Ramona Menayang / Reply
“Je, sini, Je!”

Sebuah tangan berwarna cokelat tua melambai-lambai padaku dari salah satu kursi. Aku menyelinap di antara teman-teman lain, sambil mencium bau keringat mereka, dan duduk di sebelah si pelambai. Bus ini begitu padat—kurasa kapasitasnya kurang. Sekolahku memang agak pelit.

“Tadi lo ke mana?” Fina bertanya. Nafasnya masih terengal-engal. “Abis dari Rumah Hantu lo nggak kelihatan lagi?”

“Nggak tahu,” jawabku singkat, juga terengal. “Kepisah aja gitu.”

Kira-kira setengah jam kemudian, bus yang tadinya ramai telah menjadi sepi. Kepala-kepala berjatuhan ke pundak-pundak. Orang-orang diam dan tertidur—bermimpi entah apa. Di tengah semuanya itu, aku masih terjaga. Bus berjalan dengna konstan, tinggi di atas mobil-mobil lain. Si supir ada jauh di depan sana. Aku rasa hanya dia dan aku yang terjaga.

Pikiranku melayang ke Jet Coaster dan Kora-kora. Ke tawa teman-teman dan becandaan yang semena-mena. Berlanjut, seperti sebuah film, semakin lama semakin lalu. Ke ujian-ujian yang luar biasa susah, ke study tour Yogyakarta, ke live in di suatu tempat di Jawa Barat, sampai ke perkenalan pertama yang canggung.

***

“Namanya siapa?”

“Jeje. Lo?”

“Fina.”

“Oh.”

...

“Eh, sori. Namanya siapa tadi?”

***

Ah, aku tersenyum haru. Aku mengerling ke temanku selama tiga tahun di SMP ini. Dia sedang tertidur di sampingku, rambutnya yang keriting terlihat seperti bantal baginya.

Kalian semua, aku menggumam dalam hati sambil memandang sekeliling. Kutunggu di reuni.

Reply