Cerita Lama
"Di mana?" kata pemuda itu melalui ponselnya.
"Deket," jawab suara di seberang.
Tak lama kemudian, datanglah ia yang ditunggu-tunggu. Perempuan itu seumuran dengannya, kira-kira 21 tahun. Rambutnya digerai sebahu dan ia memakai kacamata. Wajahnya masam.
"Aku nyasar barusan," katanya--merengek dia.
Tidak seperti keinginan si perempuan, pacarnya diam saja. Respon nol itu menciptakan keheningan yang aneh. Udara seakan terdiam karena salah tingkah.
"Ke mana sekarang?" tanya yang perempuan akhirnya.
"Terserah," jawab yang laki-laki, seakan telinganya baru saja kembali padanya.
Perempuan itu menghela napas. Ia mengingat beberapa bulan yang lalu. Di hari-hari yang menyenangkan itu, pria ini sudah menyiapkan segala sesuatunya kalau mereka jalan bersama. Lalu dia akan datang dengan wajah tersenyum, menantikan kejutan demi kejutan yang dengan tulus diberikan.
Ah, tapi itu cerita lama.
Kesayangan Baru
Kalung baruku oke sekali.
***
"Mana, ya? Nggak ada nih, Ta..."
"Aduh, tadi terakhir lu tinggal di mana?"
"...Lupa..."
Aku duduk di tengah kelas yang sudah nyaris kosong itu. Rasanya ingin menangis, tapi aku hanya bisa
m
a
n
y
u
n.
Tanya Kenapa
Salah. Ini juga salah. Yang ini juga bukan... Aah, kebelet pipis, nih--! $&^%*&!
Kenapa sih, anak kunci harus sangat mirip satu sama lain?
Catatan Sejarah
Buang, buang, buang... Oh?
Di tanganku ada sebuah buku berdebu. Buku tulis yang cukup tebal. Kubuka, dan mulai membaca catatan harianku sepuluh tahun yang lalu. Tulisan yang kekanak-kanakan dan memakai terlalu banyak tanda baca. Yang dibicarakan pun tidak penting. Untuk apa aku membicarakan kalungnya si Vera teman SD-ku itu?
Selesai membaca, aku agak ilfil dengan diriku di masa lalu. Kuambil tempat sampah dan siap membuangnya, tapi...
...
Kutaruh lagi di dalam laci. Karena itu catatan sejarah yang berharga.
Empat Saklar dan Aku
“Kak, tolong matikan lampu, dong.”
“Oke, Ma.”
Ada empat saklar berjajar di depanku.
Klik.
“Mia!” seru kakakku dari kamarnya.
“Eh, sori, salah.”
Klik.
“Heh!” ayahku terkaget dari mandinya.
“Eh, maaf.”
Klik.
...tidak terjadi apa-apa.
“Kak, mana?” itu Mama.
Klik.
“Oh, udah, Kak.”
Ampun. Padahal sudah tujuh belas tahun aku tinggal di rumah ini.
Harapan
Bermasalah dengan dosen di kamspu. Kalah debat reseh-resehan dengan teman. Dongkol.
Pulang, berhasrat membaca novel-novel yang sudah bertumpuk. Tapi entah kenapa malah membuka laptop dan mulai bermain internet. Keterusan, keterusan.
Tiba-tiba matahari sudah terbenam. Kesal. Mau mengerjakan tugas tapi mengantuk.
Aku mandi. Makan malamnya? Hm, padang saja, seperti biasa. Makan malam yang membosankan...
Lalu aku pergi tidur.
Besok ada hari baru. Sebuah misteri yang masih bersih.
Mahal Senyum
Di seluruh dunia ini, hanya ada tiga orang yang mengaku pernah melihat Anin tersenyum.
*
Yang pertama adalah Siti, pembantu di rumahnya ketika Anin berusia enam belas tahun. Sudah dua tahun lamanya Siti berhenti bekerja pada nenek dan kakek Anin. Siti memilih bekerja di sebuah mal yang gajinya lebih baik, walaupun ia mengaku nenek dan kakek Anin memperlakukannya dengan sangat baik. Anin juga baik-baik saja, akunya. Menurut Siti, Anin anak yang tidak merepotkan, jarang berbicara, dan sering melamun.
“Sekali, aku ingat,” kenang Siti. “Aku lagi nyirem taneman, toh. Mbak Anin baru bangun. Lagi makan roti sambil ngeliat ke arah taman...”
Satu hal yang menurut Siti agak mengganggu tentang Anin, ia sering memperhatikan orang. Seperti melamun sambil menatap seseorang terus-menerus tanpa sadar. Itu yang sedang dilakukannya pada pagi hari yang cerah itu, saat usianya enam belas tahun.
“Aku kan lagi nyirem pake selang, ujungnya kututup dikit pake telunjuk biar muncratnya jauh,” Siti memperagakan dengan tangannya. Matanya bertambah besar saking serunya ia berkisah. “Eh, karena nggak konsen diliatin begitu, kebanyakan aku nutup ujungnya! Muncrat balik deh airnya ke aku!”
Dalam kaget dan dingin mendadak, Siti bercerita ia latah dengan sumpah serapah a la Kasino Warkop.
“Aku denger kayak bunyi dengusan gitu. Waktu noleh, eh, aku liat Mbak Anin lagi senyum,” kenang Siti dengan wajah terkesima. “Senyumnya tipis aja. Nggak banyak. Lalu, cuma berapa saat, dia makan lagi deh.”
*
Yang kedua adalah Nino. Nino itu anak dari sepupunya Anin yang sebelas tahun lebih muda darinya. Anin sering diminta menjaganya ketika kedua orang tua Nino pergi bekerja.
Nino banyak bertanya. Suatu kali, Nino bertanya dengan polos, “Mbak Anin, Bunda-Bapaknya Mbak di mana, sih?”
Saat itu, kenang Nino, Anin menatap Nino. Awalnya ekspresinya tegang dan datar, entah kaget atau kesal, tapi lalu melunak dan ia tersenyum.
“Senyumnya...” Nino mengernyitkan dahi ketika diminta mendeskripsikan senyum itu. “Kayak... waktu aku disuruh ngelepas anjingku, Ajijo, karena dia kebanyakan kutu. Terus aku liat dia main-main, lucu gitu, tapi sambil lari makin jauh ke hutan-hutan situ. Pas itu aku kayak senyum gitu, tapi sebenernya nggak mau senyum.”
*
Yang ketiga adalah ibunya.
Beliau tidak bisa dimintai keterangan karena sudah meninggal dua belas tahun yang lalu.
Keluhan Kecil Seorang Siswi Nakal
“Wiiiinaaaaa!”
Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aroma aneh menyengat yang selalu ia bawa itu. Seperti bau bawang merah dan cabai-cabaian. Uh. Tapi, apa daya, aku terpaksa berhenti juga.
“Ya, Bu.”
Ia menurunkan kacamatanya sedikit dan mengamatiku dengan mata yang disipitkan. Layaknya burung elang yang siap menyantap mangsanya.
“Kamu hafal peraturan sekolah nomor 5A, kan?”
Aku menarik nafas, “Ya, Bu.”
“Coba,” ia mengangguk kecil sambil terus menatapku.
“’Rok minimal lima sentimeter di bawah lutut’,” ucapku, keras dan bosan.
“Rokmu berapa itu, Nak?”
“...di atas lutut, Bu.”
“—Jadi! Harus diapakan itu, Nak?”
Aku memutar bola mataku, “Dedel, Bu.”
Aku melihat seringai di wajahnya yang kejam saat ia mengeluarkan pisau lipatnya, dan sumpah-mati ekspresinya mirip Chucky di adegan terseram. Ia memberikan pisau lipatnya kepadaku dan aku pun mendedel rokku untuk yang kesekian kalinya. Ketika akhirnya bel masuk kelas berbunyi, aku menghela nafas lega dan berjalan menjauh. Aku tidak pernah suka dengan bau bawang merah dan cabai-cabaian. Dan, sumpah-mati, wanita itu benar-benar beraroma seperti itu.
Tidak heran dia tidak punya suami.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia