Archive for 03/01/2011 - 04/01/2011
Kenapa
On Rabu, 30 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Pada suatu hari, seorang pengacara duduk tenang di tengah-tengah taman kota. Lalu sebuah bola merah sebesar bola pingpong datang kepadanya, menggelinding. Ia ambil bola itu. Ia celingak-celinguk mencari pemiliknya, tapi tak dilihatnya seorang pun. Dilemparkannya bola itu dengan asal ke arah sungai.
***
Di suatu negeri liliput di tepi pantai, terjadi kegemparan karena ada sebuah meteorit merah mendarat; menghancurkan sebuah hotel ternama di pantai itu.
***
Di suatu negeri liliput di tepi pantai, terjadi kegemparan karena ada sebuah meteorit merah mendarat; menghancurkan sebuah hotel ternama di pantai itu.
Lalala
On Selasa, 29 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Katanya, di kamar mandi, suara jadi lebih bagus. Karena gema atau apa.
Lalala~
Lalala~
Sadar
On Rabu, 23 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Hah! 11:59! Menyelesaikan tugas dalam satu menit--!
Tamat.
Tamat.
O a la
On Selasa, 22 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Eh, Gin, Gin. Gin, liat, deh. Sumpah, ini nggak nahan banget. Ha ha ha! Lu udah pernah liat tapi, ya? Gue baru sekalilah ngeliat ini, ya--sumpah... Gin? Woi. Woooi! Heeeeeeeei, Ginaaaaaaa...! GIN!!!
...Ya? Eh, sori tadi pake
h
e
a
d
s
e
t
.
...Ya? Eh, sori tadi pake
h
e
a
d
s
e
t
.
Kasih. Terima Kasih
On Senin, 21 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
"Ayah! Aku mau pizza!" anak kecil itu merengek.
Ayahnya melirik sedikit dari balik korannya, "Pizza?"
"Mau ke Pizza Hut!"
Laki-laki yang lebih besar memandang laki-laki yang jauh lebih kecil, tersenyum samar dan berujar, "Boleh. Tapi bereskan dulu kamarnya, ya."
Anak kecil itu memandang ayahnya dengan kesal. Rengekan berubah menjadi wajah manyun, "Nggak mau!" Lalu ia dan cemberutnya pergi ke ruang tengah dan menonton televisi.
***
Tidak lama kemudian, ayahnya memanggil, "Hei, ayo sini."
Tapi anak kecil itu, menengok pun tidak.
"Nak, ayo."
Sungguh, tayangan televisi sudah tidak seru lagi. Hanya iklan-iklan norak yang diulang tiga kali. Tapi anak itu gengsi.
"Nak?"
Pada panggilan ketiga ia menyerah juga. Ayahnya menggendong dia dan membawanya ke ruang makan.
Ada sekotak kardus pizza di atas meja.
Bocah lugu itu memandang pizzanya dengan tidak percaya. Ia memandang ayahnya. Tapi lalu ia ingat kamarnya yang berantakan.
"Ayo, makan," ajak ayahnya.
Anak itu berkata pelan, merasa bersalah, "Mm... Tapi ade belum beresin kamar, Yah."
Ayahnya memandang si kecil dan melongo sebentar. Lalu, dengan tawa geli ia berkata, "Apa hubungannya?"
Anak itu tidak mengerti maksud ayahnya, ia makan saja pizzanya, sementara ayahnya menonton. Ia membayangkan, akan jadi orang besar macam apa anak ingusan ini nanti.
***
Tidak lama kemudian, anak kecil itu pergi membereskan kamarnya.
Ayahnya melirik sedikit dari balik korannya, "Pizza?"
"Mau ke Pizza Hut!"
Laki-laki yang lebih besar memandang laki-laki yang jauh lebih kecil, tersenyum samar dan berujar, "Boleh. Tapi bereskan dulu kamarnya, ya."
Anak kecil itu memandang ayahnya dengan kesal. Rengekan berubah menjadi wajah manyun, "Nggak mau!" Lalu ia dan cemberutnya pergi ke ruang tengah dan menonton televisi.
***
Tidak lama kemudian, ayahnya memanggil, "Hei, ayo sini."
Tapi anak kecil itu, menengok pun tidak.
"Nak, ayo."
Sungguh, tayangan televisi sudah tidak seru lagi. Hanya iklan-iklan norak yang diulang tiga kali. Tapi anak itu gengsi.
"Nak?"
Pada panggilan ketiga ia menyerah juga. Ayahnya menggendong dia dan membawanya ke ruang makan.
Ada sekotak kardus pizza di atas meja.
Bocah lugu itu memandang pizzanya dengan tidak percaya. Ia memandang ayahnya. Tapi lalu ia ingat kamarnya yang berantakan.
"Ayo, makan," ajak ayahnya.
Anak itu berkata pelan, merasa bersalah, "Mm... Tapi ade belum beresin kamar, Yah."
Ayahnya memandang si kecil dan melongo sebentar. Lalu, dengan tawa geli ia berkata, "Apa hubungannya?"
Anak itu tidak mengerti maksud ayahnya, ia makan saja pizzanya, sementara ayahnya menonton. Ia membayangkan, akan jadi orang besar macam apa anak ingusan ini nanti.
***
Tidak lama kemudian, anak kecil itu pergi membereskan kamarnya.
Dilemma
On Minggu, 20 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Aku berada di antara dua pilihan. Masing-masing menawarkan proposal yang cukup menarik. Yang itu menggiurkan, yang ini juga tidak kalah. Keduanya memandangku rindu; ingin menjadi yang terpilih.
Aku bingung, rasanya campur aduk seperti gado-gado. Manis-asam-asin seperti nano-nano.
Ini, memang, adalah saat-saat terpenting dalam hidup. Ketika seseorang harus menentukan pilihan. Setelah menimbang untung-rugi, membayangkan masa depan, mencocokkan dengan hati, akhirnya tibalah dia pada titik dimana keputusan harus diambil. Di sinilah aku sekarang. Di titik kritis yang singkat tapi berpengaruh ini. Secepatnya harus aku menentukan. Dan aku bimbang, aku bingung...
...makan dulu atau tidur dulu ya?
Aku bingung, rasanya campur aduk seperti gado-gado. Manis-asam-asin seperti nano-nano.
Ini, memang, adalah saat-saat terpenting dalam hidup. Ketika seseorang harus menentukan pilihan. Setelah menimbang untung-rugi, membayangkan masa depan, mencocokkan dengan hati, akhirnya tibalah dia pada titik dimana keputusan harus diambil. Di sinilah aku sekarang. Di titik kritis yang singkat tapi berpengaruh ini. Secepatnya harus aku menentukan. Dan aku bimbang, aku bingung...
...makan dulu atau tidur dulu ya?
Tiga Menit
On Jumat, 18 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
TIba-tiba aku terpikir soal neraka. Dan surga. Tapi terutama neraka. Aku pikirkan panas apinya, aku pikirkan gelapgulitanya. Tapi terutama, aku pikirkan kekekalannya.
Tiba-tiba seorang suster bermimik datar menghampiri, "Pak, dokternya sudah datang, silakan masuk."
Hanya dalam tiga menit di ruang tunggu; rasanya aku sudah menjadi tua sekali.
Tiba-tiba seorang suster bermimik datar menghampiri, "Pak, dokternya sudah datang, silakan masuk."
Hanya dalam tiga menit di ruang tunggu; rasanya aku sudah menjadi tua sekali.
Ya?
On Kamis, 17 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Hei.
Aku punya cerita, nih. Tadinya aku tidak mau ngasih tahu, tapi aku kasih tahu aja, deh. Gimana, kamu mau tahu, nggak? Mau, ya?
Aduh, gimana ya, cara nyeritainnya...
Ya, pokoknya...
Jadi tuh sebenarnya...
Hmm...
Ah, kapan-kapan saja deh, ya?
Aku punya cerita, nih. Tadinya aku tidak mau ngasih tahu, tapi aku kasih tahu aja, deh. Gimana, kamu mau tahu, nggak? Mau, ya?
Aduh, gimana ya, cara nyeritainnya...
Ya, pokoknya...
Jadi tuh sebenarnya...
Hmm...
Ah, kapan-kapan saja deh, ya?
Palsu
On Rabu, 16 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Pagi ini aku merasa senang, sampai:
"Darimana ini?"
"Dago."
Kembali dua ribu. Membayar tiga ribu. Dan suasana hatiku rusak seharian.
"Darimana ini?"
"Dago."
Kembali dua ribu. Membayar tiga ribu. Dan suasana hatiku rusak seharian.
Halo!
On Selasa, 15 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
-mulai-
Halo! Apa kabar?, katanya.
Baik!, dustaku.
-selesai-
Halo! Apa kabar?, katanya.
Baik!, dustaku.
-selesai-
Ada Satu Yang Ngaku
On Senin, 14 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Mereka berlima bercanda-canda dan tertawa ngakak. Mereka membuat sebuah lingkaran besar dan bergosip. Mereka mengeluhkan tugas yang tidak kunjung selesai, membicarakan seorang musisi muda yang namanya tidak begitu terkenal dan seorang artis muda yang sangat terkenal, serta dengan seru membahas sebuah restoran baru di dekat kampus.
Lalu, ketika langit sudah mulai lembayung, mereka berpisah.
Yang pertama masuk ke kamarnya, menyalakan lampu, dan langsung menyalakan internet dan televisi sekaligus. Ramai, tapi dia masih kurang puas. Dinyalakannya radio dan dia ikut bernyanyi keras-keras.
Yang ketiga juga masuk ke kamarnya. Begitu dia menyalakan lampu, dilihatnya kanvas nganggur yang dia beli berapa bulan lalu. Diambilnya cat minyak; tapi mau gambar apa, dia tidak tahu. Ah sudah, pikirnya, Asal coret saja. Ternyata dia tidak suka hasilnya; dengan sesal, dipandanginya kanvas mahal yang dihabiskan dengan sia-sia. Dia tutup itu dengan kertas koran, mencuci tangan, lalu membaca buku.
Yang kedua berhenti di jalan, masuk ke sebuah restoran yang tarifnya tidak cocok untuk mahasiswa. Tapi tidak apa, ini awal bulan. Dipesannya makanan pembuka, makanan utama, makanan penutup, dan minuman. Enaknya. Hmm. Dia masih kurang senang. Dipesannya es kacang merah, dimakannya pelan-pelan.
Yang keempat masuk ke kamarnya. Tanpa menyalakan lampu, ditutupnya pintu. Ia menaruh tasnya dan melepas jaketnya. Dengan lunglai berlutut di tikar, mengakui kesepiannya.
Lalu, ketika langit sudah mulai lembayung, mereka berpisah.
Yang pertama masuk ke kamarnya, menyalakan lampu, dan langsung menyalakan internet dan televisi sekaligus. Ramai, tapi dia masih kurang puas. Dinyalakannya radio dan dia ikut bernyanyi keras-keras.
Yang ketiga juga masuk ke kamarnya. Begitu dia menyalakan lampu, dilihatnya kanvas nganggur yang dia beli berapa bulan lalu. Diambilnya cat minyak; tapi mau gambar apa, dia tidak tahu. Ah sudah, pikirnya, Asal coret saja. Ternyata dia tidak suka hasilnya; dengan sesal, dipandanginya kanvas mahal yang dihabiskan dengan sia-sia. Dia tutup itu dengan kertas koran, mencuci tangan, lalu membaca buku.
Yang kedua berhenti di jalan, masuk ke sebuah restoran yang tarifnya tidak cocok untuk mahasiswa. Tapi tidak apa, ini awal bulan. Dipesannya makanan pembuka, makanan utama, makanan penutup, dan minuman. Enaknya. Hmm. Dia masih kurang senang. Dipesannya es kacang merah, dimakannya pelan-pelan.
Yang keempat masuk ke kamarnya. Tanpa menyalakan lampu, ditutupnya pintu. Ia menaruh tasnya dan melepas jaketnya. Dengan lunglai berlutut di tikar, mengakui kesepiannya.
Bekas
On Minggu, 13 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
1 Comment
"Upi...?"
"Eh--Irina!"
Dua orang wanita muda itu tidak sengaja berpapasan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka berseru dan menjerit seru.
"Iiih, apa kabar deh loe?"
"Baik...! Loe apa kabar, Pi?"
"Baik...!"
Upi tersenyum. Irina juga tersenyum.
"Eh, sama siapa?"
"Sama... itu..."
"Pacar, yaaa?"
"Iya--eh, tunangan, sih..."
"Ah, parah! Serius?"
Upi menggigit bibirnya dengan canggung. Ia tidak tahu sama sekali.
"Eh, lo sama siapa, Pi?"
"Nggak--sendiri aja."
"Mm..."
Irina tersenyum lagi. Upi juga. Irina memandang kantung belanja Upi.
"Beli apa, tuh, Mbakyu?"
"Oh, parfum...! Lagi diskon tuh di sana, Na!"
"Oh, iya...? Waah..."
Sepi lagi--untung telepon genggam Irina berbunyi.
"Halo? Ya? Hmm.... oh, oke..."
Upi menunggu, berdiri dengan canggung dan senyum kaku terpaku di wajahnya.
"Hmm... oke, oke, deh... Siip..." Klik. "Eh, gua mesti..."
"Oh, oke, sip, sip...! Salam buat..."
"Oh, Randi, Pi," Irina tersenyum ramah. "Oke, dadaah...!"
"Daah...!" Upi tersenyum lebar. Lalu, sambil yakin bahwa ini hanyalah wacana, menambahkan, "Ntar kabar-kabarin lagi ya, Na!"
"Okee!"
Irina ke kanan, Upi ke kiri. Melambai basa-basi pada bekas sahabat mereka.
"Eh--Irina!"
Dua orang wanita muda itu tidak sengaja berpapasan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka berseru dan menjerit seru.
"Iiih, apa kabar deh loe?"
"Baik...! Loe apa kabar, Pi?"
"Baik...!"
Upi tersenyum. Irina juga tersenyum.
"Eh, sama siapa?"
"Sama... itu..."
"Pacar, yaaa?"
"Iya--eh, tunangan, sih..."
"Ah, parah! Serius?"
Upi menggigit bibirnya dengan canggung. Ia tidak tahu sama sekali.
"Eh, lo sama siapa, Pi?"
"Nggak--sendiri aja."
"Mm..."
Irina tersenyum lagi. Upi juga. Irina memandang kantung belanja Upi.
"Beli apa, tuh, Mbakyu?"
"Oh, parfum...! Lagi diskon tuh di sana, Na!"
"Oh, iya...? Waah..."
Sepi lagi--untung telepon genggam Irina berbunyi.
"Halo? Ya? Hmm.... oh, oke..."
Upi menunggu, berdiri dengan canggung dan senyum kaku terpaku di wajahnya.
"Hmm... oke, oke, deh... Siip..." Klik. "Eh, gua mesti..."
"Oh, oke, sip, sip...! Salam buat..."
"Oh, Randi, Pi," Irina tersenyum ramah. "Oke, dadaah...!"
"Daah...!" Upi tersenyum lebar. Lalu, sambil yakin bahwa ini hanyalah wacana, menambahkan, "Ntar kabar-kabarin lagi ya, Na!"
"Okee!"
Irina ke kanan, Upi ke kiri. Melambai basa-basi pada bekas sahabat mereka.
Cerita Seorang Perusak Lingkungan Yang Tidak Bisa Menahan Diri
On Sabtu, 12 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Kuambil kertas, kumulai gambar. Kucoret sedikit, eh, salah. Kuremas dan kuambil kertas baru. Kugambari lagi, kucoret, kucoret, eh, salah. Kuremas dan kuambil lagi kertas baru. Kugambari, kucoret, kuremas. Kuambil kertas...
Lalu aku duduk diam memandang tempat sampah yang penuh dengan kertas-kertas polos yang lecek.
Lalu aku duduk diam memandang tempat sampah yang penuh dengan kertas-kertas polos yang lecek.
Lawan Bicara
On Jumat, 11 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
"Iya, jadi gitu deh, La... Eh, gantian deh, loe yang cerita, masa gue melulu."
Ola mengetuk-ngetukkan giginya--kebiasaan yang ada padanya entah sejak kapan--tanda sedang berpikir.
Rasanya ingin juga dia cerita. Tapi, Ola memang bukan orang yang dengan mudah menelanjangi dirinya di depan orang lain. Ia berpikir dua, tiga, bahkan empat kali sebelum menceritakan rahasia ataupn pikirannya pada orang lain.
Apalagi ini Karina, teman yang baru dikenalnya sekitar dua bulan. Dua bulan yang intens memang--takdir membuat mereka sering mengobrol dan makan bareng--meski begitu, ya, tetap saja baru dua bulan.
Tapi lidah Ola gatal. Dan rasa gatal, seperti yang mungkin Anda semua pernah alami, adalah dorongan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu.
"Eh, iya nih, gue mau cerita, Na," Ola berkata pelan, tanpa menatap mata lawan bicaranya.
"Kenapa, kenapa?" Karina, sebaliknya, langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ola, dan menatap lawan bicaranya.
"Iya... Jadi waktu itu gue--eh, lo tau nggak sih toilet yang paling ujung itu? Yang ada di sebelah laboratorium?"
"Oh, tau! Eh, tau nggak sih loe, itu kan katanya banyak hantunya...!"
"Iya, nah gue--"
"--Eh, jadi masa ya, si Geri cerita, waktu itu dia masuk ke situ sendirian. Padahal si Ihsan gitu-gitu udah ngebilangin, tapi biasalah, si Geri sok berani gitu. Terus, ya, pas dia abis pipis... katanya dia ngerasa ada yang manggil namanya gitu! Suara cewek! Ih, serem banget!"
Ola manggut-manggut. "Iya, ya, setahu gue juga berhantu. Eh, tapi bukan itu. Jadi gue kan lagi lewat di situ, terus gue ketemu--"
"--Kalo si Hana lebih parah lagi, tau nggak! Dia kan lagi nyisir di situ, sendirian, terus..."
Cerita berlanjut (pada akhir dialog yang nyaris monolog itu, Ola mengetahui paling tidak enam jenis hantu yang berdiam di toilet ujung dekat laboratorium).
Ola mengetuk-ngetukkan giginya--kebiasaan yang ada padanya entah sejak kapan--tanda sedang berpikir.
Rasanya ingin juga dia cerita. Tapi, Ola memang bukan orang yang dengan mudah menelanjangi dirinya di depan orang lain. Ia berpikir dua, tiga, bahkan empat kali sebelum menceritakan rahasia ataupn pikirannya pada orang lain.
Apalagi ini Karina, teman yang baru dikenalnya sekitar dua bulan. Dua bulan yang intens memang--takdir membuat mereka sering mengobrol dan makan bareng--meski begitu, ya, tetap saja baru dua bulan.
Tapi lidah Ola gatal. Dan rasa gatal, seperti yang mungkin Anda semua pernah alami, adalah dorongan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu.
"Eh, iya nih, gue mau cerita, Na," Ola berkata pelan, tanpa menatap mata lawan bicaranya.
"Kenapa, kenapa?" Karina, sebaliknya, langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ola, dan menatap lawan bicaranya.
"Iya... Jadi waktu itu gue--eh, lo tau nggak sih toilet yang paling ujung itu? Yang ada di sebelah laboratorium?"
"Oh, tau! Eh, tau nggak sih loe, itu kan katanya banyak hantunya...!"
"Iya, nah gue--"
"--Eh, jadi masa ya, si Geri cerita, waktu itu dia masuk ke situ sendirian. Padahal si Ihsan gitu-gitu udah ngebilangin, tapi biasalah, si Geri sok berani gitu. Terus, ya, pas dia abis pipis... katanya dia ngerasa ada yang manggil namanya gitu! Suara cewek! Ih, serem banget!"
Ola manggut-manggut. "Iya, ya, setahu gue juga berhantu. Eh, tapi bukan itu. Jadi gue kan lagi lewat di situ, terus gue ketemu--"
"--Kalo si Hana lebih parah lagi, tau nggak! Dia kan lagi nyisir di situ, sendirian, terus..."
Cerita berlanjut (pada akhir dialog yang nyaris monolog itu, Ola mengetahui paling tidak enam jenis hantu yang berdiam di toilet ujung dekat laboratorium).
Raisa
On Selasa, 08 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Sementara yang lain bertepuk-tepuk tangan,
atau mengibar-ngibarkan bendera merah-kuning,
atau mengikat-ikat tali,
aku melipat-lipat dasi pramukaku menjadi bunga mawar.
atau mengibar-ngibarkan bendera merah-kuning,
atau mengikat-ikat tali,
aku melipat-lipat dasi pramukaku menjadi bunga mawar.
Naik, Naik ke Puncak
On Senin, 07 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Memes naik sampai ke lantai yang paling tinggi, berdiri di pinggir dan berkata dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya: "What a view!"
Praktikum
On Sabtu, 05 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Tidak ada satupun di antara mereka yang benar-benar berniat membuat laporan praktikum.
"Eh, latar belakangnya apa, sih?"
"Lo, ini suhunya berapa, ya?"
"Eeh, tujuannya apa nih?"
"Ah, udah sini, gue yang bikin tujuannya!"
Dian selalu agak percaya diri dengan kemampuannya menjelimetkan susunan kata, sedmikian rupa sehingga paragraf buatannya terlihat benar dan pintar.
"...agar...ini...dengan demikian...bla, bla, bla... Nah, selesai!"
Sementara teman-temannya, dengan decak kagum, menyalin kata demi kata yang ia ukir, Dian diam saja.
Dian diam saja di kursi paling pojok.
Dian diam saja karena meskipun ia mudah merumuskan tujuan praktikumnya, ia belum bisa-bisa mengetahui tujuan hidupnya.
"Eh, latar belakangnya apa, sih?"
"Lo, ini suhunya berapa, ya?"
"Eeh, tujuannya apa nih?"
"Ah, udah sini, gue yang bikin tujuannya!"
Dian selalu agak percaya diri dengan kemampuannya menjelimetkan susunan kata, sedmikian rupa sehingga paragraf buatannya terlihat benar dan pintar.
"...agar...ini...dengan demikian...bla, bla, bla... Nah, selesai!"
Sementara teman-temannya, dengan decak kagum, menyalin kata demi kata yang ia ukir, Dian diam saja.
Dian diam saja di kursi paling pojok.
Dian diam saja karena meskipun ia mudah merumuskan tujuan praktikumnya, ia belum bisa-bisa mengetahui tujuan hidupnya.
Tebe
On Kamis, 03 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Satu set spidol warna-warni. Menyenangkan; membangkitkan hasrat corat-coret; minta dihitung.
Satu, dua, tiga,...
Oh, tidak.
Warna ungu hilang!
...tebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebe...
Satu, dua, tiga,...
Oh, tidak.
Warna ungu hilang!
...tebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebetebe...
Tragedi Pagi Hari
On Selasa, 01 Maret 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
No Comments
Matahari bersinar terang, burung berkicaulah senang. Mobil lewat kencang-kencang melalui genangan air, anak SD pakai baju putih-merah kecipratan.
Nangis dia.
Nangis dia.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia