Sinetron
“Mia.”
Tangannya kasar.
“Kuliah dimana?”
“Oh. Nggak...”
Diam.
“Eh—kerja?”
Lo. Malah ketawa dia.
“Nggak juga. Saya baru lulus SMA dan sekarang masih nyari kerjaan.”
“Oh.”
Jadi nggak enak. Diam dulu.
“Loe? Kuliah?”
“Oh—iya, gue.”
“Di...?”
“Bandung.”
Masih melihat kepadaku. Seperti menunggu kelanjutan informasi.
Duh, kok jadi nggak enak ngomongnya? Tapi,
“Perminyakan ITB.”
kataku akhirnya.
Jawabnya klise:
“Wah! Hebat, pintar dong, ya.”
Balasku tidak mau kalah klise:
“Ah, nggak juga. Biasa saja.”
“Dulu SMA dimana?”
“Oh. Di—“
NGEEENG. Motor lewat.
“Oh, swasta, toh. Deket rumah dong, ya.”
“Iya, lumayan. Loe?”
“Gue—“
BRRRRM.
“Oh. Lebih deket lagi!”
Ketawa ringan.
“Iya.”
Selanjutnya bicara tentang Teknik Perminyakan ITB, sebentar. Budaya SMA, sebentar. Buku, sebentar. Film, agak lama.
“Eh—Pak, saya turun di sini saja.”
Lo? Padahal lagi ngobrolin Pintu Terlarang.
“Eh, gue duluan, ya!”
“Oh, oke—kok turun di sini? Katanya rumahnya di...?”
“Ini, mau ngelamar kerja.”
“Oh—! Good luck!”
Senyum.
“Makasih!”
Lambai.
Pergi.
Cih.
***
“Aduh, anak Bandung! Akhirnya pulang juga!”
“Halo, Ma.”
“Nyasar kemana, sih? Lama amat nggak pulang-pulang!”
Dipeluk. Rambut diacak-acak.
“Punya pacar, ya...!?”
“Nggak, Ma.”
“Yah, payah, ah.”
Sebal.
“Ya, udah. Itu kalau makan langsung ambil aja, ya. Mama mau pergi dulu.”
Lo? Katanya kangen. Sekarang ditinggal.
“Ye. Kemana?”
“Ah, kepo. Mau tau aja.”
A—
“Belajar dari mana itu kata?”
Mengedip gaul.
“Maa! Mau kemana?”
“Mau ketemu calon pegawai baru, buat jagain butik!”
“Hah?”
“Mau ngewawancara kerja. Kan si Emi keluar tuh, hamil.”
Suaranya mengecil.
“Semuanya aja hamil. Untung dapet orang baru...”
Dan mengecil.
“...Mia apa siapa...”
Hah. Mia apa siapa.
“Daaah!”
“...Dah.”
Kecil
amat
dunia.
Eyang
Aku selalu bilang, eyangku itu orang paling bijaksana di seluruh dunia.
“Jangan pernah mencoba menilai orang lain, Nduk,” katanya suatu hari, sambil duduk di kursi goyang di teras rumahnya. “Karena kita, manusia, tidak pernah benar-benar tahu tentang orang lain. Kita cuma tahu apa yang bisa dilihat, yang bisa didengar. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang ia lakukan kalau tidak ada orang lain, apa yang ia pikirkan dalam hatinya.”
Aku memang tidak pernah mencatat kata-kata Eyang, tapi aku ragu ada yang terlupakan olehku.
Pernah, aku mengalami hari yang buruk—waktu itu aku baru kelas lima SD. Di sekolahku diadakan lomba matematika dan setiap kelas mengirim perwakilannya. Aku termasuk anak yang pintar di sekolah, jadi aku yakin sekali aku yang dipilih. Tapi ternyata mereka malah memilih Yanti. Aku kecewa sekali. Sore itu, aku langsung berlari ke rumah Eyang—yang berada di dekat sekolah—dan menceritakan semua kepadanya. Ia mendengarkanku dengan mimik serius dan memberiku nasehat dengan mimik serius juga.
“Kalau kau kecewa, Nduk,” katanya padaku. “Katakan pada dirimu, Ya, jadi ini namanya kecewa, sudah, ya. Dengan begitu, kau melihat situasi kecewa ini dari luar. Secara tidak sadar kau sudah berada di luar kekecewaan itu. Mengerti, Nduk?”
Lalu ia memandangku lurus, memastikan aku mengerti. Aku mengangguk.
Itu yang aku sukai dari Eyang. Ia tidak pernah menganggap masalahku sepele. Kalau aku menceritakan masalahku ke Ayah, Ibu, atau kakak-kakakku, mereka akan memberiku nasehat dengan ‘mimik orang dewasa’. Begitu aku menyebutnya. Artinya, mimik yang mengatakan bahwa aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa, sedangkan mereka sudah dewasa dan mengerti banyak hal. Eyang tidak pernah begitu. Ia selalu berusaha mendengarkan ceritaku dengan seksama. Padahal pendengarannya tidak sebaik Ayah, Ibu, atau kakak-kakakku.
Eyang itu pahlawan masa kecilku.
***
Hari ini, aku tiba-tiba mendapati diriku sudah dewasa. Padahal rasanya baru kemarin aku duduk di pangkuan Eyang, mendengarkan ceritanya.
Hari ini, aku memakai kemeja hitam terbaikku dan mengantar Eyang ke gerbang Surga.
“Kalau kita hidup, Nduk, itu hanya untuk menjadi berkat bagi orang lain.”
“Kalau mati, Eyang?”
Eyang tersenyum dan menatapku lurus, “Mati, Nduk, adalah keuntungan.”
***
Meski belum semua pesannya yang dapat aku mengerti sepenuhnya, aku selalu bilang, eyangku itu orang paling bijaksana di seluruh dunia.
Padahal dia tidak lulus SMA.
Percakapan (2)
Ktktn
Di akhir hari, dia menatapku dengan raut yang tak tertebak.
Sungguh hati, tiba-tiba aku benar-benar takut dia bisa membaca pikiranku. Kumanipulasi pikiranku, berusaha memikirkan yang lain. Lemon, Mighty Morfin Power Rangers, Afgan... Apapun.
Tepuk Tangan, Sebelah Tangan: "Ck."
"Yo, dadah!"
Mereka berpisah. Yang satu ke kiri, yang satu tetap lurus. Yang satu tidak bisa menahan senyumnya, yang satu biasa saja.
"Ck," adalah suara decak kasihan seorang malaikat yang mengawasi dari atas untuk yang pertama--yang mengira dirinya sedang cinta-cintaan, padahal cuma cinta sendirian.
"Halo, Ma."
"Halo, Ma."
Matanya, tetap, terpaku pada televisi.
Dari Mana Ratu Drama Datang? Dari Kebutuhan akan Suasana Dramatis
Seperti massa ramai tetes air hujan jatuh ke genangan-genangan dan Dina terpaksa mengamatinya. Rumput hijau pasrah tersiram--tapi sepertinya mereka senang. Pohon-pohon tinggi juga, mereka seperti menyambut kedatangan teman-teman. Langit warnanya tidak jelas mau abu-abu atau ungu.
Tiga-empat orang di sekitar cuma termangu. Ikut menonton tarian jutaan tetes.
Dina merasa suasana ini pas sekali untuk mendukungnya bersedih. Sayang, sungguh sayang, saat ini dia sedang gembira.
Maka, pada satu saat yang langka dalam hidupnya yang nyari dua puluh tahun, Dina berharap dia sedang merasa sedih.
Nada Hanya Ada (di Masa Lalu)
Aku memandangnya--ia balas memandangku.
Kami saling pandang dan tak satu nada pun berbunyi.
Percakapan (1)
Siapa
catatantambahan: kredit kepada Raisa Silfia Sahertian untuk ide intinya.
Puas?
Buk!
Bak!
Das!
Anna tidak mengernyit, tidak meringis. Ia hanya diam dan mengamati tanpa ekspresi yang berarti.
Buk!
Buk!
Ia menonton tinju melayang dan orang terpojok. Ia membayangkan itu dia yang meninju dan itu kakaknya yang terpojok.
Das!
Ia memukul kakaknya dengan tidak memberi jeda. Tidak ada kesempatan bagi kakaknya. Kanan, kiri, kanan. Kakaknya hanya sebisa mungkin melindungi wajahnya dan Anna terus meninju. Sarung tinjunya yang biru menghantam tiap bagian tubuh kakaknya. Ia terpojok. Anna terus menyerang.
Buak!
Kakaknya terjatuh dengan bunyi yang keras. Wasit menghampiri. Habis sudah. Kakaknya tidak sanggup bangun lagi. Wasit mengangkat tangan Anna yang capai dan menyatakan kemenangannya. Tepuk tangan memenuhi tempat itu dan teman-temannya melompati ring untuk memberinya selamat.
"Anna! Kita mau pergi nih, kunciin pintu depan, Na!"
"Ya, ya."
Anna mematikan televisi dan menghabiskan gigitan terakhirnya. Lalu ia keluar.
Ia tidak tahu ini perasaan apa--mungkin ini rasa puas.
Hilang
Ini adalah momen simbolik yang tiba-tiba menjadi penting baginya--mungkin ia akan segera lupa, tidak ada yang tahu. Mungkin hanya kalau malam tidak riang meraba rasanya yang lemah, momen seperti ini menjadi penting. Mungkin cuma di teras lembap berhiaskan koor merdu jangkrik, imajinasinya menggambarkan dengan jelas: tiap kata yang dirangkai dengan hati-hati...
Yang jelas, saat ini jemarinya sudah siap.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia