Dari Atas Pohon di Samping Danau
On Rabu, 19 Januari 2011 /
By Gavrila Ramona Menayang /
Reply
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Mereka lebih ringan daripada buku-buku pelajaran--isi tasku yang biasanya. Hari ini aku tidak membutuhkan buku-buku pelajaran itu karena aku tidak akan pergi ke sekolah, meskipun saat ini aku mengenakan seragam. Aku harus mengenakan seragam supaya Bunda tidak curiga bahwa hari ini aku mau kabur dari rumah.
Aku menatap pohon di hadapanku. Pohon ini daunnya tidak terlalu banyak, dan dia tampak sangat tinggi...--yah, mungkin bagi Ayah atau kedua kakakku tidak terlalu tinggi. Walaupun begitu, ia tampak kokoh dan banyak cabang-cabang yang dapat kupijak. Posisinya pun sangat bagus, tepat di samping danau yang mengerikan itu. Kalau aku sudah naik, aku bisa bergeser dan aku akan berada di atas danau. Dan melihat pantulanku di air, mungkin.
Ranselku harus dibawa karena makananku ada di dalamnya. Aku mengencangkan tali ransel dan mencopot sepatu serta kaus kakiku. Lalu aku memegang batang pohon itu dengan tangan kiri, dan menaikkan kaki kananku ke cabang terdekat dan--hop! Aku berhasil naik. Aku terus memanjat dari cabang ke cabang, ternyata tidak sesulit yang terlihat dari bawah sana. Setelah beberapa detik, aku berhasil sampai di bagian yang cukup tinggi. Aku bergeser ke bagian yang tepat di atas danau dan menaruh pantatku di posisi yang paling nyaman.
Aku merasa senang. Sudah lama aku memperhatikan pohon ini, aku melewatinya tiap kali berjalan ke sekolah, tapi baru kali ini aku benar-benar memanjatnya. Aku senang--tapi pada saat bersamaan aku juga sedih karena saat ini aku sendirian. Tidak ada yang tahu bahwa aku berhasil memanjat pohon tinggi ini. Tentu saja aku bisa menceritakannya pada orang-orang, tapi itu tidak sama. Akan lebih mengasyikan kalau di sini ada saksi hidup yang melihatku melakukan semuanya ini.
Aku menggantung ranselku di cabang yang ada di atasku dan mengambil roti manis dari dalamnya. Ini makanan pertamaku hari ini--tadi aku tidak mau sarapan karena Bunda yang memasak sarapan itu dan aku kan sedang marah sama Bunda. Aku juga marah sama Ayah. Aku tidak marah pada kedua kakakku, tapi saat ini aku tidak ingin bertemu dengan mereka juga. Itulah kenapa aku kabur dari rumah.
Roti manis itu rasanya enak. Susu cokelatnya juga enak. Aku menghabiskan keduanya sambil memandang ke seberang danau. Sementara biskuit kejunya sudah tidak enak lagi. Aku hanya memakan setengah, sisanya aku taruh lagi. Pantulanku di danau tidak terlihat, tertutup oleh bayangan daun-daun dan lain-lain.
Aku bisa melihat ada beberapa rumah di seberang danau. Semuanya bagus sekali. Pasti menyenangkan memiliki rumah yang langsung menghadap ke danau. Pasti seru sekali. Rumahku yang sekarang membosankan. Tapi aku tidak mau pindah, dari kecil aku sudah tinggal di sana.
Aku melihat jam: jam satu siang. Aku mengambil ranselku dan memanjat turun. Lalu aku memakai kaus kaki dan sepatu. Sudah cukup kaburnya, sekarang waktunya makan siang.
***
Aku menatap pohon di hadapanku. Pohon ini daunnya tidak terlalu banyak, dan dia tampak sangat tinggi...--yah, mungkin bagi Ayah atau kedua kakakku tidak terlalu tinggi. Walaupun begitu, ia tampak kokoh dan banyak cabang-cabang yang dapat kupijak. Posisinya pun sangat bagus, tepat di samping danau yang mengerikan itu. Kalau aku sudah naik, aku bisa bergeser dan aku akan berada di atas danau. Dan melihat pantulanku di air, mungkin.
Ranselku harus dibawa karena makananku ada di dalamnya. Aku mengencangkan tali ransel dan mencopot sepatu serta kaus kakiku. Lalu aku memegang batang pohon itu dengan tangan kiri, dan menaikkan kaki kananku ke cabang terdekat dan--hop! Aku berhasil naik. Aku terus memanjat dari cabang ke cabang, ternyata tidak sesulit yang terlihat dari bawah sana. Setelah beberapa detik, aku berhasil sampai di bagian yang cukup tinggi. Aku bergeser ke bagian yang tepat di atas danau dan menaruh pantatku di posisi yang paling nyaman.
Aku merasa senang. Sudah lama aku memperhatikan pohon ini, aku melewatinya tiap kali berjalan ke sekolah, tapi baru kali ini aku benar-benar memanjatnya. Aku senang--tapi pada saat bersamaan aku juga sedih karena saat ini aku sendirian. Tidak ada yang tahu bahwa aku berhasil memanjat pohon tinggi ini. Tentu saja aku bisa menceritakannya pada orang-orang, tapi itu tidak sama. Akan lebih mengasyikan kalau di sini ada saksi hidup yang melihatku melakukan semuanya ini.
Aku menggantung ranselku di cabang yang ada di atasku dan mengambil roti manis dari dalamnya. Ini makanan pertamaku hari ini--tadi aku tidak mau sarapan karena Bunda yang memasak sarapan itu dan aku kan sedang marah sama Bunda. Aku juga marah sama Ayah. Aku tidak marah pada kedua kakakku, tapi saat ini aku tidak ingin bertemu dengan mereka juga. Itulah kenapa aku kabur dari rumah.
Roti manis itu rasanya enak. Susu cokelatnya juga enak. Aku menghabiskan keduanya sambil memandang ke seberang danau. Sementara biskuit kejunya sudah tidak enak lagi. Aku hanya memakan setengah, sisanya aku taruh lagi. Pantulanku di danau tidak terlihat, tertutup oleh bayangan daun-daun dan lain-lain.
Aku bisa melihat ada beberapa rumah di seberang danau. Semuanya bagus sekali. Pasti menyenangkan memiliki rumah yang langsung menghadap ke danau. Pasti seru sekali. Rumahku yang sekarang membosankan. Tapi aku tidak mau pindah, dari kecil aku sudah tinggal di sana.
Aku melihat jam: jam satu siang. Aku mengambil ranselku dan memanjat turun. Lalu aku memakai kaus kaki dan sepatu. Sudah cukup kaburnya, sekarang waktunya makan siang.
Cabikan
-
“Wiiiinaaaaa!” Bahkan sebelum dia berteriak begitu, aku sudah bisa merasakan kehadirannya dari ujung lorong. Aku selalu bisa membaui aro...
-
"Selamat ulang tahun, Anya...!" Anya terdiam sejenak; dengan kaget memandang belasan wajah-wajah familiar dengan senyuman membeku-...
-
Sore itu, dua orang anak berambut cokelat berjalan pulang ke rumahnya--kakaknya yang perempuan rambutnya lebih terang, dan adiknya yang laki...
-
Ada roti manis dan biskuit keju di lemari, serta sekartun besar susu cokelat di kulkas. Aku mengambil semuanya itu dan memasukkannya ke dala...
-
Tolong aku. Kadang, kalau aku sedang duduk sendirian di kelas dan tidak benar-benar memikirkan apapun, aku melamun dan aku dapat mendengar s...
-
"Jadi, bagaimana kamu bilang cinta ke dia?" Matahari dan bekas-bekasnya sudah tidak kelihatan lagi. Cahaya di perpustakaan tua ini...
-
Kamar Julian tidak pernah rapi--kecuali selama beberapa hari, yang berlangsung kira-kira enam bulan sekali. Karena, kira-kira enam bulan sek...
-
Dan hari ini pun sama. Dia masih tidak menyapaku. Padahal aku sudah memaksakan diri bangun jam enam pagi, untuk dapat berangkat jam setengah...
-
Min itu temanku, yang sedang duduk di depanku, dengan latar yang berjalan terus. Sekarang aku bisa melihat ujungnya monumen nasional yang em...
-
"Fiftitty dallas." Mirna mengernyit selama sepersekian detik, memandang Cina di hadapannya. Si Cina balas menatap. Tak bergeming d...
Search
Nomina Insan
- Gavrila Ramona Menayang
- jong selebes, murid-Nya yang kinasih, duapuluh satu, mahasiswi arsitektur, tukang sketsa, tukang cerita, penata amatir, penyuka buah dan jajanan, pengguna aktif bahasa Indonesia
Kintaka
-
▼
2011
(139)
-
▼
Januari
(29)
- Dua tahun yang lalu, Rima membeli sebuah kacamata ...
- Dona berdiri di tengah-tengah jalanan yang ramai; ...
- Presisi
- (saya lupa)
- Tenang: Kisah Dadi Suhardja dan Tigapuluh Dua Anak...
- Putih
- Keluar ke Luar
- Tolong aku.Kadang, kalau aku sedang duduk sendiria...
- Sok Saja Sih
- Gemas
- Seandainya
- Kenapa Dia Senang Sekali Mendapat Anak Perempuan
- Dari Atas Pohon di Samping Danau
- laripagi
- BRUK! PRAK! BYAR!
- Merah
- Tante Lori
- Malik Bikin Lirik
- Khayal
- Abang
- Benar-Benar Sunyi Senyap
- BALI
- Penyesalan
- Cerita Malaikat Kaca
- dia diam
- Ujian Sudah Selesai
- Ibu dan/and Dad
- Telepon
- Emi Bercermin
-
▼
Januari
(29)
Semangat, salut buat blogger seperti anda... jangan berhenti untuk menulis, karena dunia berputar dengan bahan bakar tulisan
Terima kasih! :)